Riset: Mimpi Indah Berasal dari Perasaan Senang dan Pikiran Tenang

2 September 2018 19:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi sedang bermimpi (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sedang bermimpi (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Apakah setiap malam kamu sering berharap untuk mendapatkan mimpi indah? Lalu, kamu malah mendapatkan mimpi buruk dan merasa tidak bersemangat ketika terbangun untuk memulai hari.
ADVERTISEMENT
Mimpi memang penuh dengan misteri. Kapan kita akan bermimpi saat tidur dan juga makna dari mimpi tersebut selalu menjadi pertanyaan manusia yang sulit untuk ditemukan jawabannya.
Tapi, mungkin saja sebuah studi baru ini bisa menjawab pertanyaanmu itu, setidaknya soal kapan kita akan mendapatkan mimpi indah. Dalam penelitian baru, ditemukan adanya hubungan antara mimpi indah dengan ketenangan pikiran selama seharian sebelum tidur, serta mimpi buruk dengan perasaan gelisah.
Dilansir Gizmodo, riset bisa berguna untuk menjelaskan alasan mengapa kita bermimpi, dan membantu penanganan kesehatan mental yang seringkali berkaitan dengan mimpi buruk.
"Ada prinsip yang diutakan oleh (ahli psikologi) Alfred Adler yang mengatakan kita memimpikan apa yang kita jalani dan kita hidup dari apa yang kita impikan, dan itu memang benar adanya," ujar Stanley Krippner, seorang ahli psikologi di Saybrook University, yang tidak terlibat dalam studi baru ini, kepada Gizmodo.
ADVERTISEMENT
Krippner yakin jika mimpi adalah kumpulan hal yang mengingatkan kita tentang kehidupan yang membuat kita senang atau gelisah.
"Ketika kamu merasa senang selama seharian, kamu akan mendapatkan mimpi indah di malam hari. Fungsi dari mimpi itu adaptif, ingatlah apa yang membuat pikiranmu tenang, berulang kali. Ini juga merupakan salah satu hasil temuan dari studi tersebut," jelas Krippner.
Ilustrasi mimpi. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mimpi. (Foto: Pixabay)
Sebelumnya, ada berbagai riset yang menelaah soal mimpi, di antaranya seperti 'otak sampingan' kita untuk menyimpan kenangan dan pembelajaran, strategi mempersiapkan diri dalam bahaya di kehidupan nyata, atau wadah bagi pikiran kita dalam menghadapi pengalaman yang sangat emosional.
Hal ini juga berkaitan dengan kesehatan mental, di mana orang dengan rasa cemas dan depresi seringkali mengalami mimpi buruk.
ADVERTISEMENT
"Mengetahui asal munculnya emosi mimpi dan bagaimana mimpi-mimpi itu berkaitan dengan keadaan kita terjaga bisa membantu mengungkap fungsi-fungsi lain dari mimpi," ucap Pilleriin Sikka, penulis studi ini, yang juga ahli psikologi dan ahli saraf dari University of Turku, Finlandia.
Metode penelitian
Untuk mengukur bagaimana isi sebuah mimpi berkaitan dengan keadaan emosional seseorang, tim peneliti meminta 47 sukarelawan untuk mengisi sebuah kuesioner untuk melihat keadaan seseorang, apakah baik-baik saja atau tidak. Pertanyaan yang diajukan tidak jauh soal kecemasan, depresi, kepuasan dalam hidup, serta ketenangan pikiran.
Kemudian, para sukarelawan itu harus menulis 'diari mimpi' selama tiga pekan. Ini mengharuskan mereka menuliskan mimpinya secara detail di sebuah buku setelah terbangun.
Sukarelawan dan peneliti memisahkan antara mimpi yang positif dan negatif, seperti yang mengandung perasaan cinta, bahagia, sedih, kesal, dan benci.
Mimpi (Foto: The Digital Artist/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Mimpi (Foto: The Digital Artist/Pixabay)
Lewat data itu, para peneliti menemukan jika orang dengan skor tinggi pada ketenangan pikirannya mendapatkan mimpi yang lebih menyenangkan, mimpi positif, dalam studi yang dipublikasikan pada Jumat (31/8) di Scientific Reports.
ADVERTISEMENT
Dan untuk mereka yang memiliki skor tinggi pada sektor kecemasan dan depresi, mengalami lebih banyak mimpi negatif dan tidak menyenangkan.
Tapi, tentunya penelitian ini masih ada batasannya, terutama pada hal data sukarelawan. Bisa saja sukarelawan pernah lupa menuliskan mimpinya, atau enggan menuliskan mimpi yang memalukan bagi dirinya.
Meski begitu, tetap saja penelitian yang berfokus pada kesehatan seseorang terkait mimpinya sangat penting. Kebanyakan riset dilakukan terhadap orang-orang yang mengalami masalah psikologi.