Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Berhentilah sejenak. Jangan terlalu keras bekerja. Jangan ngoyo menempuh perjalanan jauh. Sapa dan berbincanglah dengan sesamamu: sahabat, kerabat, atau bahkan orang-orang yang sekadar lewat.
ADVERTISEMENT
Jadilah seperti… SEMUT.
Kamu yang bisa membaca tulisan ini pasti pernah melihat barisan semut yang berjalan beriringan. Mereka kadang berhenti ketika menjumpai semut-semut lain dalam perjalanan.
Semut-semut yang berhenti sejenak itu tampak seperti sedang bersalaman.
Sungguh unik, meski terlihat bekerja keras setiap hari, semut yang mampu mengangkut beban hingga 50 kali lebih berat dari beban mereka itu, tetap sempat “bersilaturahmi".
Fenomena “silaturahmi” yang dilakoni para semut pernah dijelaskan oleh Theodore Christian Schneirla. Peneliti di New York University itu sempat mengadakan percobaan dengan semut.
Ia mengambil seekor semut untuk kemudian ditaruh dalam wadah yang berisi makanan. Sementara seekor semut lain ia taruh dalam tempat yang berisi semut-semut musuh.
Kelakuan kedua semut itu kemudian ia amati, terutama saat semut-semut itu sedang berpapasan dengan kawan-kawannya di jalan.
ADVERTISEMENT
Dari penelitian tersebut, Schneirla menyimpulkan bahwa zat kimia yang dikeluarkan dari makanan ataupun dari musuhnya, menempel pada semut itu.
Ketika bertemu dengan temannya, semut akan saling bersentuhan. Dengan “sapaan” inilah semut akan memberi tahu kawannya apakah di lingkungan sekitar mereka ada makanan atau justru ada musuh.
Informasi tersebut tersampaikan melalui zat kimia yang menempel ketika mereka saling bersentuhan.
Dr. Eko Kuswanto, peneliti serangga dari Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, membenarkan penjelasan Schneirla.
“Semut memiliki perilaku yang dinamakan trophallaxis. Saling bertukar material dari mulut-mulut atau anus-mulut. Material bisa berupa makanan, protozoa, atau bahan kimia lainnya. Dengan perilaku trofalaksis ini, antarindividu nampak saling bersalaman atau bersentuhan saat bertemu,” kata Eko kepada kumparan, belum lama ini.
ADVERTISEMENT
Melalui cara bersalaman itu, semut juga bisa mengetahui adanya peluang atau kesempatan baik (opportunities) maupun ancaman (threats) dari rekannya.
Mereka bisa menyegerakan pengambilan kesempatan baik dan mengantisipasi ancaman di depan.
Efeknya, kehidupan semut-semut akan lebih mudah. Usia hidup mereka bisa jadi lebih panjang karena bisa menghindari musuh atau ancaman, sekaligus menjemput makanan atau kesempatan baik lebih cepat.
Perilaku semut yang merupakan serangga anggota suku Formicidae dan bangsa Hymenoptera ini terkait pula dengan perilaku manusia. Banyak penelitian menyebutkan bahwa kegiatan silaturahmi dapat memberikan banyak manfaat bagi manusia.
Mark Granovetter, seorang sosiolog yang meraih gelar Ph.D. di Harvard University, pernah melakukan penelitian pada 1970-an terhadap para pekerja profesional, teknis, maupun manajerial di kota Newton, Massachusetts. Penelitian itu mengungkapkan tentang cara mereka mendapatkan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian tersebut lantas dituangkan Granovetter dalam buku berjudul Getting A Job: A Study of Contacts and Careers yang terbit tahun 1974.
Melalui buku tersebut, Granovetter mengungkapkan bahwa mayoritas orang yang menjadi respondennya mendapat pekerjaan berdasarkan koneksi pribadi. Mirip dengan cara semut menemukan sumber makanan.
Di lain bidang, satu tim yang diketuai oleh Julianne Holt-Lunstad pernah meneliti efek hubungan sosial pada kesehatan. Tim yang beranggotakan ahli psikologi dan epidemiologi dari Brigham Young University itu melakukan penelitian terhadap 308.409 orang yang kehidupannya diikuti selama rata-rata 7,5 tahun.
Sebanyak 308 ribu lebih orang yang diteliti itu berlokasi di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swedia, Denmark, Finlandia, Perancis, Inggris, Belanda, Norwegia, Jerman, Italia, Israel, Taiwan, Jepang, dan China.
ADVERTISEMENT
Pada 2010, hasil analisis penelitian mereka kemudian dipublikasikan oleh PLOS Medicine terbitan Public Library of Science dalam jurnal berjudul Social Relationships and Mortality Risk: A Meta-analytic Review.
Dalam jurnal tersebut, dituliskan kesimpulan bahwa mereka yang memiliki hubungan sosial kuat atau memadai, memiliki kemungkinan 50 persen lebih besar untuk bertahan hidup dibanding mereka yang memiliki hubungan sosial buruk.
Dengan kata lain, mereka yang memiliki hubungan sosial baik akan 50 persen lebih panjang umur dibanding mereka yang tidak.
Jadi tak ada salahnya kan meluangkan waktu beberapa saat di sela-sela kesibukanmu untuk menjalin pertemanan dan persaudaraan yang hangat?