Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Riset komprehensif WHO tersebut melibatkan 405 rumah sakit di 30 negara dengan partisipan acak berjumlah 11.266 orang. Para partisipan tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama dibagi lagi menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok diberi calon obat corona yang terdiri dari remdesivir, hidroksiklorokuin, lopinavir, dan interferon. Adapun kelompok kedua yang berjumlah 4.088 orang adalah kelompok kontrol yang dirawat sama seperti kelompok pertama, namun tidak diberi obat. Selama 28 hari, peneliti menemukan 12 persen partisipan meninggal.
Sebanyak 301 dari 2743 pasien yang mendapatkan remdesivir meninggal. Sedangkan di kelompok kontrolnya, 303 dari 2708 orang meninggal.
Untuk hidroksiklorokuin, 104 dari 947 pasien meninggal, di mana kelompok kontrolnya 84 dari 906 orang meninggal. Sebanyak 148 dari 1399 pasien lopinavir meninggal, berbanding 146 kematian dari 1372 orang di kelompok kontrolnya. Adapun di kelompok interferon, 243 dari 2050 orang yang diberi obat meninggal, dengan catatan 216 kematian dari 2050 pasien kontrol.
“Tidak ada obat studi yang secara pasti mengurangi mortalitas (pada pasien yang tidak terventilasi atau subkelompok lain yang memiliki karakteristik masuk), inisiasi ventilasi atau durasi rawat inap,” kata para peneliti dalam laporan mereka yang dimuat di situs pra-publikasi medRxiv, Kamis (15/10).
ADVERTISEMENT
“Temuan kematian sebagian besar berisi dari bukti acak di (kelompok) remdesivir dan interferon, dan konsisten dengan meta-analisis kematian di semua uji coba utama," lanjut laporan tersebut yang akan dirilis di jurnal New England Journal of Medicine.
Menurut Martin Landray, profesor kedokteran dan epidemiologi di Oxford University sekaligus salah satu pemimpin studi, mengatakan hasil uji coba ini penting tetapi menenangkan.
“Uji coba ini indah dalam kesederhanaan dan kejelasan tujuannya - besar, acak, dan berfokus pada hasil klinis akhir dari kelangsungan hidup,” kata Landray kepada The Guardian. “Tak satu pun dari empat pengobatan yang dipelajari - hydroxychloroquine, lopinavir, interferon, remdesivir - menunjukkan manfaat yang berharga.”
Remdesivir sendiri saat ini sudah dipakai di Indonesia sebagai obat darurat bagi pasien corona bergejala berat. Pada awal Oktober 2020, pemerintah melalui PT Kalbe Farma telah memesan puluhan ribu dosis remdesivir dari firma farmasi India, Hetero.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, remdesivir adalah obat yang dibuat untuk virus ebola. Obat yang diciptakan sejak 2009 ini dibuat oleh Gilead Sciences, perusahaan farmasi dari AS. Adapun hetero mendapatkan voluntary non-exclusive license dari Gilead Sciences untuk memproduksi dan mendistribusikan Remdesivir di 127 negara, termasuk Indonesia.
Selain Indonesia, salah satu negara yang menggunakan obat ini secara darurat adalah AS. Namun, di sana, remdesivir tengah jadi sorotan, khususnya mengenai biaya.
Biaya remdesivir bervariasi di seluruh dunia. Menurut laporan The Guardian, di AS obat ini dibanderol sekitar 2.000 dolar AS (sekitar Rp 29,5 juta) untuk perawatan selama lima sampai 10 hari. Di Indonesia, obat ini dibanderol Rp 3 juta per dosis.
“Solidarity Trial WHO menemukan bahwa remdesivir tidak berdampak berarti pada kematian. COVID-19 mempengaruhi jutaan orang dan keluarga mereka di seluruh dunia. Ini bukan penyakit langka. Kami membutuhkan perawatan yang terukur, terjangkau, dan adil,” kata Landray.
ADVERTISEMENT
"Uji coba Solidaritas WHO telah membantu dunia dengan memberikan hasil yang jelas, independen, dan kuat, sekali lagi menunjukkan nilai uji coba acak yang besar dalam memberikan pengetahuan yang kami butuhkan untuk mengatasi konsekuensi terburuk dari pandemi ini,” pungkasnya.