Jam Kiamat Kini 100 Detik Menuju Kehancuran, Apa Maksudnya?

25 Juni 2020 6:42 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Para peneliti yang tergabung dalam Bulletin of the Atomic Scientists (BAS) telah memajukan jarum Jam Kiamat atau Doomsday Clock selama 20 detik dari penetapan sebelumnya 2 menit pada 2019. Dengan begitu, pada 2020 ini jarum Jam Kiamat menuju tengah malam hanya berjarak 100 detik.
ADVERTISEMENT
Mereka mengatakan bahwa Bumi kini ada dalam titik terdekat dengan kehancuran akibat ulah manusia.
BAS sendiri adalah sebuah organisasi yang menilai kemajuan ilmu pengetahuan dan risikonya pada manusia. Mereka membuat Jam Kiamat sebagai pengingat kepada umat manusia agar tidak melakukan tinakan-tindakan yang menghancurkan Bumi.
Jam Kiamat atau Doomsday Clock adalah jam yang menjadi simbol jarak menuju kiamat akibat perbuatan manusia. Jadi, bukan benar-benar kiamat akhir dari segalanya. Saat ini, jam itu menunjukkan waktu 100 detik menuju tengah malam atau 00.00. Waktu tengah malam ini digambarkan sebagai waktu kehancuran.
Penetapan Jam Kiamat yang 100 detik menuju tengah malam telah dilakukan pada Januari lalu. Kini setelah ada pandemi virus corona, ilmuwan belum melakukan perubahan terhadap Jam Kiamat.
ADVERTISEMENT

Perkembangan Teknologi dan Nuklir

Terakhir kali Jam Kiamat begitu dekat dengan tengah malam adalah saat terjadi percobaan bom hidrogen oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada 1953, yang memulai era perlombaan senjata nuklir.
Jam Kiamat sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947, di mana saat itu ancaman utama kehancuran dunia adalah terjadinya perang nuklir.
Ilustrasi bom nuklir Foto: WikiImages/pixabay
Selain itu, BAS menyoroti perang yang terjadi di Timur Tengah dalam dua tahun terakhir. Salah satunya perjanjian antara Iran dengan Presiden AS, Donald Trump, soal kesepakatan penggunaan nuklir yang kemudian memantik ketegangan di antara kedua negara.
“Pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang dalam pembuatan senjata untuk membunuh manusia lain, dan penggunaannya dalam sistem kontrol serta komando militer menjadi penyebab baru yang perlu dikhawatirkan,” ujar Robert Latiff, seorang pensiunan jenderal Angkatan Udara AS seperti dikutip Live Science.
ADVERTISEMENT
Berita hoaks yang kini banyak digunakan para buzzer politik, seperti pembuat video atau informasi palsu yang makin sulit dibedakan, turut mempercepat manusia dalam kebinasaan. “Dengan mengaburkan batas antara kebenaran dan fiksi, teknologi macam ini dapat mengganggu informasi dan kepercayaan, menimbulkan ketidakstabilan global yang sangat berbahaya,” ujar Latiff.

Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah memicu kerusakan lingkungan di berbagai wilayah di dunia. Gangguan manusia baik di darat maupun di lautan sudah semakin masif terjadi, ini terlihat dari laporan pada September 2019 oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Ilustrasi Kiamat Foto: Pixabay
Sementara itu, Badan Antariksa AS (NASA) mengungkap Bumi pada tahun 2019 memiliki massa terpanas kedua sejak pencatatan dimulai pada 1880. Juli 2019 adalah bulan terpanas dalam peradaban manusia. Wilayah Eropa seakan dipanggang oleh gelombang panas, sementara bongkahan gletser di Greenland mencair, memuntahkan 217 miliar ton es.
ADVERTISEMENT
Air laut menghangat, kebakaran hutan menerjang sejumlah negara, mulai dari Amerika Serikat, Eropa, Indonesia, hingga Australia. Kekeringan parah di Australia juga terkait dengan perubahan iklim. Menimbulkan kebakaran hebat hingga menempatkan koala sebagai hewan terancam. Satwa liar nyaris habis terpanggang di bawah kobaran api kebakaran hutan.
Bagaimanapun, Jam Kiamat telah mewanti-wanti manusia agar tidak larut dalam kebinasaan oleh ulah sendiri. Senjata nuklir, pandemi, perkembangan teknologi, dan perubahan iklim merupakan beberapa faktor yang bisa memacu lebih cepat jarum Jam Kiamat ke arah kehancuran. Namun, meski ada pandemi corona, ilmuwan belum mengubah jarum Jam Kiamat.
"Jika kita tidak bisa menghentikan bencana, mungkin kita bisa meminimalkan bahaya," kata Cascio, seorang ilmuwan di BAS. "Yang paling penting, mengakui ketabahan kemanusiaan semata-mata mungkin merupakan tendangan yang dibutuhkan untuk terus berjuang, bahkan ketika segala sesuatu tampak hilang."
ADVERTISEMENT