Pengamat Pendidikan soal Literasi Indonesia Disebut Buruk: Itu Fakta

5 Desember 2019 17:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak membaca.  Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak membaca. Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Hasil survei Programme for International Student Assesment (PISA) 2018 menyebut kemampuan pelajar Indonesia dalam hal membaca, matematika, dan sains mendapat nilai jeblok. Soal tingkat literasi yang disebut buruk ini bukan hal mengejutkan, menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji.
ADVERTISEMENT
“Belakangan, kita resah dengan banyaknya masyarakat yang termakan kabar-kabar hoax. Mereka enggak bisa verifikasi mana berita yang akurat, mana berita yang hoax. Itu menunjukkan tingkat literasi masyarakat kita yang masih rendah,” katanya saat dihubungi kumparanSAINS, Kamis (5/12).
Dua hari setelah hasil survei PISA 2018 dirilis pada 3 Desember 2019 lalu, publik ramai menanggapi literasi masyakarat Indonesia yang dinilai sangat rendah. Kalah jauh dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Ilustrasi perpustakaan Foto: Pixabay
Matraji menjelaskan, jauh sebelum hasil survei PISA itu keluar, secara nasional indikasi rendahnya tingkat literasi di Tanah Air sebenarnya sudah terbaca sejak lama. Hal itu tak mengejutkan baginya mengingat komponen pendukung literasi di sekolah seperti perpustakaan yang masih terbengkalai pengelolaannya.
Yang disoroti Matraji adalah soal rendahnya kualitas buku yang ada di perpustakaan sekolah, begitu pula dengan penampilannya yang tak menarik sehingga para siswa enggan untuk berkunjung. Bahkan, ada beberapa sekolah yang menurutnya tak memiliki fasilitas perpustakaan.
ADVERTISEMENT
“Dari situ kita berasumsi, kalau seperti itu kondisinya, ya, tingkat literasi sudah pasti rendah. Dugaan itu kemudian diafirmasi oleh hasil-hasil penelitian,” paparnya.

Menelaah Akar Masalah Rendahnya Tingkat Literasi di Indonesia

Jika menelaah akar masalahnya, kata Matraji, ini karena pemerintah terlambat menyadari adanya persoalan budaya literasi yang rendah di Indonesia. Pihak pemerintah disebutnya beralibi bahwa riset yang menyebut rendahnya budaya literasi dalam pendidikan Indonesia itu keliru, ada kesalahan pada metode dan pengambilan sampelnya. Padahal, Matraji menilai memang seperti itulah faktanya.
Ilustrasi anak membaca. Foto: Thinkstock
“Seharusnya, tahap pertama itu diterima dulu. Artinya bahwa itu adalah fakta dan kita harus berbenah. Kalau ada kesadaran yang berangkat dari situ, maka kita butuh langkah-langkah berikutnya,” kata dia.
Matraji kemudian merujuk pada langkah-langkah strategis serta perbaikan yang komprehensif. Mengurai benang kusut persoalan literasi di Indonesia butuh uluran tangan, bukan hanya dari dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga disebut harus serius menuntaskan persoalan ini.
ADVERTISEMENT
Dari hal-hal sederhana saja, misalnya, Matraji mengkritisi soal program pengadaan buku yang tak disertai dengan program evaluasi untuk menyeleksi pilihan buku yang tepat dan menarik untuk dibaca. Hal ini membuat gerakan revitalisasi perpustakaan pada akhirnya tidak efektif.
Rak buku dan majalah (ilustrasi). Foto: Pixabay/Unsplash
Selain itu, perpustakaan selama ini hanya didominasi buku-buku ajar yang juga dipelajari oleh para siswa di kelasnya. “Kalau buku ajar semua, anak kan sudah belajar di rumah pakai buku ajar, di sekolah pakai buku ajar, terus di perpustakaan kenapa dia harus baca itu lagi?” kritiknya.
Pengadaan buku dari pemerintah pusat saja tidak cukup. Program penunjang untuk memastikan buku itu terbaca dan bisa bermanfaat bagi para siswa juga dibutuhkan.
Akar masalah yang juga disoroti oleh Matraji adalah sumber daya manusia (SDM) di industri pendidikan yang tidak cukup memadai. “Banyak juga sarjana perpustakaan, tapi dia enggak punya pemikiran bagaimana mengelola perpustakaan yang baik. Tenaganya saja kita belum ada. Apalagi tenaga yang berkualitas. Sudah ada aja Alhamdulillah,” bebernya.
ADVERTISEMENT
Literasi seharusnya dibudayakan. Hal ini berkaitan dengan mencari cara bagaimana peserta didik memiliki kebiasaan membaca sejak dini hingga nanti mereka dewasa.
“Kalau di sekolah itu tidak ada budaya literasi, maka si anak itu enggak mungkin terpengaruh,” katanya.
Untuk itulah, Matraji menekankan soal bagaimana budaya literasi di level guru juga harus digalakkan. Ditambah, ekosistem sekolah yang juga diharapkan mampu mendukung terwujudnya budaya tersebut. Sebab, ini bukanlah persoalan sederhana sehingga penanganannya pun harus dilakukan secara komprehensif.