Larangan Cadar dan Celana Cingkrang Tak Efektif Tangkal Radikalisme

7 Desember 2019 12:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Protes Warga Denmark Menentang Pelarangan Cadar Foto: REUTERS/Mads Claus Rasmussen/Ritzau Scanpix
zoom-in-whitePerbesar
Protes Warga Denmark Menentang Pelarangan Cadar Foto: REUTERS/Mads Claus Rasmussen/Ritzau Scanpix
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, cadar dan celana cingkrang sempat santer dibicarakan orang-orang. Perdebatan antara keduanya telah menjadi bahan diskusi di setiap sudut warung kopi hingga gedung-gedung tinggi.
ADVERTISEMENT
Nama cadar dan celana cingkrang melambung tinggi usai Menteri Agama Indonesia, Fachrul Razi, melempar wacana larangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) menggunakan pakaian ini di lingkungan instansi pemerintahan.
Ia beralasan, ekspresi-ekspresi pakaian tersebut tidak sesuai dengan budaya Indonesia, serta kehadiran orang-orang yang memakai cadar dan celana cingkrang bisa menimbulkan persepsi bahwa hanya mereka lah yang benar-benar bertakwa kepada Tuhan.
Berbagai hipotesis lalu bermunculan, beberapa orang berpendapat larangan yang dilontarkan Fachrul berkaitan dengan paham radikalisme yang konon tengah merebak di Indonesia. Di mana, agama ultra konservatif seperti Wahhabisme dan Salafi-Jihadisme kerap diekspresikan melalui gaya busana tertentu, salah satunya penggunaan cadar dan celana cingkrang.
Menteri Agama Fachrul Razi saat launching Pekan Olahraga dan Seni antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (Pospenas) di Kementerian Agama RI, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Terlepas dari hipotesis yang kini beredar liar di masyarakat, menurut Joevarian Hudiyana, peneliti di Laboratorium Psikologi Politik, Universitas Indonesia, usaha pemerintah untuk menangkal radikalisme dengan mengubah keyakinan ideologi justru tidak efektif.
ADVERTISEMENT
Sebab, kata Joevarian, melarang keyakinan agama akan sangat sulit dilakukan. Program deradikalisasi dengan mengubah ideologi agama menjadi ideologi lain juga tidak efektif dan justru bisa jadi bumerang bagi pemerintah.
Orang-orang dengan tingkat radikalisme tinggi akan merasa terdiskriminasi karena dilarang menganut keyakinan pribadi. Sehingga, kebencian mereka terhadap pemerintah dan institusi negara juga berpotensi semakin tinggi.
“Lebih dari itu, usaha mengubah keyakinan pribadi sebetulnya bisa dianggap tidak etis bagi sebuah negara dengan sistem demokrasi. Apalagi kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin oleh negara lewat Undang Undang Dasar 1945,” tulis Joevarian sebagaimana dikutip dari The Conversation.
Beberapa pernyataan itu tidak serta merta didapat begitu saja. Joevarian bersama timnya telah menganalisis profil-profil hasil wawancara terhadap 86 narapidana teroris yang menjalani rehabilitasi di 35 penjara di Indonesia.
Ilustrasi cadar. Foto: Pixabay
Perlu diketahui, pada umumnya orang-orang dengan paham radikalisme rentan terkena propaganda. Mereka merasa hidupnya hampa, kesepian, dan kehilangan tujuan hidup. Kondisi ini menjadi celah bagi kelompok-kelompok radikal untuk mengisi kekosongan tersebut.
ADVERTISEMENT
Mereka diberikan makna hidup dengan iming-iming masuk surga dan diperintah untuk berjihad di jalan Tuhan. Ini artinya, ada kebutuhan psikologis yang tidak mereka dapatkan dan justru diperoleh dari kelompok radikal. Untuk menangkal kondisi itu, yang harus dilakukan adalah menyeimbangkan makna hidup dari identitas agama dengan makna hidup dari identitas lain.
Begitupun dalam penelitian Joevarian, mereka menemukan bahwa dukungan terhadap jihad sebagai bagian dari perang dapat melemah tatkala seseorang aktif berpartisipasi dalam program deradikalisasi. Ini terjadi tak lain karena mereka yang terpapar telah diberikan kesempatan untuk mengembangkan identitas alternatif seperti keluarga dan bisnis.
“Ketika identitas alternatif terbentuk, dukungan terhadap jihad sebagai perang juga melemah walaupun mereka masih memegang ideologi yang kuat,” papar Joevarian.
Ilustrasi Celana Cingkrang. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Dalam segi bisnis, misalnya, mereka yang telah terpapar radikalisme bisa diberikan pekerjaan yang berkelanjutan, seperti mengaplikasikan talenta atau keahliannya. Dengan cara itu, mereka akan merasakan makna hidup dari jasa atau bisnis yang dikembangkannya.
ADVERTISEMENT
Hal ini selaras dengan riset yang dilakukan pakar psikologi sosial, David Webber, dari Virginia Commonwealth University, AS, yang mengatakan bahwa menyeimbangkan identitas keagamaan dengan identitas alternatif seperti keluarga, karir, dan pendidikan bisa menangkal paham radikalisme para narapidana teroris gerakan separatis di Sri Lanka.
Dengan begitu, identitas agama ataupun ekspresi agama seperti pemakaian cadar atau celana cingkrang tidak bisa dijadikan tolok ukur seseorang dicap sebagai teroris atau ekstremis.
“Sebaliknya, hal yang terpenting dalam menangkal radikalisme bukan soal identitas agama, tapi soal ada atau tidaknya identitas lain yang dimiliki orang-orang berideologi radikal ini,” ungkapnya.