Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jakarta Jadi Kota dengan Kualitas Udara Terburuk di Asia Tenggara
5 Maret 2019 15:12 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan interaktif berjudul Kualitas Udara Dunia 2018 AirVisual IQAir menetapkan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Laporan yang merupakan hasil kerja sama dengan Greenpeace Asia Tenggara ini menyoroti keberadaan Particulate Matter (PM) 2,5 dalam udara kota-kota besar di dunia sepanjang 2018. PM 2,5 adalah partikel halus yang ukurannya tak lebih besar dari 2,5 mikrometer.
"Laporan Kualitas Udara Dunia 2018 didasarkan pada tinjauan, kompilasi, dan validasi data dari puluhan ribu stasiun pemantauan kualitas udara di seluruh dunia," papar Frank Hammes, CEO IQAir, dalam siaran pers yang diterima kumparanSAINS, Selasa (5/3).
"Sekarang semua orang dengan ponsel memiliki akses gratis ke data ini melalui platform AirVisual. Ini juga mendorong permintaan untuk pemantauan kualitas udara di kota-kota atau wilayah di mana tidak ada data publik yang tersedia," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan itu, Jakarta dan Hanoi menempati dua posisi teratas pada daftar kota di Asia Tenggara dengan kualitas udara terburuk. Sedangkan sisanya kebanyakan diisi oleh kota-kota di Thailand dan satu kota dari Filipina.
Laporan tersebut memaparkan bahwa konsentrasi PM 2,5 di Jakarta Selatan mencapai 42,2 µg/m^3 dan Jakarta Pusat mencapai 37,5 µg/m^3. Artinya konsentrasi PM 2,5 Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 10 µg/m^3.
Konsentrasi PM 2,5 di Jakarta ini juga telah melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional pada PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu sebesar 15 µg/m^3.
Asap Kendaraan Bermotor dan PLTU
ADVERTISEMENT
Menurut Greenpeace, peningkatan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta telah memperburuk kondisi udara di ibu kota. Mereka menambahkan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekeliling Jakarta dalam radius 100 kilometer, juga turut berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi PM 2,5.
Berdasarkan pemodelan Greenpeace, pada kondisi terburuk PLTU batu bara yang telah beroperasi bisa menyumbang antara 33 hingga 38 persen dari konsentrasi PM 2,5 harian di Jakarta.
Selain itu, PLTU batu bara juga bisa meningkatkan paparan polutan NO2, partikulat dan SO2, pada udara Jakarta dan sekitarnya. Kualitas udara yang buruk ini bisa membahayakan kesehatan warga Jakarta dan sekitarnya.
"Polusi udara mematikan mata pencaharian dan masa depan kita, tetapi kita bisa mengubahnya. Dengan perkiraan kerugian sebesar 225 miliar dolar AS (sekitar Rp 3.000 triliun) dari kehilangan produktivitas dalam bekerja, belum lagi triliunan dolar yang membebani sistem medis kita, ini memiliki dampak yang sangat besar, tidak hanya pada kesehatan semua, tetapi juga pada keadaan keuangan kita semua," ujar Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, Yeb Sano.
ADVERTISEMENT