Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Misteri Kematian George Floyd, Mungkinkah Manusia Bisa Bicara saat Sesak Napas?
4 Juni 2020 16:18 WIB

ADVERTISEMENT
Dua autopsi terhadap jenazah George Floyd menyimpulkan penyebab kematian yang berbeda. Tim forensik dari Hennepin County Medical Examiner dalam laporan hasil autopsi, menyebut bahwa Floyd tewas karena cardiopulmonary arrest. Ini berarti Floyd mengalami gagal jantung sebelum meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu hasil autopsi berbeda disampaikan dokter forensik yang disewa pihak keluarga Floyd. Menurut rilis laporan autopsi, Floyd disebut meninggal karena sesak napas akibat tekanan yang berkelanjutan. Seperti yang terekam dalam sebuah video, sebelum meninggal, leher Floyd sempat ditekan oleh lutut polisi di Minneapolis, Minnesota.
Hasil autopsi menyebut tekanan pada leher itu memotong aliran darah ke otak. Ini kemudian menyebabkan Floyd meninggal.
Video perlakuan polisi pada Floyd itu kemudian memicu amarah publik. Berbagai aksi protes terkait kematian George Floyd meledak di sejumlah wilayah di AS. Mereka menuntut keadilan terhadap kematian Floyd dan memprotes aksi rasialisme serta kebrutalan polisi.
Ketika amarah publik belum reda, seorang pejabat setempat justru mengeluarkan komentar yang mendiskreditkan korban. Hal Marx, Wali Kota Petal, Mississippi, mengunggah cuitan menyoal George Floyd tidak mungkin mengalami sesak napas ketika lehernya ditekan lutut polisi, karena dia masih bisa berbicara.
Memang, Floyd sempat bersuara saat lehernya dicekik di aspal dengan lutut polisi. "Saya tidak bisa napas!" jadi kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Floyd saat itu, sebelum dirinya kehilangan kesadaran dan dilarikan ke rumah sakit. Ucapan itulah yang dipersoalkan Marx.
ADVERTISEMENT
"Jika Anda bisa mengatakan Anda tidak bisa bernapas, tandanya Anda masih bernapas," tulis Marx, lewat akun Twitter-nya, yang kini telah dihapus. "Kemungkinan besar pria itu meninggal karena overdosis atau serangan jantung."
Seth Stoughton, seorang profesor hukum di University of South Carolina dan salah satu penulis Evaluating Police Uses of Force, mengatakan posisi Floyd saat dicekik oleh lutut polisi bernama Derek Chauvin dengan mudah bisa menyebabkan kematiannya.
Dalam asfiksia posisional atau kompresi, kata Stoughton, seseorang mampu bernapas cukup untuk berbicara tetapi mereka tidak mampu menarik oksigen yang cukup selama periode waktu yang lama untuk mempertahankan fungsi bertahan hidup paling dasar.
"Petugas perlu memahami bahwa ada ventilasi, dan ada pernapasan," kata Stoughton, kepada Insider. "Kamu dan aku bisa menahan napas dan masih berbicara. Kita tidak perlu bernapas untuk bicara. Jadi mitos itu harus dihilangkan."
ADVERTISEMENT
Dengan cara simpel yang dicontohkan tersebut, argumen yang menuding Floyd berbohong soal tidak bisa bernapas lantaran dirinya masih bisa berbicara, dapat terbantahkan. Siapa pun bisa mencoba untuk menahan napas, tapi masih bisa berbicara maupun mengeluarkan suara.
Karena tudingannya yang tak berdasar, halaman luar pagar Balai Kota Petal dipenuhi pengunjuk rasa selama tiga hari yang memprotes komentar Marx dan menyerukan pengunduran dirinya.
Selain itu, ada fakta terbaru berdasarkan hasil autopsi pada Floyd. Dalam laporan Pemeriksaan Medis Hennepin County, dokter melaksanakan tes swab terhadap jenazah Floyd. Dari situ didapatkan hasil bahwa Floyd terinfeksi virus corona COVID-19 pada April.
Walau demikian, Floyd dinyatakan tak memiliki gejala serta tak ada kerusakan pada paru-parunya. Dia juga didiagnosis tak memiliki penyakit berbahaya seperti kanker atau tumor paru-paru, pneumonia, peradangan maupun adanya zat asing di dalam tubuhnya. Jadi, corona tidak disebut sebagai penyebab kematian Floyd.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)