Menilik Perkembangan Teknologi Astronomi di Indonesia

5 Desember 2018 9:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Observatoirum Bosscha, Lembang (Foto: Dok. bossch.itb.ac.id)
zoom-in-whitePerbesar
Observatoirum Bosscha, Lembang (Foto: Dok. bossch.itb.ac.id)
ADVERTISEMENT
Sejak zaman dahulu, astronomi telah menjadi bagian dari berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia. Ilmu falak itu menjadi cara para leluhur Indonesia menjelajahi lautan, menentukan siklus tumbuh padi, dan membangun kuil-kuil kuno.
ADVERTISEMENT
Mengutip makalah ilmiah yang telah dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy pada 3 Desember 2018, teknologi astronomi modern masuk ke Indonesia pada tahun 1920-an, dimulai dengan pembangunan Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung.
Dalam makalah yang ditulis oleh sekelompok peneliti di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan peneliti di Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, dijelaskan bahwa teleskop utama Bosscha adalah refraktor ganda Carl Zeiss dengan diameter 60 sentimeter yang dipakai untuk pengamatan visual.
Pada tahun 1960-an teleskop Schmidt, teleskop astrofotografi katadioptrik yang dirancang untuk memberikan pandangan luas dengan penyimpangan terbatas, juga aktif beroperasi di Observatorium Bosscha. Teleskop tersebut merupakan donasi dari UNESCO untuk mempelajari struktur galaksi.
Observatorium Bosscha sendiri telah diresmikan sejak 1928 dan masih beroperasi sampai sekarang. Di observatorium itulah komunitas astronomi modern Indonesia pertama kali muncul.
Observatorium Bosscha (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Observatorium Bosscha (Foto: Wikimedia Commons)
Sekarang selain Bosscha yang telah menjadi bagian dari ITB, ada juga Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara (LAPAN), Departemen Sains Atmosfer dan Keplanetan ITERA Lampung, dan beberapa lembaga lainnya yang juga turut mengembangkan komunitas-komunitas astronomi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, jumlah fasilitas astronomi modern di Indonesia masih sangat kurang. Situasi bertambah buruk dengan adanya gangguan polusi cahaya Kota Bandung terhadap proses pengamatan astronomi di Observatorium Bosscha.
Namun untungnya, berkat dorongan berbagai pihak, keluarlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. UU tersebut diikuti dengan Keputusan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 yang mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki observatorium nasional.
Rencana itu perlahan-lahan mulai terwujud. Sebuah observatorium terbesar se-Asia Tenggara sedang dalam proses pembangunan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Teleskop untuk umum Planetarium Jakarta. (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Teleskop untuk umum Planetarium Jakarta. (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
Bernama Observatorium Nasional Timau, observatorium itu merupakan kolaborasi antara para ahli dari berbagai institusi di Indonesia, seperti LAPAN, ITB, serta Universitas Nusa Cendana (UNDANA), yang didukung oleh pemerintah provinsi NTT.
ADVERTISEMENT
"Nama diambil dari nama lokasinya. Kemudian proyeknya sudah diawali dari akhir 2015. Nah tapi memang (proyek) dirintis oleh teman-teman astronom di ITB sejak lama," ujar Rhorom Priyatikanto, peneliti di Pusat Sains Antariksa LAPAN kepada kumparanSAINS, Selasa (4/12). Rhorom turut menulis makalah yang dipublikasikan di Nature tersebut.
Masih menurut hasil studi Rhorom dan kawan-kawan, pembangunan teleskop luar angkasa modern di Indonesia sebenarnya telah didiskusikan sejak 1984. Namun karena kurangnya dukungan, pembangunan baru bisa terealisasi sekarang.
Pembangunan Observatorium Nasional Timau (Foto: LAPAN)
zoom-in-whitePerbesar
Pembangunan Observatorium Nasional Timau (Foto: LAPAN)
NTT menjadi pilihan karena berdasarkan riset-riset meteorologi, provinsi itu merupakan pilihan terbaik bagi lokasi observatorium nasional.
"Berdasarkan studi yang dilakukan tim dari ITB, secara statistik data selama 15 tahun dari 1996 sampai 2010, daerah NTT atau daerah tenggara Indonesia secara umum itu iklimnya agak terpengaruh oleh benua Australia yang cukup kering," kata Rhorom. "Maka dari itu sekitar 70 persen malam hari dalam satu tahun itu cerah. Kira-kira ada 200-an lebih (malam hari).”
ADVERTISEMENT
Rhorom menjelaskan bahwa proses konstruksi observatorium nasional di Timau tersebut direncanakan dimulai tahun ini hingga berakhir kira-kira pada akhir tahun 2019.
"Kondisi sekarang memang masih banyak kekurangan. Terutama akses menuju lokasi yang luar biasa sulit, jalan masih buruk apalagi dengan cuaca hujan saat ini. Komunikasi, listrik, dan sebagainya pun masih minim," tutur Rhorom.
"Sehingga nanti diwacanakan observatorium itu bisa beroperasi dengan (jumlah) SDM seminimal mungkin," imbuh dia.
Lokasi observatorium di Kupang, NTT (Foto: Dok. LAPAN)
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi observatorium di Kupang, NTT (Foto: Dok. LAPAN)
Observatorium Nasional Timau direncanakan akan memiliki teleskop utama Teleskop Ritchey-Chrétien berdiameter 3,8 meter yang mirip dengan teleskop luar angkasa milik Kyoto University, Jepang.
Di samping itu, observatorium ini juga akan dilengkapi dengan teleskop 1,2 meter, dua teleskop survei 50 sentimeter kembar, dan sebuah teleskop 30 sentimeter untuk pengamatan Matahari.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, nantinya juga akan ada beberapa teleskop yang dilengkapi dengan robot yang bisa membantu para peneliti melakukan pengamatan tanpa perlu pergi ke lokasi observatorium.