Status Gunung Anak Krakatau Siaga, Perlukah Kita Khawatir?

27 Desember 2018 19:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
ADVERTISEMENT
Sejak Kamis (27/12/2018) pukul 06.00 WIB status Gunung Anak Krakatau resmi ditingkatkan dari "Waspada" menjadi "Siaga" oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. Keputusan ini dilakukan setelah dia mendapat laporan dari Badan Geologi.
ADVERTISEMENT
Dengan peningkatan status ini, maka jarak aman dari Gunung Anak Krakatau ditingkatkan dari radius lebih dari 2 kilometer menjadi 5 kilometer.
"Untuk rekomendasi, karena ini ada kenaikan status menjadi 'Siaga' masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Krakatau dari radius 5 kilometer," papar Sekretaris Bidang Geologi KESDM, Antonius Ratdomopurbo, dalam konferensi pers di Kantor KESDM, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018).
Purbo menerangkan bahwa pihaknya telah melakukan pemantauan perkembangan aktivitas Anak Krakatau sejak tanggal 22 hingga 27 Desember 2018. Hasil pemantauan itu, yang berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental, menjadi dasar naiknya status Gunung Anak Krakatau.
"(Sebagai) antisipasi eskalasi lanjut aktivitas Anak Krakatau, maka status dinaikkan," ujarnya.
Lava pijar dari Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis (19/7). (Foto: ANTARA FOTO/El Shinta)
zoom-in-whitePerbesar
Lava pijar dari Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis (19/7). (Foto: ANTARA FOTO/El Shinta)
Lantas dengan naiknya status Anak Krakatau menjadi "Siaga", perlukah kita merasa khawatir atas kemungkinan erupsi yang lebih besar?
ADVERTISEMENT
Koordinator Bidang Vulkanologi Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, menuturkan bahwa aktivitas Gunung Anak Krakatau memang tercatat terus menggeliat akhir-akhir ini. Dia menyatakan “lebih dari 400 letusan kecil terjadi dalam beberapa bulan terakhir.”
Mirzam mengatakan bahwa Anak Krakatau memiliki siklus letusan dua tahunan, mulai dari 2012, 2014, 2016, 2018, dan seterusnya. Ia menjelaskan bahwa semakin pendek siklusnya berarti energi gunung api yang dilepaskan akan semakin kecil.
"Jadi kalau melihat siklusnya seharusnya tidak perlu khawatir ada letusan besar ya. Artinya bahwa tsunami mungkin bisa terjadi kalau ada longsor atau wedus gembel masuk air, tapi paling tingginya sekitar satu meter, tidak seperti 1883," ujarnya kepada kumparanSAINS.
ADVERTISEMENT
"Kalau memang Anak Krakatau sudah kehilangan beban di atasnya, seperti karena kejadian kemarin, kemungkinan besar tidak terjadi letusan besar," tutur Mirzam. Namun begitu ia menegaskan bahwa harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi hal itu.
Selain itu, Mirzam juga menjelaskan bahwa hilangnya sebagian "penutup" Anak Krakatau diharapkan telah mengurangi tekanan yang ada di dalam perut Gunung Anak Krakatau. Sehingga kehadiran abu vulkanik adalah pertanda baik atas hilangnya tekanan yang merupakan ciri dari berakhirnya suatu letusan gunung api dalam periode dekat tersebut.