news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Supaya Wabah Corona Tak Makin Parah: Jangan Mudik, Jangan Piknik

25 Maret 2020 8:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kementerian Perhubungan terapkan social distancing di stasiun KRL, demi mencegah virus corona. Foto: Dok. Kemenhub
zoom-in-whitePerbesar
Kementerian Perhubungan terapkan social distancing di stasiun KRL, demi mencegah virus corona. Foto: Dok. Kemenhub
ADVERTISEMENT
Sudah beberapa hari ini asisten rumah tangga (ART) Dita “rewel” minta mudik. Wabah virus corona yang bersarang di Jakarta membuat sang ART gelisah. Pikirnya mungkin saja dia bisa tertular jika terus di Jakarta. Terlebih, beberapa saudaranya seperantauan sudah berbondong-bondong pulang. Ada yang kembali karena jualannya tak laku karena Jakarta sepi. Ada juga yang pulang karena takut tidak bisa berlebaran di kampung halaman nantinya.
ADVERTISEMENT
Dita pun dilema menghadapi permintaan ART-nya. Dita sangat membutuhkan bantuan ART tersebut saat ini. Juga bila dia mengizinkan keselamatan sang ART belum tentu terjamin. Bisa saja tertular virus corona saat perjalanan pulang. Oleh karena itu, ibu dua anak itu sekarang masih terus menahan ARTnya agar tidak pulang ke daerahnya.
“ART adalah aset berharga. Jangan sampai (pulang ke daerah sekarang),” Dita bercerita kepada kumparan.
Kasus ART minta pulang saat ini memang mulai jamak terjadi. Hal yang sama juga dialami para pekerja bangunan di Jakarta. Penyebaran virus corona yang meningkat signifikan membuat proyek-proyek pembangunan disetop. Alhasil para pekerjanya menjadi pengangguran Ibu Kota. Sementara untuk bisa bertahan hidup di kota megapolitan bukan hal yang murah. Pulang kampung menjadi satu-satunya opsi yang dianggap bisa membuat mereka selamat dari himpitan ekonomi. Namun, di tengah wabah corona ini apakah opsi tersebut bisa diamini?
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana jika para ART dan pekerja bangunan dari Jakarta tetap berbondong-bondong pulang ke daerah mereka?
Penumpang MRT menggunakan masker di tengah penyebaran virus corona di Jakarta, Selasa (17/3/2020). Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Sosiolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo menyebut opsi pulang ke daerah saat ini merupakan hal berisiko tinggi. Sebab penularan COVID-19 tidak bisa diprediksi dan tak kasat mata. Setiap pergerakan atau interaksi dari satu manusia dengan lainnya bisa saja menyebabkan transmisi virus corona. Dengan demikian, perlu menurutnya agar majikan mewanti-wanti ART supaya mengurungkan niat mereka untuk pulang.
“Jadi dia pulang misalnya mungkin di dalam rumah tidak apa-apa. Tapi selama perjalanan pulang kalau dia melakukan perjalanan dia mungkin akan terkena,” terang Imam.
“Itu bukan hanya sekadar keselamatan dia ya kalau terpapar di jalan. Tapi juga keselamatan keluarganya. Dia (bisa) menulari keluarganya. Kecuali kalau dia tidak peduli dengan keluarganya,” Imam menambahkan.
ADVERTISEMENT
Situasi yang sama menurut Imam juga berlaku untuk mudik masa lebaran nanti. Mudik lebaran akan menjadi hal yang sangat berisiko. Dengan model mudik menggunakan transportasi umum, lazimnya orang akan duduk berdempetan sehingga penularan COVID-19 berpotensi terjadi. Sebab perlu diperhatikan saat ini, baik mereka yang terjangkit atau sebaliknya, tidak memiliki perbedaan yang klir. Beberapa orang yang positif COVID-19 sebelumnya tidak menunjukkan gejala spesifik. “Ini akan menjadi bencana kemanusiaan yang mungkin terbesar kalau ini tidak bisa dicegah (penularan saat mudik),” sebut Imam.
Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin sebelumnya telah meminta masyarakat agar dapat mempertimbangkan keputusan untuk mudik karena penyebaran virus corona terus meluas. Jangan sampai niat mudik justru mengabaikan keselamatan mereka.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Ma’ruf tidak melarang bila seseorang memang terpaksa harus mudik. "Kalau memang harus terpaksa mudik, pastikan bisa menjaga diri dari kemungkinan adanya potensi penularan di sana (kampung halaman)," ucap Ma'ruf, Kamis (19/3).
Sementara itu, terkait pekerja bangunan yang terdesak untuk pulang, minimal di daerah mereka sudah memberlakukan screening untuk sterilisasi. Jika terindikasi sakit mereka harus segera mengisolasi diri.
“Kayak Jakarta itu wilayah terjangkit episentrum. Kalau orang dari wilayah tersebut keluar pulang itu dia harus diisolasi dulu. Oleh karena itu, dia disediakan rumah khusus oleh RT/RW setempat,” ujar Imam.
Akan tetapi fasilitas rumah khusus untuk isolasi saat ini belumlah ada di setiap daerah. Oleh karena itu, penting bagi stakeholder di daerah para pekerja untuk menyediakan fasilitas screening yang memadai. Dengan demikian penyebaran virus corona ke berbagai daerah bisa ditekan. Mengacu pada data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, per Rabu (25/3), kasus positif sudah terkonfirmasi di 24 Provinsi di Indonesia. Jakarta menjadi provinsi dengan kasus tertinggi, yakni 424 kasus dari total keseluruhan 686 kasus.
ADVERTISEMENT

Tidak mau tetap di rumah

Medio Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat untuk melakukan segala aktivitasnya di rumah, dari bekerja hingga beribadah. Selain itu perilaku social distancing juga perlu dilakukan supaya penyebaran virus corona tidak semakin masif. Tapi pada realitasnya imbauan itu tak sepenuhnya diindahkan.
Misalnya saja di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Meski sudah terkonfirmasi satu kasus positif di sana, imbauan social distancing, atau sekarang diubah jadi physical distancing, tidak 100 persen dilakukan. Beberapa orang masih terlihat berkumpul di kedai-kedai makan. Ada yang sekadar duduk mengobrol sembari makan dan ada pula yang hanya berkumpul bermain catur.
Masyarakat yang enggan tetap di rumah menurut dokter sekaligus dosen Universitas Indonesia, Pandu Riono, adalah imbas dari istilah social distancing yang tidak dipahami sepenuhnya. “Jangan salahkan masyarakat karena mereka belum dipahami (dipahamkan), belum diedukasi, belum diberikan petunjuk operasional yang penting, (dan) apa yang harus dilakukan,” jelas Pandu.
ADVERTISEMENT
“Jangan menggunakan istilah social distancing seolah-olah orang tahu pengertian itu,” imbuhnya.
KRL Tanah Abang - Serpong padat tanpa social distancing. Foto: dok Mujadid
Pandu menyoroti tidak adanya massive education dari pemerintah terkait social distancing. Padahal hal tersebut menjadi kunci dari efektif tidaknya imbauan untuk social distancing. Term berbahasa Inggris tersebut menurut Pandu mengacu pada perilaku menghindari kerumunan di mana pun. Konsep kegiatan sosial, semisal seminar, tabligh akbar, dan misa, harus dicegah supaya tidak ada kerumunan orang.
Social distancing atau physical distancing secara garis besar membatasi interaksi satu orang dengan yang lainnya. Namun, dalam praktiknya istilah itu belum mampu menyentuh masyarakat dari segala lapisan. “Massive education itu harus ada. Tapi ini kan kurang. Orang ngomongnya cuma social distancing. Ya dibahasa Indonesia-kanlah social distancing itu apa? Jadi orang ngerti paham,” Pandu menegaskan.
ADVERTISEMENT
Social distancing adalah opsi pemerintah Indonesia selain rapid test untuk menekan laju penyebaran virus corona. Upaya tersebut sebetulnya menurut Pandu terlambat sekitar dua bulan. Ada indikasi virus corona sudah menyebar di Indonesia pada Februari melalui transmisi lokal. Beberapa orang suspect COVID-19 sempat mencuat. Sebut saja seorang pasien di RSUP dr. Kariadi Semarang yang sempat diisolasi setelah berpergian dari Spanyol. Pasien tersebut meninggal dunia pada 23 Februari 2020. Selain itu juga ada seorang pegawai BUMN suspek COVID-19 yang meninggal di Cianjur 3 Maret silam.
“Bulan Februari itu virus sudah beredar karena Indonesia salah satu negara yang mobilitas antara Wuhan dan 5 kota di kita itu tinggi sekali. Jadi di antara penumpang itu pasti ada yang membawa virus gitu dan menularkan secara lokal. Tapi kemudian tidak terdeteksi,” pungkas Pandu.
ADVERTISEMENT
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!