Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
David Wagner, Huddersfield, dan Mimpi yang Jadi Kenyataan
30 Mei 2017 6:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah penalti Christopher Schindler tak mampu dijangkau oleh Ali Al-Habsi, semua orang yang berangkat ke Wembley atas nama Huddersfield Town tak lagi dapat menyembunyikan kegembiraannya. Tak terkecuali, David Wagner, pelatih Huddersfield.
ADVERTISEMENT
Sambil berlari ke tengah lapangan, tampak raut bahagia di wajahnya. Tak lama, dia memutuskan untuk memberikan selamat kepada seluruh anak asuhnya yang berada di lapangan. Tidak lupa pula dia menyemangati lawan agar mereka tak berkecil hati.
Kegembiraan yang dirasakan oleh Wagner hari itu memang wajar. Kesebelasannya, Huddersfield, bak anak bawang di babak play-off Divisi Championship. Keberhasilan mereka mendapatkan tiket terakhir ke Premier League bahkan membuat semua orang bertanya-tanya karena mereka tak mencetak satu gol pun di babak play-off.
Huddersfield bukanlah Newcastle yang didukung oleh duit segudang. Mereka juga bukan Brighton & Hove Albion yang diisi oleh skuat berpengalaman. Mereka hanya sebuah tim yang bermodalkan semangat dan pengorbanan. Dengan kenyataan itu, sungguh wajar jika Wagner begitu gembira.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang mengira, Wagner yang didatangkan Huddersfield tanpa uang ganti rugi tersebut jadi pembawa keberuntungan tim ini. Bahkan, jika Wagner memiliki hidup dalam dua dunia yang berbeda, dia akan kaget melihat apa yang ia torehkan hari itu.
Datang pada akhir 2015 lalu, impian Wagner tak muluk-muluk: dia ingin membawa tim ini tak lagi jadi pelengkap Divisi Championship saja karena jika boleh dibilang, skuat Huddersfield saat Wagner datang sama sekali tak ada bagus-bagusnya.
Jalan Wagner menuju prestasi ini memang tak seberliku Jose Mourinho. Pun tak seindah Josep Guardiola. Selayaknya pemain bola, Wagner hanya mencintai sepak bola dengan segala isinya: intrik, taktik, dan duit.
Pilihan menangani Huddersfield tak lebih dari janji yang diungkapkan oleh Stuart Webber, tangan kanan bos klub, Dean Hoyle, yang ditunjuk untuk merevolusi Huddersfield dari kesebelasan semenjana menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Webber memilih Wagner karena dianggap memiliki persona yang cukup baik. Selain dikenal sebagai sosok yang tak ceplas-ceplos, Wagner adalah akademisi. Gelarnya saat ini adalah sarjana biologi dan sains olahraga dari Universitas Darmstadt.
Hal apik di atas ditunjang dengan pengalamannya sebagai tangan kanan Juergen Klopp saat pelatih Liverpool tersebut menjadi nakhoda Borussia Dortmund, di mana saat itu dia diberi kepercayaan untuk menjadi pelatih Borussia Dortmund II.
“Huddersfield bukanlah salah satu unggulan di Championship dan jika Anda ingin melihat kami (Huddersfield) membuat sebuah prestasi, Anda tampaknya perlu memberikan kami sedikit nasihat,” kata Wagner pada awal-awal masa kepelatihannya.
Enam bulan pertama Wagner di Huddersfield tak terlalu menyenangkan. Rangkaian hasil buruk yang dikarenakan pemain pas-pasan berujung pada taktik yang tak membuahkan kemenangan membuat mereka hanya mampu mengakhiri musim 2015/16 di urutan ke-19.
ADVERTISEMENT
Kesalahan tersebut membuat Wagner belajar. Pada musim panas 2016/17, dia mendatangkan 17 pemain—10 di antaranya tanpa uang transfer—dari beragam bangsa untuk membangun ulang kesebelasan ini.
Mereka juga tak asal dikontrak. Sebagian besar pemain yang didatangkan bahkan diberi klausul yang berisi kewajiban mereka untuk tinggal di daerah yang maksimal berjarak 15 kilometer dari tempat latihan klub. Tujuannya, agar mereka tak membutuhkan waktu lama untuk melakukan pemulihan.
Diskusi Wagner dengan Webber juga difokuskan soal menekan angka gaji seminimal mungkin. Wagner disebut tak ingin pemainnya merasa superior karena memiliki gaji lebih tinggi dan meminta manajemen memberikan batasan hingga 10 ribu poundsterling per pekan—seperenam dari gaji pemain berstatus tim utama juara Championship musim ini, Newcastle United.
ADVERTISEMENT
Setelah urusan kontrak beres, Wagner membawa anak-anak asuhnya untuk mengikuti pemusatan latihan di sebuah pulau terpencil di Swedia. Di sana, dia memfokuskan latihan pada bagaimana kerja sama tim bisa terbentuk dalam waktu yang lumayan sebentar.
“Mereka saya ajak untuk membuat tenda. Mereka juga saya suruh untuk mencari makanan, air, dan memancing. Itu semua adalah bagian dari latihan. Tidak ada listrik, tidak ada toilet, tidak ada sinyal telepon,” katanya kepada Daily Mail.
“Kami melakukan itu agar mereka menyatu, sebab di Championship tidak ada namanya zona nyaman. Saya ingin mereka menyatu secepatnya dengan cara menaruh dua orang dalam satu tenda dan diganti setiap harinya. Dengan kenyataan itu, mereka pasti akan berbicara satu sama lain,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah melakukan mancakrida, Wagner melakukan pelatihan di dalam lapangan. Dalam latihan kali ini, skuatnya diharuskan untuk belajar gegenpressing. Dia meminta anak asuhnya bergerak, mencari posisi, dan memberikan umpan, dengan kesalahan sedikit mungkin.
Ujian Wagner di Championship dimulai awal Agustus 2016. Dengan menggunakan formasi 4-2-3-1, mereka berhasil mengalahkan Brentford 2-1 di kandang mereka, John Smith’s Stadium, lewat gol Elias Kachunga dan Kasey Palmer.
Meski menang, Wagner tak puas. Beberapa perubahan insidental dia lakukan demi penampilan yang lebih baik dari anak-anak asuhnya. Setelah itu, pada 13 Agustus 2016, mereka mengalahkan Newcastle United di St. James' Park 2-1 lewat aksi Nahki Wells dan Jack Payne.
Kemenangan tersebut membuat Huddersfield yakin untuk lebih baik musim ini. Hingga pekan ke-11, mereka terus berada di puncak klasemen Championship, dengan hanya menelan dua kekalahan. Meski demikian, mental pemain rupanya berpengaruh juga.
ADVERTISEMENT
Mereka sempat meraih lima laga tanpa sekali pun meraih kemenangan. Meski kembali bangkit, hasrat untuk menjadi juara tak lagi kuat. Wagner berusaha realistis dengan menurunkan targetnya. Hal rasional tersebut akhirnya membuat mereka duduk di posisi kelima klasemen akhir Championship dan membuat mereka berhak atas satu tiket ke babak play-off.
Pada semifinal play-off, Huddersfield bertemu dengan salah satu kesebelasan tertua di dunia, Sheffield Wednesday. Tak tampil benar-benar apik, Huddersfield diuntungkan dengan gol bunuh diri Tom Lees saat laga kedua, yang sekaligus membuat mereka berhak atas tiket partai final.
Lagi-lagi keberuntungan menaungi Huddersfield pada partai final yang digelar di Wembley, Senin (29/5) malam WIB. Reading, yang diasuh oleh Jaap Stam, tak menunjukkan penampilan apik seperti yang mereka tampilkan di babak reguler Divisi Championship. Lewat babak adu penalti yang berakhir dengan skor 4-3, Huddersfield pun berhak atas satu tiket tersisa ke Premier League.
ADVERTISEMENT
Perjuangan mereka terbayarkan. Puluhan ribu penggemar setia mereka yang rela melakukan perjalanan tiga jam ke London tak pulang dengan sia-sia karena mereka mendapatkan tiket emas itu. Tak ada mimpi yang sia-sia, terutama bagi mereka yang mau berusaha.