Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Kerang hijau yang terpapar logam berat menjadi bukti bahwa pencemaran di Teluk Jakarta bukan main-main.
ADVERTISEMENT
Berbagai studi ilmiah keras-keras menyimpulkan: kerang hijau di Teluk Jakarta sudah tak layak konsumsi. Ini perkara penting yang tak seharusnya dianggap remeh. Kerang hijau yang dianggap menjadi sumber gizi itu, justru memberi potensi penyakit yang mengerikan.
Salah satu upaya penelitian telah dilakukan oleh Muhammad Reza Cordova, Neviaty P. Zamani, dan Fredinan Yulianda pada 2011. Dalam kesimpulan penelitian berjudul Akumulasi Logam Berat pada Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta itu disebutkan, kondisi terkini perairan Teluk Jakarta telah melampaui baku mutu air yang telah ditetapkan.
Hasil penelitian yang telah dipublikasikan ke dalam Jurnal Moluska Indonesia pada Juni 2011 itu juga menyebutkan, konsentrasi logam berat merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb), baik yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen di Teluk Jakarta, telah melebihi ambang batas yang ditentukan.
ADVERTISEMENT
Merkuri, kadmium, dan timbal merupakan logam berat beracun atau mengandung toksisitas tinggi yang kerap dijumpai dalam tubuh ikan dan hewan laut lain, termasuk kerang hijau.
Alhasil, kerang hijau yang kerap dikonsumsi masyarakat Jakarta itu keracunan. Per kilogram kerang hijau disinyalir mengandung kandungan merkuri sebanyak 63 miligram. Meski terdengar kecil, angka ini betul-betul berbahaya: batas maksimum kandungan merkuri dalam kerang hijau yang diangap masih layak dikonsumsi manusia adalah 1 miligram per kilogram.
Menurut peneliti di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Etty Riani, memakan kerang hijau yang mengandung merkuri melebihi ambang batas tersebut adalah tindakan yang meningkatkan potensi kanker dalam tubuh.
"Logam berat itu (merkuri) bersifat karsinogenik, dapat memicu kanker," ujar Etty.
Tercemarnya Teluk Jakarta oleh logam berat ini bukanlah peristiwa kemarin sore. Dikutip dari Antara, sejak 1979 para peneliti di Badan Atom Nasional (Batan) mendapati kadar logam berat dalam air di Teluk Jakarta sudah tergolong tinggi. Dahsyatnya pencemaran ini bahkan membuat Teluk Jakarta mendapat julukan sebagai teluk paling tercemar di Asia.
ADVERTISEMENT
Peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Muhammad Reza Cordova, menyebut sumber pencemaran di Teluk Jakarta berasal dari kegiatan masyarakat. “Bisa dari industri, bisa dari kegiatan domestik. Pokoknya dari segala kegiatan antropogenik yang ada.”
“Sebenarnya ini sudah jadi rahasia umum ya kalau pengolahan limbah di Indonesia masih agak kurang (baik),” kata Reza kepada kumparan, Rabu (23/8).
Menurut Reza, pemerintah Indonesia sebetulnya punya aturan jelas terkait pengolahan limbah, tapi pelaksanaannya masih bermasalah.
“Sebenarnya kalau mau jujur, pengolahan limbah itu mahal. Jadi itu banyak diabaikan oleh masyarakat, terutama di industri,” ujar Reza.
Pada 2011, Kementerian Lingkungan Hidup pernah mengeluarkan hasil penelitian yang menyebut, sedikitnya terdapat 21 perusahaan besar yang membuang limbahnya ke perairan Teluk Jakarta.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, pendiri sekaligus pembina Yayasan Kelestarian Lingkungan Hidup (YKLH), Zaenal Muttaqin, mengatakan sebagian besar air limbah yang masuk ke Teluk Jakarta sebenarnya berasal dari limbah rumah tangga atau limbah domestik. Sisanya, barulah berasal dari limbah perkantoran dan limbah industri.
Penyataan Zaenal tersebut senada dengan data yang dikeluarkan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta. Data itu menyebut hampir 80 persen pencemaran sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta berasal dari limbah rumah tangga. Sedangkan, kegiatan industri di segala sisi “hanya” menyumbang 15 persen limbah.
Menurut Zaenal, limbah-limbah tersebut masuk ke Teluk Jakarta melalui 13 sungai yang bermuara ke sana. Ketiga belas sungai itu mengalir tak hanya di wilayah Provinsi DKI Jakarta, tapi juga di Banten dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Limbah yang mencemari sungai-sungai tersebut terdiri atas dua jenis. Pertama, limbah yang tampak kasatmata seperti sampah-sampah plastik atau sampah fisik.
“Kedua, ini sebenarnya yang paling berbahaya, limbah-limbah yang tidak terlihat, limbah kimiawi. Contohnya limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) merkuri,” kata Zaenal.
Menurut Zaenal, selama ini penanganan limbah di Indonesia lebih mengarah pada limbah yang kasatmata atau fisik.
“Contohnya, pemerintah bikin beberapa titik perlintasan pengolahan sampah di Manggarai, Kalibaru, dan sebagainya. Tapi itu untuk mengurangi dampak limbah-limbah fisik. Sementara penanganan terhadap limbah non-fisik ini hampir tidak ada. Ini terjadi sejak puluhan tahun lalu,” papar Zaenal.
Zaenal menekankan pentingnya keberadaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) rumah tangga dalam bentuk IPAL komunal. Menurutnya, IPAL komunal perlu segera dibangun oleh pemerintah setempat.
ADVERTISEMENT
“Kalau di tingkat pencemaran pabrik atau komunitas-komunitas di apartemen, pemerintah sudah punya standar. Misalkan sebelum dibangun apartemen, pemerintah sudah mewajibkan (pendiri apartemen untuk) memiliki IPAL.”
“Nah, di pabrik sudah ada standar baku, ada pengecekan, ada pengawasan. Walaupun masih ada yang nakal, minimal ada standar yang harus terpenuhi,” kata lelaki yang juga pernah berkiprah di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) itu.
Yang belum ada sama sekali, ujar Zaenal, ialah pengelolaan limbah rumah tangga yang terintegrasi.
“Kita di Jakarta punya 3 juta rumah tangga. Satu rumah tangga kan ada sekitar 3 sampai 4 orang. Artinya ada 9 juta orang yang hidup di Jakarta yang pembuangan limbahnya sampai saat ini belum memenuhi standar kebersihan,” kata alumnus Universitas Padjadjaran itu.
ADVERTISEMENT
Maka pembangunan IPAL rumah tangga ini sangat diperlukan untuk membendung sumber limbah yang masuk dan mencemari Teluk Jakarta.
Pencegahan sumber pencemaran perlu dilakukan lebih dahulu sebelum pemulihan pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta tersebut.
Tak hanya di Jakarta, IPAL domestik atau rumah tangga secara komunal juga perlu dibangun di kota-kota lain, terutama area-area satelit ibu kota. Sebab limbah yang masuk ke Teluk Jakarta juga berasal dari kota-kota di sekitar Jakarta seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, dan lainnya.
Senada dengan Zaenal, peneliti dari IPB Etty Riani mengatakan, “Kita tidak bisa melihat Jakarta itu hanya Jakarta tok. Tapi kita harus melihatnya secara ekologis.”
Ia menjelaskan, suatu sungai tidak bisa dibagi-bagi per wilayah administratif, namun harus dilihat secara keseluruhan dari hulu sampai ke hilir.
ADVERTISEMENT
“Kalau sungai, kita melihatnya satu DAS (Daerah Alirah Sungai),” kata Etty. Suatu aliran sungai harus diperhatikan dari seluruh daerah sekeliling yang memengaruhinya.
Etty mencontohkan, kondisi Citarum sebagai salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta harus diperhatikan sejak bagian hulunya yang berada di daerah Gunung Wayang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Pemerintah Indonesia, ujar Zaenal, juga perlu meniru sistem pengolahan limbah di negara-negara lain yang dibuat secara terintegrasi.
“Di Jepang, Korea, Amerika, sistem pembuangannya itu tersentral di bawah tanah. Jadi semua lari ke situ, baru tersentral ke pengolahan,” kata Zaenal.
Penyebab belum terintegrasinya pengolahan limbah di Indonesia, menurut Zaenal, karena manajemen pembuat peraturan tak jeli melihat isu pencemaran air limbah tersebut.
ADVERTISEMENT
Terkait pencemaran Teluk Jakarta ini, sejumlah pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dihubungi kumparan menolak untuk memberikan keterangan.