Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Satu Persen Air untuk Tujuh Miliar Penduduk Bumi
26 Desember 2018 17:46 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
ADVERTISEMENT
Bank investasi besar dunia, Goldman Sachs, menyebutnya “minyak bumi untuk abad selanjutnya”.
ADVERTISEMENT
The Economist menyebutnya sebagai “sesuatu yang paling bernilai di dunia”.
Pada tahun 2014 lalu, CNN bahkan menyebutnya “sudah lebih bernilai daripada emas”.
Jika Anda menganggap bahwa yang dimaksud oleh Goldman Sachs, The Economist, atau CNN adalah hasil tambang lainnya serupa minyak bumi atau emas, Anda salah besar.
Nyatanya, yang dimaksud ketiganya adalah air. Lebih tepatnya air tawar, yang merupakan salah satu sumber daya alam terpenting bagi kehidupan umat manusia.
Air memang memiliki posisi yang cukup aneh. Meski merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi manusia untuk bertahan hidup, ia tidak dihargai sebagaimana mestinya. Manusia telah mengonsumsi air seolah sumber daya yang satu ini tidak akan ada habisnya sampai kapan pun. Padahal, tidak semua orang seberuntung itu.
Laporan tahunan WHO/UNICEF Joint Monitoring Programme for Water Supply, Sanitation and Hygiene menemukan bahwa per tahun 2015 lalu, masih ada 663 juta orang di seluruh dunia yang tidak memiliki akses ke sumber air yang terjamin. Artinya, hampir 10% populasi bumi - jumlah yang tentu tidak sedikit - masih harus mengandalkan air yang tidak aman bagi kesehatan.
ADVERTISEMENT
Sekilas, hal ini ironis. Manusia, yang hidup di sebuah planet yang dijuluki The Blue Planet - Planet Biru - karena lebih dari 70% permukaan planet tertutup air, harus merasakan kesulitan mendapatkan akses air bersih. Sayangnya, dari seluruh air di bumi ini, hanya 2,5% yang merupakan air tawar, yang bisa dikonsumsi manusia, dan dari jumlah tersebut, hanya sepertiganya yang bisa kita akses. Artinya, sejatinya hanya 1% dari total air di seluruh bumi yang bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan hidup.
Bayangkan. Satu persen air untuk lebih dari tujuh miliar manusia, yang akan terus bertambah dalam beberapa tahun mendatang.
Belum lagi menghitung persoalan persebaran air yang tidak merata. Beberapa wilayah di bumi beruntung memiliki jumlah cadangan air yang sangat besar, sementara beberapa wilayah lainnya tidak memiliki keberuntungan serupa. Menurut Badan Pangan Dunia, FAO, dalam laporannya pada tahun 2013 lalu, diketahui bahwa Amerika Utara memiliki 15% cadangan air dunia. Sementara Afrika, hanya 9%. Padahal, jumlah penduduk Benua Afrika ketika itu tercatat hampir dua kali lipat jumlah penduduk Amerika Utara.
ADVERTISEMENT
Jika ingin melihat perbandingan yang lebih mengenaskan lagi, coba yang satu ini: Kuwait adalah salah satu negara dengan cadangan air paling sedikit di dunia dengan hanya 10.000 liter per kapita, sementara Kanada, salah satu negara dengan jumlah cadangan air terbanyak di dunia, memiliki 10.000 kali lipatnya.
Tetapi selain masalah ketimpangan, ada lagi persoalan lain yang lebih mengkhawatirkan. Dari 1% air tawar yang bisa manusia akses tersebut, jumlahnya diperkirakan sudah semakin berkurang karena masalah pencemaran dan minimnya upaya konservasi air.
Padahal, di sisi lain, populasi bumi semakin meningkat dan kebutuhan air juga akan semakin besar - menurut riset Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), diperkirakan pada tahun 2050 mendatang akan terjadi peningkatan kebutuhan air bersih hingga 55% dibandingkan dengan tahun 2000.
ADVERTISEMENT
Situasi mengkhawatirkan itu bahkan sudah terlihat secara nyata dampaknya. Sungai-sungai besar di berbagai belahan dunia mengalami penurunan debit air, bahkan hingga kekeringan. Penurunan debit air juga terjadi di dam-dam besar seperti di Western Cape Water Supply System, sumber air utama bagi ibukota Afrika Selatan, Cape Town. Begitu parahnya penurunan debit air sampai-sampai Cape Town sempat divonis akan menghadapi “Day Zero” - hari ketika aliran air untuk masyarakat dihentikan sama sekali, kecuali di beberapa titik untuk kepentingan massal.
Peristiwa Cape Town tentu menimbulkan pertanyaan: mungkinkah air benar-benar hilang dan seluruh dunia mengalami “Day Zero”?
Untuk menjawabnya, ada pertanyaan lain yang perlu dijawab lebih dahulu: memangnya air tawar, yang jumlahnya 1% dari seluruh air di dunia itu, “pergi” ke mana? Bukankah air memiliki siklusnya sendiri yang membuat air akan selalu ada di bumi?
ADVERTISEMENT
Siklus air, pada dasarnya, memang akan selalu terjadi: air bisa saja mengalir ke lautan, atau menggenang di daratan, tetapi kemudian akan menguap ke udara, menjadi awan, sebelum kemudian turun kembali dalam bentuk hujan. Selalu seperti itu.
Artinya, di atas kertas, manusia akan bisa mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersihnya. Apalagi, manusia juga bisa mengandalkan punya air tanah, yang mengambil porsi dua pertiga dari total air tawar dunia.
Ada beberapa faktor mengapa perhitungan di atas kertas itu tidak berlaku pada kondisi sebenarnya. Pertama adalah soal jumlah debit air tanah yang terus tergerus karena konsumsi yang berlebihan.
Air tanah merupakan salah satu sumber air utama bagi negara-negara dunia. Ia tak cuma digunakan untuk kebutuhan domestik saja, namun juga digunakan untuk kebutuhan sektor agrikultur dan industri. Masalahnya, dengan penggunaan yang terus menerus, pelan-pelan debit air tanah pun tergerus.
ADVERTISEMENT
“Kita sebisa mungkin memanfaatkan air permukaan, bukan lagi air tanah. Konservasi air tanah itu lebih sulit daripada air permukaan,” jelas Glaudy Perdanahardja dari The Nature Conservancy (TNC) Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri pada kampanye konservasi alam yang berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara.
Mengapa lebih sulit? Pertama, tidak semua tanah memiliki kemampuan untuk menyerap air dengan baik. Kedua, dengan semakin maraknya pembangunan oleh manusia, area tanah terbuka yang tidak tertutup semen, aspal, atau lapisan-lapisan keras lainnya menjadi semakin kecil, dan berimbas pada semakin sulitnya air untuk masuk ke dalam tanah. Akhirnya, sebagian besar air akan mengalir ke selokan sebelum kemudian mengalir ke sungai dan berujung di laut, atau menggenang dan kemudian menguap.
ADVERTISEMENT
Jika jumlah air yang dikeluarkan dari tanah lebih besar daripada jumlah air yang kembali ke dalam tanah, tentu saja akan terjadi pengurangan debit air tanah sedikit demi sedikit setiap tahunnya.
Hal itu juga yang terjadi di Indonesia, terutama Pulau Jawa yang diklaim sudah defisit air sejak 1995.
“Sesungguhnya wilayah Jawa dan Nusa Tenggara telah defisit air tahun 1995. Artinya ketersediaan air yang ada, baik air permukaan dan air tanah, sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduk,” sebut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
“Studi yang dilakukan Bappenas pada tahun 2007 juga menunjukkan hasil bahwa ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan pada musim kemarau di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara,” lanjutnya.
Berkurangnya area tanah yang mampu menangkap air hujan juga berujung pada faktor kedua: air tawar pelan-pelan berkurang karena semakin banyak air yang mengalir ke laut, menjadi air asin.
ADVERTISEMENT
Faktor ketiga adalah degradasi kualitas air karena penggunaan air oleh manusia, terutama untuk industri dan agrikultur. Penurunan kualitas air juga bisa terjadi karena ulah manusia yang mencemari air bersih dengan sampah atau limbah. Menurut data World Water Assessment Programme (WWAP) dari PBB pada tahun 2003 lalu, setiap hari sekitar dua juta ton limbah domestik, industri, dan agrikultur mencemari air di seluruh dunia.
Faktor terakhir adalah pemanasan global, yang terus terjadi saat ini dan ikut mengubah kondisi-kondisi natural. Musim kemarau bisa berkepanjangan, sementara musim hujan bisa begitu parah hingga menyebabkan banjir. Union of Concerned Scientist (UCS), sebuah perkumpulan para ilmuwan di Amerika Serikat, menyebut bahwa salah satu dampak yang sangat terasa dari pemanasan global adalah semakin seringnya perubahan cuaca yang ekstrem terjadi.
ADVERTISEMENT
Sialnya, Indonesia adalah negara yang cukup rentan mengalami masalah tersebut.
Dalam laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2010 lalu, disebutkan bahwa karena lokasi geografis, topografi, dan aspek sosial ekonominya, Indonesia secara khusus rentan mengalami dampak dari variabilitas dan perubahan iklim. Hal ini, terutama, dikarenakan dua fenomena yang cukup sering terjadi di Indonesia: El Niño dan La Niña.
“Sejumlah studi menemukan bahwa El Niño menjadi lebih sering terjadi seiring dengan anomali temperatur global yang sering diasosiasikan dengan El Niño terus meningkat,” tulis laporan tersebut.
Dampaknya adalah, Indonesia bisa mengalami musim kemarau yang berkepanjangan dan musim hujan yang sangat ekstrem. Dengan situasi seperti itu, berharap hujan akan selalu turun dan menjadi sumber air kita bukanlah hal ideal.
ADVERTISEMENT
Itulah yang terjadi di Cape Town. Dua tahun kekeringan yang melanda ibukota Afrika Selatan itu adalah sebuah anomali alam yang tidak bisa diprediksi para ilmuwan sebelumnya. Cadangan air yang sangat mengandalkan air hujan membuat Cape Town kesulitan hampir membuat kota tersebut kolaps. Beruntung, pengiritan air yang dilakukan masyarakat Cape Town serta hujan yang akhirnya turun menyelamatkan Cape Town dari “Day Zero”.
Melihat faktor-faktor di atas, bisa dimengerti bahwa meski siklus air akan terus berlangsung dan meski jumlah air akan selalu sama di muka bumi ini - karena atmosfer dan gravitasi bumi memastikan bahwa air tidak akan tiba-tiba melayang ke luar angkasa - bahaya kekeringan akan selalu membayangi manusia. Air tawar, yang merupakan satu-satunya jenis air yang bisa dikonsumsi manusia, sangat mungkin terus berkurang jumlahnya hingga sangat minim atau bahkan habis jika tidak ada upaya untuk mulai melestarikannya dalam bentuk konservasi air.
ADVERTISEMENT
Apalagi, sekali lagi, jumlah air tawar yang bisa diakses manusia sangatlah terbatas: hanya satu persen dari seluruh jumlah air di muka bumi.
Satu persen air, untuk tujuh miliar penduduk bumi.
Bayangkan.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama kumparan dengan ADES. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang ADES Conservacation, klik di sini .