Indonesia Tetap Pakai Klorokuin untuk Pasien Corona, Walau Dilarang oleh WHO

29 Mei 2020 7:30 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi klorokuin. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi klorokuin. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Obat anti-malaria klorokuin dan hidroksiklorokuin akan tetap digunakan sebagai obat untuk perawatan pasien virus corona di Indonesia. Penggunaan obat tersebut diberikan kepada pasien di luar uji coba Solidarity Trial yang diselenggarakan oleh WHO.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk melanjutkan pemakaian klorokuin untuk merawat pasien COVID-19 disampaikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dalam surat imbauan yang diterima kumparan, Kamis (28/5). Surat tersebut disampaikan langsung oleh Pokja Bidang Infeksi PDPI, dr. Erlina Burhan.
Dalam surat imbauan tersebut, PDPI meminta anggotanya yang terlibat Solidarity Trial untuk mematuhi anjuran WHO menunda penggunaan hidroksiklorokuin kepada pasien COVID-19. Solidarity Trial adalah riset gabungan WHO untuk mencari obat virus corona, yang di dalamnya termasuk hidroksiklorokuin.
Keputusan tersebut diambil setelah pemerintah Indonesia menyatakan bahwa uji coba klorokuin bakal ditunda sesuai anjuran WHO. Pada Senin (25/5), WHO memutuskan untuk menunda semua uji coba klorokuin berdasarkan laporan jurnal The Lancet yang menyebut bahwa obat tersebut berisiko meningkatkan kematian pada pasien virus corona.
Ilustrasi klorokuin. Foto: Shutter Stock
“Indonesia adalah bagian dari penerapan Solidarity Trial, karena itu Indonesia ikuti instruksi WHO untuk klorokuin,” ujar Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, dalam konferensi pers di Jakarta pda Kamis (28/5).
ADVERTISEMENT
Meski mengimbau anggotanya untuk berhenti memakai klorokuin sebagai uji coba, PDPI tetap mengizinkan pemakaian klorokuin untuk pasien di luar uji coba. PDPI meminta agar anggotanya tetap mengikuti 'Protokol Tatalaksana COVID-19' yang menggunakan klorokuin sebagai obat untuk pasien dengan gejala ringan hingga berat.
Padahal, WHO juga telah meminta Indonesia untuk berhenti menggunakan hidroksiklorokuin dan klorokuin dalam mengobati pasien COVID-19 di luar uji klinis. Permintaan ini terdapat dalam surat imbauan yang dikirimkan WHO kepada Kementerian Kesehatan dan PDPI, seperti dikutip dari Reuters.
PDPI sendiri mengimbau agar anggotanya melakukan evaluasi dan mencatat efek samping klorokuin bagi pasien COVID-19 yang diberikan obat tersebut. Laporan evaluasi mereka bakal dipertimbangkan untuk revisi protokol tata laksana COVID-19 baru di masa depan.
Ilustrasi obat COVID-19. Foto: Shutter Stock
Berikut isi lengkap surat imbauan PDPI yang diterima kumparan:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Laporan uji klinis klorokuin di Indonesia tidak diungkap

Keputusan PDPI tersebut bisa menimbulkan tanda tanya. Sebabnya, hal tersebut menunjukkan bahwa klorokuin digunakan di Indonesia tanpa diungkapnya uji riset yang menjanjikan.
kumparan telah meminta penjelasan PDPI mengenai pertimbangan mengapa klorokuin tetap digunakan sebagai obat pasien corona di Indonesia. Namun, hingga berita ini dibuat, mereka belum memberikan jawaban.
Visual story Jejak Pertama Corona di Indonesia. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Klorokuin sendiri diumumkan sebagai obat COVID-19 oleh pemerintah Indonesia sejak 20 Maret 2020. Dalam konferensi pers saat itu, Presiden Jokowi menjelaskan kalau pemerintah telah memesan 3 juta klorokuin dan mengklaim bahwa obat tersebut bisa memberikan kesembuhan.
Selain membeli 3 juta klorokuin, pemerintah juga telah mengeluarkan 2 lusin lisensi kepada manufaktur lokal untuk mempercepat produksi klorokuin di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Keputusan pemerintah untuk menggunakan klorokuin pun mendapat kritik dari ilmuwan epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono. Menurut Pandu, keputusan pemerintah itu gegabah.
Visual story Jejak Pertama Corona di Indonesia. Foto: Maulana Saputra/kumparan
“Dari awal sebenarnya tidak perlu uji klinis lagi. Sudah dilaporkan sejak awal efek sampingnya cukup berbahaya. Klorokuin bisa memiliki efek samping yang membahayakan jiwa dan tingkat kematiannya tinggi,” ujar Pandu saat dihubungi kumparan, Selasa (26/5).
"Menurut saya, dunia kedokterannya terlalu gegabah. Presiden kan enggak ngerti, pemerintah enggak ngerti," sambungnya.
Kritik Pandu tersebut memang memiliki dasar yang jelas. Dalam sebuah laporan dari uji klinis di Brasil pada April 2020, penggunaan dosis tinggi klorokuin (600 mg selama 10 hari) bersamaan dengan antibiotik azithromycin bagi pasien corona menimbulkan risiko gangguan irama detak jantung.
ADVERTISEMENT
Riset uji klinis klorokuin di Brasil itu pun harus dihentikan lebih awal karena 11 dari 81 pasien yang diteliti meninggal pada hari ke-6 jalannya riset.
Polemik obat corona. Foto: Indra Fauzi/kumparan
"Temuan awal menunjukkan bahwa dosis klorokuin yang lebih tinggi (selama 10 hari) tidak dianjurkan untuk pengobatan COVID-19 karena potensi bahaya keamanannya," jelas tim peneliti dalam laporan mereka yang diposting di server pra-publikasi ilmiah MedRxiv, 11 April 2020.
Dalam Tatalaksana Penanganan COVID-19 yang dibuat PDPI, pasien corona dengan gejala ringan hingga berat bisa diberikan klorokuin dan azithromycin.
Meski demikian, tidak diketahui dampak penggunaan obat-obatan tersebut bagi pasien corona di Indonesia, karena hingga saat ini laporan uji klinisnya belum dipublikasi. Dengan ketiadaan laporan uji klinis tersebut, kita tidak mengetahui apakah klorokuin benar dapat menyembuhkan pasien corona di Indonesia, atau justru meningkatkan risiko kematian.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.