Peneliti: Bumi Pernah Kehilangan Hampir Seluruh Oksigen 2,3 Miliar Tahun Lalu

13 April 2021 12:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi berang-berang raksasa di Zaman Es. Foto: Western University
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berang-berang raksasa di Zaman Es. Foto: Western University
ADVERTISEMENT
Selama jutaan tahun Bumi terus mengalami perubahan. Namun, siapa sangka sebelum bertransformasi seperti sekarang ini, dahulu kala Bumi pernah hampir kehilangan seluruh oksigennya.
ADVERTISEMENT
Ketika Bumi pertama kali terbentuk 4,5 miliar tahun lalu, hampir dipastikan atmosfer tidak memiliki oksigen. Namun, 2,43 miliar tahun kemudian, sesuatu terjadi: Kadar oksigen mulai naik dan turun diiringi oleh perubahan iklim ekstrem, termasuk glasiasi (periode zaman es) yang mungkin telah menutupi seluruh dunia dalam es. Peristiwa ini disebut Great Oxidation Event.
Dijelaskan dalam jurnal Nature, oksigen yang tercipta dalam Great Oxidation Event dipengaruhi oleh cyanobacteria laut, sejenis bakteri yang menghasilkan energi melalui fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, cyanobacteria juga menghasilkan oksigen dan ia disebut cikal bakal oksigen di permukaan Bumi.
Jejak perubahan iklim ini terlihat pada batuan sedimen laut. Peneliti mengatakan, ketika atmosfer tidak memiliki oksigen, bantuan ini mengandung beberapa jenis isotop belerang. Namun ketika oksigen melonjak, isotop belerang mulai menghilang akibat reaksi kimia.
Ilustrasi Bumi. Foto: NASA
Andrey Bekker, penulis studi yang merupakan ahli geologi di University of California, bersama peneliti lain telah mempelajari muncul dan hilangnya sinyal isotop dalam batuan tersebut. Mereka mengatakan bahwa naik turunnya oksigen di atmosfer, tampaknya mengikuti tiga glasiasi global yang terjadi antara 2,5 miliar hingga 2,2 miliar tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Anehnya, glasiasi keempat dan terakhir dalam periode Great Oxidation Event tidak terkait dengan perubahan kadar oksigen di atmosfer. "Mengapa kita memiliki empat peristiwa glasial, dan tiga di antaranya dapat dihubungkan dan dijelaskan melalui variasi oksigen atmosfer, tetapi yang keempat berdiri sendiri?” kata Bekker sebagaimana dikutip Live Science.
Untuk mengetahuinya, peneliti mempelajari batuan yang lebih muda dari Afrika Selatan. Batuan laut ini menutupi bagian akhir dari Great Oxidation Event setelah glasiasi ketiga hingga sekitar 2,2 miliar tahun lalu.
Mereka menemukan bahwa setelah peristiwa glasiasi ketiga, oksigen di Bumi nyaris hilang, dan kemudian kembali mengalami pasang surut. Sebelumnya, peneliti mengira bahwa 2,32 miliar tahun lalu, oksigen di Bumi telah terbentuk secara permanen. Namun, hasil penelitian Bakker menunjukkan bahwa pada periode tersebut kadar oksigen di Bumi masih mengalami penurunan.
Foto udara letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Foto: Antara/Nurul Hidayat
Penurunan ini bertepatan dengan glasiasi terakhir yang sebelumnya tidak terkait dengan perubahan atmosfer. “Oksigen di atmosfer selama waktu awal ini sangat tidak stabil dan naik ke tingkat yang relatif tinggi dan turun ke tingkat yang sangat rendah," kata Bekker. "Itu adalah sesuatu yang tidak kami harapkan sampai mungkin 4 atau 5 tahun terakhir penelitian."
ADVERTISEMENT

Cyanobacteria vs Gunung Berapi

Para peneliti masih mencari tahu apa yang menyebabkan semua fluktuasi tersebut. Namun besar dugaan metana menjadi dalang di balik perubahan iklim hingga berdampak pada kadar oksigen di Bumi.
Metana adalah komponen utama gas rumah kaca yang mampu menangkap panas lebih banyak ketimbang karbon dioksida. Saat ini, metana memainkan peran kecil dalam pemanasan global dibandingkan karbon dioksida. Ini tak lain karena metana bereaksi dengan oksigen dan menghilang dari atmosfer dalam waktu sekitar satu dekade, sedangkan karbon dioksida bisa bertahan selama ratusan tahun.
Namun ketika kadar oksigen di Bumi rendah, metana mampu bertahan lebih lama dan bertindak sebagai gas rumah kaca yang lebih parah. Jadi, kata peneliti, urutan oksigenasi dan perubahan iklim bisa dijelaskan seperti ini:
ADVERTISEMENT
“Cyanobacteria mulai memproduksi oksigen yang bereaksi terhadap metana di atmosfer, pada saat itu hanya menyisakan sedikit karbon dioksida. Karbon dioksida tidak cukup melimpah untuk menutupi efek pemanasan dari metana yang hilang, jadi planet ini mulai mendingin. Gletser mengembang dan permukaan planet menjadi sedingin es,” kata peneliti.
Ilustrasi geothermal (panas bumi) Foto: Pixabay
Namun, sesuatu menyelamatkan Bumi dari zaman es berkepanjangan, yakni gunung berapi subglasial. Aktivitas vulkanik akhirnya meningkatkan kadar karbon dioksida cukup tinggi untuk menghangatkan planet. Oksigen yang tadinya berada di titik terendah karena cyanobacteria tertutup es mulai kembali memenuhi atmosfer akibat metana dari gunung berapi yang terus memanaskan keadaan.
Namun, tingkat karbon dioksida vulkanik memiliki pengaruh besar lainnya. Ketika karbon dioksida bereaksi dengan air hujan, ia membentuk asam karbonat yang melarutkan batuan lebih cepat daripada air hujan dengan pH netral. Pelapukan batuan yang lebih cepat ini membawa lebih banyak nutrisi seperti fosfor ke lautan.
ADVERTISEMENT
Masuknya nutrisi seperti itu bisa mendorong cyanobacteria laut semakin produktif. Sekali lagi, kadar oksigen di atmosfer meningkat sangat drastis, menurunkan metana dan mulai bergeser ke siklus awal.
Pola tersebut tampaknya telah berakhir sekitar 2,2 miliar tahun lalu di mana catatan batuan menunjukkan adanya peningkatan karbon organik yang terkubur, artinya organisme fotosintetik mengalami masa kejayaan. Meski begitu, tidak ada yang tahu persis apa yang memicu titik tersebut.
Bakker menduga aktivitas vulkanik menjadi faktor utama dalam menyumbang nutrisi ke lautan dan memberikan sesuatu yang cyanobacteria butuhkan untuk berkembang biak. Pada titik ini, kata Bekker, tingkat oksigen di atmosfer cukup tinggi untuk menekan pengaruh metana pada iklim secara permanen, dan sumber lain menjadi gas rumah kaca yang dominan untuk menjaga planet tetap hangat.
ADVERTISEMENT