Sejarah Panjang Gunung Api Lumpur di Blora, Sudah Ada Sejak Zaman Kerajaan Jawa

31 Agustus 2020 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lokasi lumpur di Wisata Geologi Kesongo Blora yang meletus. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi lumpur di Wisata Geologi Kesongo Blora yang meletus. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, tepatnya Kamis (27/8) pagi, kawah lumpur di Wisata Geologi Kesongo Blora, Desa Gebusan, Kecamatan Jati, Jawa Tengah, meletus dan menyemburkan lumpur panas ke udara hingga ketinggian sekitar 4 meter.
ADVERTISEMENT
Meski bukan yang pertama kalinya, semburan lumpur itu telah menghebohkan warga setempat. Sebab, semburan lumpur di Blora kali ini disebut-sebut menjadi yang terbesar dari letusan sebelumnya. Sejumlah kerbau yang berkubang di sekitar semburan menjadi korban, dan sekitar empat orang keracunan.
Gunung api lumpur Kesongo atau Bleduk Kesongo (Mud Volcano) ternyata sudah muncul di permukaan sejak ratusan tahun lalu, ini terlihat dari prasasti kerajaan-kerajaan Jawa. Peneliti menduga, gunung lumpur ini telah ada beberapa ribuan tahun lalu, jika melihat inferensi dari stratigrafi dan penyebaran lumpur serupa di Bleduk Kuwu yang sejalur dengan Bleduk Kesengo.
Menurut peneliti geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Haryadi Permana, fenomena geologi ini terjadi di jalur fisiografi yang disebut ‘Jalur Kendeng’, di mana jalur tersebut terdapat lapisan lempung atau lumpur bertekanan tinggi di bawah permukaan bumi.
ADVERTISEMENT
“Jika ada bidang lemah yang bisa mereka terobos, lumpur itu akan muncul ke permukaan berupa gunung-gunung lumpur. Jalur Kendeng itu membentang dari Barat ke Timur, dari daerah Sangiran-Purwodadi ke timur di Sidoarjo sampai ke Selat Madura di bawah air laut di utara Situbondo sana,” kata Haryadi kepada kumparanSAINS, Minggu (30/8).
Air yang keluar bersama lumpur itu umumnya adalah air asin dari laut yang terendapkan bersama sedimen lempeng atau lumpur. Air asin dengan kadar borax tinggi sangat digemari binatang-binatang, termasuk kerbau milik warga yang digembalakan di sekitar bleduk karena kandungan nutrien garam untuk tubuh hewan.
Kejadian serupa di Bleduk Kesongo juga pernah terjadi sekitar tujuh tahun lalu, atau pada 2013. Kala itu, Bleduk Kesongo meletus mengeluarkan lumpur dan gas selama beberapa waktu. Hal ini lazim terjadi karena ia merupakan bagian dari mekanisme pelepasan tekanan yang sudah menumpuk sedemikian lama karena sumbatan sedimen-sedimen lumpur yang mulai mengeras di lubang diatrema utama setelah letusan besar sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini akan terus berulang secara periodik, bahkan mungkin sampai ribuan tahun ke depan karena kondisi tektonik Jalur Kendeng memang selalu dalam keadaan tertekan dan lapisan-lapisan lumpur tekanan tinggi tersebut masih terus ada di bawah permukaan.
Kerbau-kerbau yang selamat dari letusan lumpur gas di Blora. Foto: kumparan

Apa yang menyebabkan lumpur berwarna hitam dan terlihat menyeramkan?

Ini sebenarnya karena kandungan mineral lempeng pembentuk lumpur tersebut, terdiri dari montmorillonite smectite dan illite yang memiliki warna abu. Warna hitam itu kemungkinan karena bercampur dengan karbon organik, baik dari lingkungan pengendapan yang terus menjadi satu dengan lumpur di kedalaman asal ataupun karbon organik dari sedimen-sedimen di kedalaman yang lebih dangkal yang ikut terbawa atau tergerus oleh gerakan naik lumpur dari kedalaman.
Kondisi reduksi yang ditandai dengan munculnya karbon-karbon organik tersebut juga menyebabkan banyak terbentuknya gas belerang yang keluar bersamaan dengan lumpur. Selain juga kemungkinan gas metana seperti diamati di beberapa bleduk yang lain di sepanjang jalur Mud Volcano Kendeng.
ADVERTISEMENT
“Gas belerang, panasnya temperatur lumpur, tekanan semburan lumpur, dan kemungkinan gas metana yang muncul bersamaan dengan erupsi lumpur itulah yang berbahaya untuk manusia dan kerbau itu tentunya,” kata Haryadi.
“Mudah-mudahan penduduk sekitar terus menerus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang seperti itu, apalagi kalau memang mereka secara turun temurun sudah terbiasa hidup di daerah itu.”
Lumpur Lapindo. Foto: Antara/Eric Ireng

Beda semburan lumpur Lapindo dan Bleduk Kesongo

Haryadi bilang, kasus erupsi mud volcano di Kesongo sedikit berbeda dengan kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang akhirnya sama-sama menjadi gunung lumpur. Di kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, underground blow out yang tidak bisa ditangani oleh tim pengeboran akhirnya memicu terbentuknya retakan bidang lemah di bawah permukaan bumi yang nyambung sampai ke permukaan. Akibatnya, lumpur bertekanan tinggi di dalam perut Bumi terbebaskan dan mengalir ke permukaan sehingga menciptakan Gunung Lumpur baru.
ADVERTISEMENT
Sebagian ahli mengatakan, retakan itu terbentuk karena gempa Yogyakarta yang jauhnya 250 km di arah barat daya. Namun, karena tidak ada retakan lain yang muncul di dekat lokasi gempa atau lokasi lainnya, maka klaim tersebut tidak begitu populer di kalangan para saintis dan praktisi migas dan kebumian.
Berbeda dengan letusan di Kesongo. Semburan di Bleduk Kesongo bukan dipicu oleh aktivitas pengeboran, tapi kemungkinan karena sumbat diatrema existing mud volcano yang mampet dan terlalu kuatnya tekanan di bawah sumbat selama tujuh sampai delapan tahun sejak terakhir kali dia memuntahkan lumpurnya.
Sejumlah petugas melihat tanggul penahan lumpur Porong yang ambles di titik 67 Gempol Sari, Tanggulangin, Sidoarjo. Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
“Lagi pula, di daerah Kesongo ini memang dari zaman sejarah dulu orang-orang sudah tahu bahwa gunung lumpur itu sudah ada dan mengejawantah. Beda dengan yang di Sidoarjo. Di lokasi pemboran dan dalam radius 500 hektar yang sekarang jadi kolam gunung lumpur, di mana semula sama sekali tidak ada gunung lumpurnya di permukaan,” ujar Haryadi.
ADVERTISEMENT
“Semoga saja penduduk sekitar makin cerdas dan bijaksana hidup berdampingan dengan dan di lokasi-lokasi yang proses geologinya punya potensi mendatangkan bencana, seperti di Bleduk Kesongo.”