Soal Tanah Jadi Lumpur, Kenapa Terjadi Likuifaksi Setelah Gempa Palu?

2 Oktober 2018 16:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kondisi di Petobo, Palu, yang hancur akibat gempa bumi. (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi di Petobo, Palu, yang hancur akibat gempa bumi. (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
ADVERTISEMENT
Selain gempa dan tsunami, bencana di Palu juga diikuti dengan likuifaksi atau fenomena yang menyebabkan tanah berubah menjadi lumpur seperti cairan dan ia kehilangan kekuatannya dan menyebabkan amblas.
ADVERTISEMENT
Likuifaksi terjadi di Kelurahan Petobo, Palu, Suawesi Tengah. Ini menjadi salah satu daerah yang paling parah terdampak gempa bumi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mencatat, ada setidaknya 744 rumah di area ini yang tenggelam ditelan lumpur.
Berdasarkan pantauan kumparan di lokasi pada Selasa (2/10), tanah yang dulu kokoh ditempati rumah warga, kini berubah menjadi lumpur dan menelan seluruh bangunan di Petobo. Termasuk kendaraan yang sudah tak lagi utuh.
Saat ini lumpur sudah mengering, menimbun rumah warga, mobil, hingga merobohkan tiang listrik.
Adrin Tohari, peneliti bidang Geoteknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menjelaskan mengapa likuifaksi dapat terjadi setelah gempa Bumi di Palu yang menyebabkan keluarnya lumpur dari tanah dan kemudian terjadi tanah amblas.
ADVERTISEMENT
Likuifasi tersebut terjadi karena keadaan tanah yang tidak padat dan merupakan tanah gembur. Akibat guncangan gempa, air yang berada di dalam tanah pun naik dan bercampur dengan tanah sehingga kemudian berubah menjadi seperti lumpur. Di sini terjadi perubahan sifat material pada tanah. dari padat atau solid menjadi seperti cairan dalam bentuk lumpur.
“Jadi kalau bahasa sederhananya itu perubahan massa tanah yang kondisinya lepas kemudian bercampur air akibat guncangan gempa, sehingga kekuatan (tanah)nya hilang,” kata Adrin saat diwawancarai oleh kumparanSAINS, Selasa (2/10).
“Ketika kekuatannya hilang, dia (tanah) berubah seolah-olah (menjadi) cairan, makanya yang tampak di video itu tanah seolah berubah jadi lumpur yang bergerak.”
Kondisi di Petobo, Palu, yang hancur akibat gempa bumi. (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi di Petobo, Palu, yang hancur akibat gempa bumi. (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
Selain kondisi tanah yang gembur, Adrin juga mengatakan, syarat lain terjadi likuifaksi adalah adanya guncangan besar pada tanah tersebut misalnya oleh gempa berkekuatan di atas 6 magnitudo dan memiliki durasi lama, lebih dari satu menit..
ADVERTISEMENT
Fenomena likuifaksi dalam kondisi ini dapat berlangsung cepat. Segera setelah gempa selesai, proses likuifaksi pun akan segera terjadi.
“Jadi mulai guncangan itu tanah langsung bereaksi terhadap guncangan kemudian dia mulai berubah menjadi bubur, lumpur. Kalau gempa itu berhenti likuifaksi pun berhenti tapi (setelah itu) daya dukung tanahnya (sudah jadi) rendah,” tambah Adrin.
Patahan tanah di Petobo, Palu. (Foto: Mirsan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Patahan tanah di Petobo, Palu. (Foto: Mirsan/kumparan)
Daya dukung tanah yang rendah tersebut kemudian menyebabkan bangunan di atasnya amblas.
Selanjutnya, Adrian memberikan beberapa saran agar bangunan tidak rusak karena ancaman likuifaksi. Ia mengatakan, bangunan yang memiliki pondasi kuat akan aman dari risiko amblas akibat likuifaksi.
“Kemudian struktur bangunan juga harus kuat untuk mencegah kerusakan. Untuk bangunan-bangunan tinggi, pondasinya harus dalam. Pondasi harus menembus lapisan tanah keras dan strukturnya juga harus kuat. Tapi yang paling efektif adalah kalau kita menghindari daerah-daerah yang terancam likuifasi.”
ADVERTISEMENT