Jika Tak Ada Intervensi Tinggi, Kasus Corona RI Tembus 2,5 Juta dalam 77 Hari

1 April 2020 16:14 WIB
Jokowi vs Corona. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi vs Corona. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
ADVERTISEMENT
Angka kasus positif virus corona COVID-19 di Indonesia terus bertambah setiap harinya. Hingga Rabu (1/4), jumlah kasus COVID-19 di Indonesia telah menembus angka 1.677 jiwa, dengan 157 orang meninggal dan 103 orang berhasil sembuh.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan untuk segera menerapkan karantina wilayah atau lockdown demi mencegah penyebaran virus corona yang lebih luas. Intervensi yang lambat dari pemerintah hanya akan menyebabkan ledakan kasus dan kematian di Indonesia.
Sejauh ini, Jokowi baru menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Salah satu klausul dalam PSBB adalah pemerintah bisa meliburkan 1) sekolah dan tempat kerja; 2) pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau 3) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Meski demikian, ternyata penetapan PSBB yang diambil Jokowi tidak begitu efektif dalam menekan arus pergerakan warga sejauh ini. Menurut laporan pembaca kumparan bernama Suhada, suasana di KRL dari Serpong arah Tanah Abang sekitar pukul 08.30 WIB, Rabu (1/4), tetap ramai seperti hari sebelumnya.
Suasana KRL Serpong arah Tanah Abang pada Rabu pagi hari, 1 April 2020. Foto: Dok. Suhada
Bukan hanya tidak efektif, pemberlakuan PSBB oleh presiden juga dianggap tidak membawa progres baru dalam penanganan pandemi virus corona. Menurut pengamat hukum Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, pembatasan itu sudah diberlakukan sejak dua minggu lalu dan penyebaran virus corona ternyata masih terus berlanjut.
ADVERTISEMENT
Sementara rencana pemberlakuan Darurat Sipil seperti diatur dalam UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya justru dinilai tak akan membantu penanggulangan pandemi corona. Sebab, pertimbangan darurat sipil berdasarkan adanya ancaman pemberontakan, bahaya perang, dan sebagainya, bukan persoalan kesehatan masyarakat.
“Karena pendekatannya keamanan, semua urusan yang diambil oleh pemerintah pusat pendekatannya jadi keamanan, bukan pendekatan kesehatan,” ucap Bivitri.
Senada dengan Bivitri, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menyebut pemberlakuan kebijakan PSBB rentan oleh penyalahgunaan wewenang. Ujung dari pemberlakuan ini, menurutnya, bisa berupa kesewenang-wenangan pemerintah melalui aparat dan pelanggaran HAM.
Direktur Lokataru, Haris Azhar saat tiba di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/2). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Ini soal leadership, ada yang salah. Bisa-bisa jadinya seperti India. Aparat main pukul pada siapa saja,” kata dia.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam, menduga pemerintah tak mau menerapkan karantina wilayah karena enggan menanggung biaya hidup rakyatnya. Sebab, UU Kekarantinaan Kesehatan mensyaratkan pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh pemerintah jika karantina wilayah berlaku.
ADVERTISEMENT

Perlunya intervensi pemerintah: tekan kasus dan selamatkan nyawa

Menurut riset berjudul COVID-19 Modelling Scenarios Indonesia yang dibuat tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, intervensi pemerintah dalam menekan pertumbuhan kasus virus corona di Indonesia sangatlah penting. Semakin intens dan cepat intervensi dilakukan, maka laju infeksi kasus virus corona dapat semakin terkendali.
Tim yang terdiri dari Iwan Ariawan, Pandu Riono, Muhammad N Farid, dan Hafizah Jusril ini merancang skenario pemodelan berdasarkan perhitungan yang mencakup jumlah populasi orang dewasa; tingkat reproduksi dasar (basic reproduction rate) bahwa setiap pasien positif COVID-19 minimal menginfeksi dua orang lainnya; jumlah pasien (case rate) yang memerlukan perawatan di rumah sakit; dan waktu penggandaan kasus, yakni 4 hari.
ADVERTISEMENT
Skenario pemodelan dirancang dalam empat kemungkinan skenario yang diambil pemerintah: 1) Tanpa intervensi, 2) Intervensi rendah (mild intensity), 3) Intervensi moderat, dan 4) Intervensi tinggi (high intensity). Intervensi rendah yang dimaksud adalah penerapan social distancing secara sukarela (imbauan) dan pembatasan kerumunan. Sementara intervensi moderat adalah tes virus corona massal (massive rapid test) dengan cakupan rendah dan penutupan sekolah/bisnis. Sedangkan intervensi tinggi yaitu massive rapid test dengan cakupan luas dan social distancing secara wajib (lewat instrumen hukum).
Berikutnya, efek ketiga jenis intervensi tersebut diukur dan digunakan untuk memprediksi: 1) Jumlah total kumulatif kasus corona di Indonesia, 2) Jumlah kasus baru harian di Indonesia, 3) Jumlah kematian kumulatif akibat virus corona di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, menurut skenario pemodelan tersebut, dalam 105 hari virus corona bisa menginfeksi 2,5 juta orang di Indonesia bila negara tidak melakukan intervensi; 1,7 juta orang bila dilakukan intervensi ringan; 1,2 juta orang bila dilakukan intervensi moderat, dan 500 ribu “saja” bila intervensi ketat diterapkan.
Jumlah kasus positif COVID-19 mencapai 2,5 juta itu bisa terjadi sejak hari ke-77 jika tak ada intervensi dan akan berada di level itu hingga 105 hari ke depan.
Prediksi jumlah kematian virus corona COVID-19 di Indonesia. Foto: Dok. FKM UI
Prediksi jumlah kasus harian virus corona COVID-19 di Indonesia. Foto: Dok. FKM UI
Prediksi jumlah kasus kumulatif virus corona COVID-19 di Indonesia. Foto: Dok. FKM UI
Adapun kasus kematian akibat virus corona di Indonesia bisa mencapai 240.244 orang bila negara tak mengintervensi, 144.266 orang bila terdapat intervensi ringan, 47.984 orang bila dilakukan intervensi moderat, dan 11.898 orang bila intervensi ketat diterapkan.
Sebagai catatan, jangka waktu 105 hari yang dibuat dalam pemodelan tersebut dimulai dari Februari 2020, berdasarkan dugaan tim peneliti bahwa kasus corona sudah terjadi di Indonesia pada bulan tersebut. Dugaan serupa juga disampaikan oleh penelitian Harvard, sebelum Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyebut itu sebagai penghinaan. Pada 2 Maret 2020 pemerintah kemudian mengumumkan kasus pertama virus corona di mana pasien tertular pada Februari 2020.
ADVERTISEMENT
Pemodelan ini menyimpulkan, semakin tinggi intervensi negara, semakin lambat laju kasus corona, dan semakin rendah angka kematian. Intervensi negara juga berdampak pada beban yang akan ditanggung sistem kesehatan nasional. Sebabnya, semakin minim intervensi yang diberikan pemerintah, maka kerja sistem kesehatan akan semakin berat dalam menampung jumlah pasien yang bisa melebihi kapasitas yang tersedia.
Menurut Pandu Riono, PhD., dokter dan staf pengajar FKM UI yang ikut menyusun skenario pemodelan tersebut, pemerintah perlu menjalankan protokol karantina pulau dan bukan sekadar karantina kota.
“Karantina Pulau Jawa. Batasi mobilitas di dalam pulau. Batasi mobilitas penduduk di dalam pulau dan antar-pulau,” jelas Pandu. “Tidak boleh ada perpindahan antar-provinsi atau antar-kabupaten di pulau itu. Dan lakukan segera mungkin, karena seharusnya sudah dari minggu lalu.”
ADVERTISEMENT

Setop debat tak esensial, WHO rekomendasi lockdown adalah cara terbaik

Menjelang pekan ke-4 kasus corona di Indonesia, figur pemerintahan memenuhi ruang publik dengan perdebatan mengenai istilah lockdown dan karantina wilayah. Menko Polhukam Mahfud MD, misalnya, menjelaskan bahwa karantina wilayah dan lockdown sebagai dua hal yang berbeda. Ia menegaskan, istilah karantina wilayah sebenarnya lebih merupakan istilah lain dari physical distancing atau social distancing yang sekarang dipilih sebagai kebijakan pemerintah.
Menkopolhukam Mahfud MD ketika melakukan teleconference dengan awak media. Foto: Dok. Humas Menkopolhukam
“Istilah karantina wilayah adalah istilah tersendiri yang ada di dalam UU No. 6 Tahun 2018, yakni, pembatasan pergerakan orang untuk kepentingan kesehatan di tengah-tengah masyarakat,” ujar Mahfud, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/3).
Senada dengan Mahfud, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan juga menolak persamaan istilah karantina wilayah dan lockdown. Dia menambahkan, tidak semua negara yang sedang mengalami pandemi virus corona berhasil menerapkan lockdown. Apalagi, di beberapa negara yang memiliki angka kasus virus corona cukup besar seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan tidak memberlakukan aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kita tidak kenal lockdown, kita kenalnya karantina, (sesuai) UU ya. Jadi jangan kita pakai lagi ya istilah lockdown itu," ujar Luhut.
Menariknya, di kala figur pemerintahan memperdebatkan padanan kedua istilah tersebut, Pemred KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Dora Amalia, menyebut bahwa secara hakikat makna istilah lockdown dan karantina wilayah adalah sama.
Lockdown itu kurung pada makna dasarnya, mengurung orang supaya tidak pergi ke atau orang luar tidak boleh masuk ke daerah situ. [Sama] karantina wilayah dalam di UU, itu sama,” ujar Dora, kepada kumparan, Senin (30/3).
Dalam Bab 1 Pasal 1 UU No. 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, definisi karantina adalah “pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau Barang di sekitarnya”.
ADVERTISEMENT
Apapun perdebatan istilah tersebut, yang jelas virus corona sedang menyebar di Indonesia dan memakan korban jiwa yang lebih banyak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lockdown atau karantina wilayah adalah satu-satunya cara untuk menekan persebaran virus corona di suatu negara.
“Kita harus memasukkan menempatkan pengawasan kesehatan masyarakat, isolasi, karantina, penemuan kasus, dan deteksi. Kita harus dapat menunjukkan bahwa kita dapat mengejar virus, karena lockdown saja tidak akan berfungsi,” kata Michael Ryan, Direktur Eksekutif WHO dalam sebuah briefing pers virtual, Senin (30/3).
Mike Ryan, Executive Director of WHO Health Emergencies Programme. Foto: Denis Balibouse/Reuters
“Namun sayangnya, dalam beberapa situasi saat ini, lockdown adalah satu-satunya ukuran yang dapat diambil pemerintah untuk memperlambat virus ini. Itu sangat disayangkan tetapi itulah kenyataannya,” sambungnya.
Ryan sendiri mengaku bahwa realisasi lockdown bisa jadi menimbulkan masalah baru bagi sebuah negara. India, misalnya, mengalami kekacauan saat lockdown karena bantuan yang diberikan pemerintah tidak cukup dan kepanikan warga untuk mudik ke kampung halaman mereka karena kehilangan pekerjaan saat lockdown.
ADVERTISEMENT
Menurut Ryan, kebijakan lockdown memang bukan suatu hal yang mudah. Namun, itu merupakan satu-satunya hal yang dapat membatasi pergerakan komunitas agar secara efektif mengurangi penyebaran virus.
“Itu tidak selalu mudah, tetapi itulah yang harus menjadi bagian dari pusat tujuan proses (mengurangi penyebaran virus). Saya di sini tidak berbicara khusus tentang India. Saya berbicara tentang ini secara umum,” kata Ryan.
“Saya pikir langkah-langkah (lockdown) di seluruh masyarakat ini sulit. Mereka tidak mudah dan akan menyakiti orang. Tetapi alternatifnya bahkan lebih buruk.”
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!