Perubahan Iklim Ancam Buka ‘Kuburan’ Nuklir Perang Dingin

15 November 2019 8:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana ledakan bom nuklir di Nagasaki, pada 9 Agustus 1945. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Suasana ledakan bom nuklir di Nagasaki, pada 9 Agustus 1945. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Dua ancaman besar kini sedang mengancam kehidupan manusia. Pertama adalah perubahan iklim, kemudian kedua adalah “kuburan” nuklir yang berada di Kepulauan Marshall.
ADVERTISEMENT
Dahulu, saat Amerika Serikat mengendorkan serangannya selama Perang Dingin, Pentagon menjatuhkan 67 bom nuklir di Bikini Atoll Kepulauan Marshall, Samudera Pasifik.
Menjelang akhir 1970-an, kekacauan yang dihasilkan dari uji coba bom nuklir tersebut, seperti tanah yang terkontaminasi dari enam pulau berbeda beserta puing-puing lainnya, diangkut ke dalam sebuah lubang di Pulau Runit dan ditutup oleh kubah raksasa.
Selama bertahun-tahun, masalah radiasi nuklir tampaknya bisa teratasi. Tapi sekarang, seperti dilaporkan The Los Angeles Times, makam nuklir itu terancam retak sebagai akibat dari kenaikan permukaan laut dan efek lain dari perubahan iklim.
The Runit Dome, lubang radioaktif yang ditutup oleh kubah beton raksasa. Foto: beyondnuclearinternational.org
Makam dangkal yang disebut The Runit Dome atau secara lokal dikenal sebagai “The Tomb” sendiri adalah kubah beton setebal 114 centimeter dengan diameter 115 meter yang dapat ditemukan di Pulau Runit, Enewetak Atoll.
ADVERTISEMENT
Kubah itu berfungsi sebagai penutup bahan radioaktif sisa uji coba bom nuklir AS di “Pacific Proving Grounds”. Namun, akhir-akhir ini, ada kekhawatiran bahan di dalamnya akan bocor.
Investigasi yang dilakukan tim The Los Angeles Times dan Columbia University, menunjukkan adanya kemungkinan kubah raksasa itu runtuh. Dalam serangkaian penelitiannya, mereka mendokumentasikan retakan beton kubah yang semakin memburuk akibat kenaikan suhu. Permukaan laut yang meningkat di pantai Pulau Runit, juga menjadi salah satu penyebab merembesnya bahan radioaktif ke perairan sekitar.
Pada Juli 2019, studi lain menemukan bahwa beberapa daerah di Kepulauan Marshall memiliki tingkat radiasi yang sebanding dengan yang ditemukan di dekat Chernobyl dan Fukushima.
Ilustrasi bom nuklir Foto: WikiImages/pixabay
Pada tahun 1986, Kepulauan Marshall menandatangani perjanjian untuk memastikan kemerdekaannya dari AS. Namun, kemerdekaan itu juga menandakan bahwa pemerintah AS tidak lagi secara eksplisit bertanggung jawab atas dampak uji coba nuklir pada saat Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Kendati AS telah setuju untuk membayar permukiman dan perawatan kesehatan masyarakat yang terkena dampak uji coba nuklir, namun mereka tidak ingin berurusan dengan “The Tomb”.
Hingga saat ini, Kepulauan Marshall sendiri telah berupaya melobi pemerintah AS untuk membantu menangani masalah keretakan “The Tomb”. Namun, pejabat Amerika dilaporkan menolak permintaan tersebut, mereka beralasan bahwa kubah itu adalah tanggung jawab pemerintah Marshall.
“Saya heran, bagaimana bisa kubah menjadi milik kita?” kata Hilda Heine, Presiden Kepulauan Marshall kepada The Los Angeles Times. “Kami tidak menginginkannya. Kami tidak membangunnya. Sampah di dalam bukan milik kita. Itu milik mereka."