Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sekelompok orang tampak berkumpul di sebuah singgasana, menggunakan pakaian seragam warna-warni lengkap dengan manik-manik perak dan emas imitasi. Terlihat seorang laki-laki dan perempuan bertakhtakan mahkota duduk di sebuah kursi mewah bersama pasukan yang berbaris di sisi kiri dan kanannya.
ADVERTISEMENT
Sesekali mereka naik kuda, didampingi oleh abang-abang yang gembira karena peliharaannya disewa. Mereka berjalan beriringan, tersenyum sambil melambaikan tangan pada orang-orang yang melihatnya. Pemandangan itu persis seperti di film-film fiksi yang menampilkan adegan ratu dan raja tengah memimpin sebuah kerajaan.
Yang menarik, cerita di atas bukanlah khayalan seorang pengarang atau gambaran proses syuting film kolosal yang sering ditampilkan di layar kaca televisi swasta. Adegan dan peristiwa ini benar-benar terjadi di Indonesia, tepatnya di Purworejo, Jawa Tengah. Mereka adalah kerajaan baru dengan nama Keraton Agung Sejagat (KAS), yang dipimpin oleh Toto Santoso.
Ya, akhir-akhir ini masyarakat Indonesia memang sedang digegerkan dengan kemunculan beberapa kerajaan dan kelompok baru. Mereka mengklaim dirinya menguasai seluruh dunia, mengaku sebagai juru damai, bahkan si raja dan ratu merupakan rantai Mataram Agung dan keturunan Majapahit. Tak main-main memang, pengikut KAS mencapai lebih dari 400 orang, tersebar di seluruh Jawa Timur.
Tak jauh berbeda dengan Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire muncul dengan narasi yang sama. Mereka mengklaim telah berdiri sejak zaman Alexander The Great, dan punya sertifikat tanah dunia yang tidak pernah dijual sejak zaman Alexander Agung. Presiden RI disebut tak boleh ikut campur dalam urusan Sunda Empire karena Indonesia hanya menumpang. Mereka juga mengklaim bisa kendalikan nuklir.
ADVERTISEMENT
Narasi-narasi itu terus didengungkan oleh Sunda Empire , sedangkan Keraton Agung Sejagat mulai tak berdaya pasca-rajanya diciduk polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Yang menjadi pertanyaan, kenapa semakin hari semakin banyak kerajaan bodong di Indonesia? Hebatnya, banyak pula orang yang percaya dan menjadi pengikutnya.
Menurut psikolog Bimo Wikantiyoso, M.Psi, Psi., yang juga mahasiswa S3 psikologi di Universitas Atma Jaya, fenomena ini muncul karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh seorang individu maupun kelompok. Dan ketika ada kelompok lain yang menawarkan dan menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan itu, mereka akan sangat mudah terpengaruh.
Pada dasarnya, kata Bimo, manusia memiliki kebutuhan untuk bersama, hidup bermasyarakat demi memenuhi kehidupannya, memenuhi rasa aman, dan memenuhi kesempatan untuk mengembangkan diri.
ADVERTISEMENT
“Pertanyaannya, apakah kondisi masyarakat saat ini telah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut?” ujar Bimo, saat dihubungi kumparanSAINS, Selasa (21/1).
Bimo lantas menganalogikan, jika misalnya si A susah mendapat makan di tempat tinggalnya, kemudian ada kelompok lain yang menawarkan akan memenuhi kebutuhan makan kepada si A, maka kemungkinan besar si A akan ikut dengan kelompok tersebut. Begitupun dengan fenomena yang saat ini terjadi.
“Jadi itu kuncinya, bahwa kebutuhan yang diinginkan bisa teraktualisasi atau terpenuhi kalau mereka ada di dalam masyarakat atau kelompok. Tapi, kalau masyarakatnya enggak bisa memenuhi, ngapain kita bermasyarakat, kan gitu. Sehingga, ketika ada tawaran masyarakat model baru, ya dicoba,” kata Bimo.
Celakanya, narasi yang dibangun oleh orang-orang kerajaan seperti Sunda Empire ini untuk mempromosikan kelompoknya dipaparkan dengan sangat baik. Mereka bisa berbicara dengan keyakinan yang amat sangat, sehingga bisa menularkan keyakinan itu ke orang lain. Maka, tak heran jumlah pengikutnya bisa mencapai ratusan.
ADVERTISEMENT
“Saya mengamati ini cukup lama, bahwa memang ada sebuah narasi yang dibangun dari setiap orang atau kelompok yang melakukannya, mau itu yang bikin negara, mau bikin investasi, dan seterusnya yang memang menjawab sebuah kebutuhan yang didambakan masyarakat,” papar Bimo.
Dalam hal ini, menurut Bimo, peran pemerintah sangatlah penting, terutama dalam membangun narasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kembali rasa bangga mereka sebagai bagian dari Indonesia. Sebab, tak menutup kemungkinan masyarakat mulai pesimistis dengan negaranya, sehingga mereka mencari alternatif lain.
Selain itu, tampaknya ada utopia yang berkembang di masyarakat untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik, yang menjawab sebuah kebutuhan, di mana pengelola negara tidak bisa memenuhinya.
“Ditangkap oleh masyarakat, negeri ini tidak menawarkan apapun. Kalau ada yang ngasih alternatif kenapa tidak? Dari kacamata masyarakat, saya ditawari sesuatu yang lebih baik, terlepas masuk atau enggak (menjadi bagian kerajaan) itu tergantung dari orangnya,” ujar Bimo.
ADVERTISEMENT