Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Cabang olahraga (cabor) Jujitsu memang belum familier di Indonesia. Namun, siapa sangka di balik perjalanan senyapnya, tim jujitsu Indonesia malah berhasil mengibarkan 'Merah-Putih' di pentas internasional.
ADVERTISEMENT
Tiga emas dan tiga perunggu berhasil diboyong tim jujitsu Indonesia pada ajang Abu Dhabi International Pro (AJP), 20 Oktober lalu. Padahal, Indonesia baru kali pertama mengikuti AJP.
Pada perhelatan tahun ini ada 10 negara, termasuk Indonesia, dengan total 362 peserta yang ikut. Tim 'Merah-Putih' bersaing dengan negara-negara kuat seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Rusia, Mongolia, Prancis, dan Brasil.
“Kejuaraan ini boleh dibilang besar di Asia. Ini prestasi luar biasa karena jujitsu Indonesia mulai mendapat tempat setelah pada Asian Games 2018. Untuk ajang AJP ini, kami mulai persiapan sejak Januari. Jadi, kami menggelar seleksi nasional pada Desember. Boleh dibilang tim jujitsu Indonesia ini yang terbaik di Tanah Air untuk kelas masing-masing,” ujar Manajer Tim Jujitsu Indonesia, Mahesa Arba, kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
Muhammad Ariq Noor menjadi salah satu penyumbang emas di kelas -110 kg. Ia sanggup membuat lawannya dari Korea Selatan tumbang di bawah satu menit. Padahal, lawan Ariq punya berat 130 kg.
Emas kedua diraih Nura Rizky (putri) di kelas 55 kg. Sejatinya, Nura turun di kelas -49 kg. Namun, ia terpaksa harus naik ke kelas 55 kg. Nura berhasil mengalahkan lawan dari Korea Selatan dengan waktu 18 detik.
Prestasi gemilang lain ditorehkan Nurul Azizah (putri) di kelas 42 kg. Ia juga membawa pulang emas.
Sementara itu, medali perunggu diperoleh Rengga Rafael (-56 kg). Perjuangan Rengga tak mudah karena harus naik kelas ke 62 kg. Namun, ia berhasil menang di perebutan tempat ketiga melawan Jepang.
ADVERTISEMENT
Perunggu kedua didapat Cornelia Lumban Tobing. Wanita yang akrab disapa Coni itu turun di kelas 59 kg. Coni menang dramatis saat berjumpa Korea Selatan di perebutan medali perunggu. Terakhir, ada Willy yang menyumbang perunggu di kelas -70 kg.
“Prestasi ini merupakan hadiah untuk Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Jokowi-Ma’ruf Amin, yang baru dilantik. Tanggal kami meraih prestasi ini bertepatan dengan pelantikan. Saya berharap hasil ini menambah atlet jujitsu Indonesia lebih semangat dan memaksimalkan latihan menjelang SEA Games,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Jujitsu Indonesia (PBJI), Laksda TNI (Purn.) Desi Albert Mamahit.
Ya, cabor jujitsu juga akan turun di SEA Games 2019. Keikutsertaan di AJP tahun ini merupakan rangkaian try out tim pelatnas jujitsu Indonesia. Tetunya, prestasi di level internasional itu membuat cabor jujitsu punya posisi tawar.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, tim jujitsu menempati kluster keempat dalam pendanaan di SEA Games. Artinya, kucuran dana pun paling kecil.
“Persiapan kami untuk SEA Games memang berat karena keterbatasan dana. Kami masuk kluster empat lantaran belum kasih medali di Asian Games tahun lalu. Kami cuma try out sekali di AJP. Memang, AJP bukan menjadi tolok ukur di SEA Games. Terpenting, kami punya persiapan. Prestasi ini bisa sebagai lompatan awal memberanikan diri memasang target ke pemerintah,” ujar Mahesa.
Sejauh ini, PBJI baru menargetkan satu emas dari nomor -110 kg. Ariq menjadi andalan Indonesia karena punya peluang besar membawa pulang emas.
Pasalnya, pesaing kelas -110 kg di kawasan ASEAN belum banyak. Mahesa menyebut bahwa Thailand, Filipina, dan Singapura yang kemungkinan menjadi lawan berat Ariq.
ADVERTISEMENT
“Kalau di kelas kecil kami tidak berani pasang target. Filipina, Thailand, dan Singapura bagus di kelas kecil. Apalagi di putri mereka punya peringkat internasional yang bagus. Cuma Ariq yang kita targetkan emas,” tutur Mahesa.
Prestasi yang diraih tim jujitsu Indonesia tak lepas dari tempaan latihan dan perjalanan berliku PBJI. Ketika federasi berdiri pada tahun 2015, jujitsu belum dilirik. Empat tahun sejak saat itu, PBJI menggembleng atlet-atletnya dengan rutin.
“Dulu kami kurang ilmu. Setahun kemudian kami berbenah dan mendatangkan pelatih asing. Sekarang, kami bisa sedikit membusungkan dada. Mongolia, Korea Selatan, atau Jepang bisa kami taklukkan. Kami lebih berani saat ini. Atlet-atlet sudah punya jam terbang,” kata Mahesa.
Pelatih asing yang dimaksud Mahesa ialah Allison Braga asal Brasil. Hingga saat ini Allison masih menangani pelatnas jujitsu Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, PBJI sudah tak sanggup mengontrak Allison. Namun, kebesaran hati Allison membuat atlet-atlet jujitsu masih di bawah didikannya.
“Kami tak ada biaya. Kebetulan pelatih asing kami menganggap sudah seperti keluarga. Jadi, dia masih bersama kami sampai sekarang,” tutur Mahesa.
Sayangnya, Allison tak ikut ketika tim jujitsu Indonesia tampil di AJP. Lagi-lagi ini semua karena dana.
Padahal, kehadiran pelatih sangat penting di sebuah pertandingan jujitsu. Mahesa menuturkan beberapa andalan Indonesia tak memperoleh medali di AJP karena tak ada instruksi dari pelatih.
“Tidak bisa dimungkiri kehadiran pelatih itu penting. Mental dan kemampuan anak-anak bagus. Namun, keberadaan pelatih di coach corner itu memengaruhi. Pelatih yang bisa melihat anak-anak harus apa di arena. Kemarin, tidak ada yang mengarahkan anak-anak,” kata Mahesa.
ADVERTISEMENT
Tak heran, prestasi di AJP membuat PBJI punya daya tawar agar bisa memberangkatkan Allison ke SEA Games.
“Anggaran memberangkatkan pelatih tidak ada. Sekarang kami sedang memperjuangkan. Kalau pelatih berangkat, artinya ada kuota atlet yang terambil. Kami masih mencari cara. Hasil kami di AJP semoga menjadi tolok ukur pemberian dana. Pahit-pahitnya, pelatih pakai uang sendiri,” kata Mahesa.