Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mengenal Cerebral Palsy, Benarkah Bisa Diatasi dengan Ganja Medis?
27 Juni 2022 13:46 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Penyanyi Andien Aisyah membagikan pengalaman dirinya bertemu dengan seorang ibu di gelaran CFD (car free day) di Jakarta, Minggu (26/6), lewat akun Twitter resminya. Ibu tersebut membawa poster dengan kalimat cukup menarik khalayak.
ADVERTISEMENT
"Tolong, anakku butuh ganja medis," tulis poster si ibu, yang terungkap bernama Santi.
Anaknya, Pika, disebut Andien menderita penyakit cerebral palsy atau kelumpuhan otak. Santi meminta pemerintah untuk melegalkan ganja sebagai alternatif pengobatan bagi sang anak.
Lantas, apa sebenarnya cerebral palsy itu? Dan mengapa harus menggunakan ganja medis sebagai obatnya?
Apa itu cerebral palsy?
Dikutip dari Healthline, cerebral palsy atau lumpuh otak merupakan kondisi seseorang mengalami gangguan gerakan dan koordinasi otot akibat adanya kelainan pada otak penderita.
Beberapa di antara penderitanya mengalami permasalahan penglihatan, pendengaran hingga sensasi. Ada pula pengidap juga akan mengalami kejang otot sebagai salah satu ciri penyakit tersebut.
Satu hingga empat dari 1.000 anak di seluruh dunia dapat terkena kondisi tersebut, menurut data otoritas kesehatan AS (CDC). Penyebab terjadinya cerebral palsy dapat beragam, mulai dari cedera akibat kecelakaan atau jatuh saat masih bayi, atau kondisi lain seperti infeksi penyakit dan mutasi gen saat masih di kandungan.
Pengobatan cerebral palsy
Pengobatan pada penderita cerebral palsy umunya adalah obat-obatan dari golongan relaksan, yang digunakan saat terjadi kejang otot.
ADVERTISEMENT
Menurut Mayo Clinic, obat-obat tersebut di antaranya Zanaflex, Valium, dan Dantrium. Penggunaan obat dari toksin Botulinum tipe A (BoNT-A) juga dapat diberikan secara injeksi sesuai dengan resep dokter.
Lalu, seberapa urgen pengobatan cerebral palsy dengan ganja medis?
Dikutip dari NCBI, studi mengenai penggunaan ganja dan turunannya sebagai alternatif pengobatan, termasuk cerebral palsy, telah dilakukan. Senyawa aktif pada ganja yang memiliki efek medis tersebut adalah tetrahydrocannabiol (THC) dan cannabidiol (CBD).
Meski penggunaan ganja medis terbilang bisa meredakan gejala cerebral palsy, dalam hal ini kejang otot, tingkat kebermanfaatannya masih terbilang rendah. Hanya sekitar 30 persen efektivitas yang ditandai dengan perbaikan kelenturan otot pada pasien.
Sementara penggunaan ganja medis juga memiliki beberapa efek samping. Dalam pengobatan tidak hanya dilihat dari bagaimana obat tersebut dapat memberikan efek baik bagi fisik, namun juga psikis.
ADVERTISEMENT
Penggunaan ganja medis dengan kandungan THC disebut memberikan efek psikis, seperti ketergantungan hingga halusinasi. Itu sebabnya penggunaan ganja medis harus sangat ketat oleh dokter yang meresepkannya.
Di Indonesia, ganja masih belum diizinkan digunakan bagi keperluan medis. Saat uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (20/1), guru besar Farmakologi Universitas Indonesia, Rianto Setiabudy, menjelaskan penggunaan ganja sebagai pilihan pengobatan harus menunjukkan bukti manfaat yang melebihi atau minimal seimbang dengan risikonya.
Menurutnya, penggunaan obat-obatan didasarkan pada data penelitian valid, baik pada hewan maupun manusia, yang dikerjakan sesuai kaidah ilmiah. Persetujuannya pun disesuaikan dengan kondisi masyarakat di suatu negara. Tak hanya menyoal pengobatan saja, tetapi faktor sosial masyarakat seperti kepatuhan terhadap hukum.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, saat ini masih banyak pengobatan yang bisa diberikan tanpa harus mengedepankan ganja untuk kepentingan medis. Masyarakat masih bisa mengakses banyak pilihan obat yang bisa diperoleh dari dokter.
Sejalan dengan pernyataan Rianto, dokter spesialis saraf sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Uni Gamayani, menyebut penggunaan ganja untuk tujuan medis masih belum diperlukan. Mengingat hasil penelitian yang masih belum jelas serta konsisten, tingkat efektivitas dan keamanan belum cukup untuk dijadikan formulasi medis di Indonesia.
ADVERTISEMENT