Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Kabar baik datang dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Alat pendeteksi COVID-19 yang dibuat para ahli UGM bernama GeNose akhirnya mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan siap dipasarkan.
ADVERTISEMENT
"Alhamdulillah, berkat doa dan dukungan luar biasa dari banyak pihak GeNose C19 secara resmi mendapatkan izin edar (KEMENKES RI AKD 20401022883) untuk mulai dapat pengakuan oleh regulator, yakni Kemenkes, dalam membantu penanganan COVID-19 melalui skrining cepat," kata Kuwat Triyana, ketua tim pengembangan GeNose, Sabtu (26/12).
Ada sejumlah keunggulan yang ditawarkan GeNose (Gadjah Mada e-nose/electronic nose) ketimbang alat pendeteksi corona pada umumnya, terutama soal harga. Kuwat menjelaskan, biaya tes dengan GeNose C19 cukup murah hanya sekitar Rp 15-25 ribu. Hasil tes juga sangat cepat yakni sekitar 2 menit serta tidak memerlukan reagen atau bahan kimia lainnya. Selain itu, pengambilan sampel tes berupa embusan napas juga dirasakan lebih nyaman dibanding usap atau swab.
ADVERTISEMENT
Apa itu GeNose?
GeNose sendiri adalah alat pendeteksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 berbasis teknologi kecerdasan buatan AI. Alat ini bisa mendeteksi COVID-19 melalui embusan napas orang yang terinfeksi.
GeNose menjadi inovasi pertama di Indonesia yang mampu mendeteksi COVID-19 melalui embusan napas di mana aplikasinya terhubung dengan sistem cloud computing untuk mendapatkan hasil diagnosis secara real time.
Dian Kesumapramudya Nurputra, peneliti UGM yang terlibat dalam penelitian memaparkan, GeNose bekerja dengan cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC) yang terbentuk karena adanya infeksi COVID-19 yang keluar bersama napas melalui embusan napas ke dalam kantong khusus. Selanjutnya diidentifikasi melalui sensor-sensor yang kemudian datanya akan diolah dengan bantuan kecerdasan artifisial (artificial intelligence).
ADVERTISEMENT
Alat ini juga mampu bekerja secara paralel melalui proses diagnosis yang tersentral di dalam sistem sehingga validitas data dapat terjaga untuk semua alat yang terkoneksi. Data yang terkumpul dalam sistem selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pemetaan, pelacakan, dan pemantauan penyebaran pandemi secara aktual.
Dijelaskan lebih rinci oleh Bambang Nurcahyo Prastowo dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM yang tidak terlibat dalam penelitian, pembuatan GeNose dimulai dengan mempertanyakan apakah bau napas orang terinfeksi berbeda dengan napas orang yang tidak terinfeksi?
Untuk menjawab hal itu, dibuatlah alat membaca bau napas menggunakan sejumlah sensor gas. Peneliti lantas bekerja sama dengan Rumah Sakit Bhayangkara POLDA DIY dan Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID Bambanglipuro di Yogyakarta untuk mengumpulkan data bacaan sensor napas sejumlah pasien corona.
ADVERTISEMENT
Ternyata, data bacaan sensor napas orang terinfeksi COVID-19 memang bisa dibedakan dengan data orang yang tidak terinfeksi corona. Hasilnya menunjukkan tingkat akurasi alat ini yaitu 95 persen.
“Kemudian dibuatlah sejumlah alat untuk membaca data ‘bau’ napas orang yang penggunaannya dapat dioperasikan oleh tenaga medis sendiri,” tulis Bambang dalam akun Facebook-nya. “Alat ini (GeNose) bisa mengeluarkan kesimpulan positif atau negatif setelah membaca napas orang yang diambil dengan kantong-kantong plastik.”
Hasil perbandingan tes dari GeNose dan PCR juga 93 persen ada kecocokan. Artinya, hasil tes yang dikeluarkan GeNose punya tingkat akurasi yang nyaris sama dengan hasil tes PCR dalam mendeteksi corona.
Kini, GeNose sudah mendapat izin edar. Produksi massal gelombang pertama GeNose C19 berjumlah 100 unit ini didanai oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN).
ADVERTISEMENT
Tim berharap bila ada 1.000 unit kelak, maka akan mampu mengetes sebanyak 120 ribu orang dalam sehari. Bahkan bila kemudian sesuai target pada Februari 2021 produksi 10 ribu unit, maka diharapkan jumlah tes di Indonesia bisa 1,2 juta orang per hari atau menjadi yang terbanyak di dunia.