Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor, menyoroti isi pidato perdana Presiden Joko Widodo alias Jokowi di momen pelantikannya pada 20 Oktober 2019 lalu. Menurut Firman, akselerasi dalam bidang ekonomi yang ditekankan Jokowi dalam pidatonya menggambarkan corak pemerintahan yang mirip dengan era Orde Baru di masa pemerintahan Soeharto.
ADVERTISEMENT
“Semua (yang disampaikan) mengarah pada percepatan kondisi yang lebih kondusif bagi peningkatan kehidupan ekonomi kita. Ini mirip Orde Baru,” papar Firman saat dihubungi kumparanSAINS, Selasa (22/10).
Hal lainnya yang mengusik Firman adalah soal penegakan HAM yang terkesan dianaktirikan. Ini karena Jokowi sama sekali tak membahas hal itu dalam pidatonya. Begitu pula soal pemberantasan korupsi yang seakan tak diperhitungkan. Firman menuturkan, ini semakin menegaskan nuansa pemerintahan Jokowi yang seolah tengah mengadopsi cara-cara Soeharto memerintah Indonesia ketika masih berkuasa.
“Satu hal yang kita lihat pada era Orde Baru, penegakan HAM menjadi terbengkalai bahkan tidak diurus,” tegasnya.
Firman mencatat, saat pertama kali terpilih sebagai presiden di tahun 2014 lalu, ada begitu banyak hal yang dikedepankan Jokowi. Kala itu, Jokowi begitu getol mengajak masyarakat untuk membangun bangsa ini bersama-sama. “Kemudian Jokowi juga mengingatkan bahwa Indonesia sebagai negara Muslim moderat. Ada pula poros maritim di sana. Banyak hal, termasuk masalah infrastruktur juga. Kelihatan, masih banyak hal yang presiden fokuskan waktu itu,” sambung Firman.
ADVERTISEMENT
Firman merasa, pidato Jokowi berbau Orba ini bukan hal baru. Menurutnya, hal itu sudah terbaca semenjak Jokowi dipercaya untuk pertama kalinya memegang tampuk kepresidenan bersama Jusuf Kalla.
“Pada 2014, nuansa menganut paradigma pembangunanisme yang pernah dianut oleh Orde Baru juga sudah mulai terasa ketika Jokowi menekankan bagaimana pentingnya untuk sama-sama bekerja membangun negara ini,” kata Firman.
“Kalau sekarang, kerja, kerja, kerja. Di era Orde Baru pilihan diksinya, berkarya, berkarya, berkarya,” lanjutnya.
Menurut Firman, isi pidato perdana Jokowi sebagai presiden terpilih untuk kedua kalinya merupakan sebuah cerminan jalannya pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan. Ada proses panjang di baliknya.
“Pidato itu disusun oleh tim. Bukan sambil lalu dan langsung jadi. Tetapi melalui perenungan, hasil diskusi, kemudian mungkin juga masukan dari presiden. Ada proses di situ,” papar Firman.
Firman menduga, isu-isu pemberantasan korupsi dan penegakan HAM tidak lagi menjadi persoalan yang dianggap mendesak oleh pemerintah. “Kalau memang itu dianggap penting, pasti dimasukkan (dalam isi pidato), masalah pembangunan demokrasi, pemberantasan korupsi, perlindungan HAM, masalah keadilan sosial. Jadi enggak hanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga pemerataan.”
ADVERTISEMENT
Firman tak mau menyimpulkan, luputnya penegakan HAM dan isu pemberantasan korupsi oleh pemerintahan Jokowi saat ini sebagai refleksi pesimistis pemerintah mengatasi kedua persoalan tersebut. Namun begitu, ia merasa khawatir apabila pemerintah justru menganggap tak ada yang salah dari kedua isu besar tadi.
“Bisa jadi malah bukan dianggap masalah. Itu yang saya khawatirkan. Masalah HAM dan pemberantasan korupsi dianggap sudah beres, Indonesia dianggap sudah menjadi negara demokratis. Padahal, demokrasi saat ini mengalami set back, menurut saya,” tegasnya.
Firman menambahkan, harus ada persamaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat dalam mendefinisikan demokrasi yang ideal.
“Demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang baik secara prosedur dan baik secara substansi. Secara prosedural, mungkin kita sudah relatif baik,” terangnya.
ADVERTISEMENT
“Yang terpenting adalah substansinya. Yang terjadi saat ini demokrasi seolah-olah dibajak oleh para pemilik modal. Mereka akan melakukan apapun untuk memenangkan kontestasi termasuk memberikan uang pada saat pemilu. Kebiasaan yang sangat buruk, tapi sayangnya diterima oleh masyarakat.”