Studi: Laut dan Pohon Tak Lagi Serap CO2, 'Kiamat' Iklim Makin Nyata?

22 Oktober 2024 13:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilutrasi kekeringan akibat pemanasan global. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilutrasi kekeringan akibat pemanasan global. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Tingkat emisi karbon pada 2023 telah memecahkan rekor tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, dan studi menyebut ini bisa jadi tanda gagalnya sistem penyerapan alami dalam menyerap karbon di atmosfer.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan CO2 di atmosfer tahun lalu terjadi bersamaan dengan tingginya suhu panas. Peneliti menemukan, suhu tinggi ini kemungkinan besar berdampak negatif pada kemampuan ekosistem di Bumi untuk menyerap karbon.
Sebelumnya, lautan dan daratan–seperti pohon dan tanah– diketahui berperan besar dalam menyerap setengah dari semua emisi CO2 yang disebabkan manusia. Namun, tahun lalu kapasitas penyerapan karbon alami ini mengalami penurunan.
“Sejauh ini alam telah menyeimbangkan (aktivitas) yang kita lakukan,” kata Johan Rockstrom, direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research di acara New York Climate Week dilansir The Guardian.
Temuan awal peneliti ekologi dari Tsinghua University, Piyu Ke dan rekannya menunjukkan bahwa penyerap karbon di darat telah berhenti melakukan perannya pada tahun 2023. Emisi CO2 di atmosfer pada 2023 meningkat sekitar 86 persen dibandingkan tahun 2022. Kenaikan ini terdeteksi di atas stasiun Mauna Loa. Studi sebelumnya juga menemukan, kemampuan laut untuk menyerap CO2 telah terganggu.
ADVERTISEMENT
“Hal ini menyiratkan melemahnya daratan dan laut yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan menimbulkan pertanyaan di mana dan mengapa ini terjadi,” papar peneliti.
Emisi karbon di Jakarta. Foto: Aly Song
Hasil hitungan peneliti menunjukkan, semua proses penyerapan CO2 di daratan, mulai dari pohon, rumput, hingga mikroba di tanah, nyaris tidak menyerap banyak karbon dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Hasil ini mengkhawatirkan karena suhu terus berada pada nilai yang sangat tinggi pada 2024,” tulis Ke dan rekan-rekannya dalam studi yang belum ditinjau oleh rekan sejawat.
Hutan hujan Amazon yang dilanda kekeringan dan kebakaran selama bertahun-tahun menyumbang penurunan penyerapan karbon terbesar. Namun, bisa jadi ini hanya bersifat sementara.
La Nina diprediksi akan mengembalikan curah hujan ke wilayah yang kritis macam Amazon, sehingga peneliti berharap penyerapan karbon bisa kembali ke tingkat sebelumnya di tahun-tahun mendatang. Kendati begitu, banyak kerusakan yang telah terjadi bersifat jangka panjang.
ADVERTISEMENT
“Hutan yang terbakar di Kanada tak bisa sepenuhnya memulihkan cadangan karbonnya selama beberapa dekade mendatang, mengingat dibutuhkan sekitar 100 tahun bagi pohon boral untuk memulihkan biomassa awalnya,” papar Ke.
Untuk saat ini, manusia masih mengandalkan kemampuan alami Bumi dalam menangani karbon di atmosfer. Upaya yang dilakukan manusia saat ini masih belum membuahkan hasil. Proyek besar menangani CO2 yang dilakukan negara kaya, gagal mencapai tujuannya.
Sekali lagi, hal ini menegaskan bahwa satu-satunya cara yang manusia miliki untuk menangani pemanasan global atau krisis iklim adalah dengan mengurangi emisi karbon semaksimal mungkin.
“Kita benar-benar harus mengatasi masalah besar: emisi bahan bakar fosil di semua sektor,” kata Pierre Friedlingstein, ahli meteorologi di Exeter University kepada The Guardian.
ADVERTISEMENT