Era Keemasan Lazio: Antara Fantasi dan Tragedi

19 Oktober 2017 19:08 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sergio Cragnotti dan para pemain Lazio merayakan kemenangan di Coppa Italia (Foto: Claudio Villa/Allsport)
zoom-in-whitePerbesar
Sergio Cragnotti dan para pemain Lazio merayakan kemenangan di Coppa Italia (Foto: Claudio Villa/Allsport)
ADVERTISEMENT
Hari itu, 14 Mei 2000, Tuhan datang ke Renato Curi. Dengan meminjam tubuh Alessandro Calori, Dia menghukum Juventus atas keculasan mereka persis sepekan sebelumnya yang membuat Parma gagal lolos ke Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Pada pertandingan yang dihelat di Stadio delle Alpi, Turin, tanggal 7 Mei 2000, Juventus seharusnya cuma layak mendapatkan satu angka. Namun, gol Fabio Cannavaro di injury time babak kedua tidak disahkan wasit Massimo De Santis. Katanya, ada pelanggaran sebelum Cannavaro membobol gawang Edwin van der Sar. Namun, tak ada yang tahu pasti pelanggaran mana yang dimaksud Sang Pengadil.
Juventus menang hari itu lewat gol tunggal Alessandro Del Piero pada menit ke-60. Dengan koleksi 71 poin, Juventus pun menatap laga pemungkas di markas Perugia dengan dagu terangkat. Mereka unggul dua poin atas Lazio yang menguntit di peringkat kedua dan hanya membutuhkan hasil imbang dengan Perugia untuk bisa menyegel titel Scudetto.
Namun, intervensi Ilahi itu kemudian datang. Derasnya hujan yang mengguyur kota Perugia membuat laga ditunda selama satu jam dan dua puluh menit. Ketika Juventus memulai laga, Lazio sudah hampir selesai mempermak Reggina tiga gol tanpa balas.
ADVERTISEMENT
Meski berhasil mengalahkan Reggina, tidak ada kebahagiaan yang tampak di wajah para penggawa Biancocelesti. Untuk apa? Toh, Juventus tidak mungkin kalah melawan Perugia. Selain karena mereka Juventus dan lawan yang dihadapi adalah Perugia, hasil imbang adalah jalur termudah bagi kedua kesebelasan untuk mengakhiri laga tersebut.
Ketika Lazio selesai mengalahkan Reggina, laga antara Perugia dan Juventus baru berumur kurang lebih 25 menit. Usai bertanding, para pemain Lazio segera masuk ruang ganti. Namun, para suporter yang masih berharap ada keajaiban di Renato Curi memilih untuk tetap bertahan.
Di ruang ganti, para pemain Lazio menyaksikan laga yang melibatkan Juventus itu. Babak pertama selesai, skor masih tanpa gol dan "Si Nyonya Tua" masih bakal jadi juara.
ADVERTISEMENT
Melihat ketidakbecusan para pemain Perugia, Tuhan akhirnya memilih untuk ikut campur. Alessandro Calori pun dipilih. Empat menit usai rehat, kegagalan pemain bertahan Juventus menyapu bola dengan sempurna membuat Si Kulit Bulat jatuh ke dada Calori. Dengan sekali kontrol, pria yang kala itu berumur 33 tahun tersebut kemudian melepas sepakan mendatar yang tidak mampu dijangkau Van der Sar. 1-0 untuk tuan rumah.
Mendengar kabar gawang Juventus bobol, pecahlah sorak sorai di Olimpico. Namun, semua yang ingin Lazio menjadi juara atau sekadar ingin melihat Juventus gagal tahu bahwa laga babak kedua masih menyisakan banyak waktu bagi pasukan Carlo Ancelotti untuk bisa membalas. Euforia itu pun segera mereka tutup kembali rapat-rapat.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, laga di Renato Curi itu berakhir. Juventus, dengan segenap upayanya, tetap gagal membobol gawang Andrea Mazzantini. Bagi Lazio, penantian itu pun akhirnya usai. Scudetto pertama sejak 1974 berhasil mereka raih. Para tifosi pun menginvasi lapangan untuk menyambut para pemain yang juga berhamburan ke lapangan. Juan Veron ditelanjangi, Jose Marcelo Salas diarak, Lazio juara Serie A.
***
Sergio Cragnotti adalah sosok yang dingin dan arogan. Menurut mereka yang pernah bersinggungan langsung dengan dirinya, Cragnotti sulit sekali tertawa. Jangankan tertawa, tersenyum saja dia kesulitan.
Lahir di Roma pada tahun 1940, Cragnotti muda sempat menuntut ilmu dan menjadi praktisi finansial di Brasil pada dekade 1970-an sebelum akhirnya mudik dan mulai menjadi CEO di pelbagai perusahaan penganan di Italia pada dekade 1980-an. Kiprah Cragnotti itu mencapai puncak ketika dia mengakuisisi 80% saham konglomerasi penganan, Cirio.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1990, Cragnotti mulai menunjukkan ketidakpuasan atas keberhasilan finansial yang dia dapatkan. Lebih dari itu, dia ingin dikenal orang. Dia ingin dipuja. Di situ, Cragnotti kemudian mulai mendekati beberapa direktur Lazio seraya menyatakan minat untuk mengambil alih kepemilikan klub dari tangan Gianmarco Calleri.
Ketika Cragnotti menyatakan minatnya tersebut, Lazio masih terjebak dalam turbulensi yang sebenarnya telah mereka alami sejak Scudetto diraih pada 1974. Dimulai dari hengkangnya Giorgio "Long John" Chinaglia ke New York Cosmos, rentetan bencana kemudian menimpa Lazio secara bertubi-tubi, mulai dari skandal Totonero sampai hilangnya Bruno Giordano.
Sergio Cragnotti bersama trofi Piala Super Eropa. (Foto: AFP/Vanina Lucchesi)
zoom-in-whitePerbesar
Sergio Cragnotti bersama trofi Piala Super Eropa. (Foto: AFP/Vanina Lucchesi)
Pada dekade 1980-an, Lazio bahkan sempat dua kali terdegradasi dari Serie A. Kemudian, antara tahun 1980 sampai Cragnotti mulai mengetuk pintu, Gli Aquilotti sama sekali tak pernah keluar jadi pemenang di Derby della Capitale. Seburuk itulah Lazio yang diminati Cragnotti itu.
ADVERTISEMENT
Namun, Cragnotti tidak peduli. Segala upaya terus dia kerahkan sampai akhirnya, pada tahun 1992, dia berhasil meyakinkan Calleri untuk menyerahkan kontrol atas Lazio terhadap dirinya. Itulah awal dari era keemasan Lazio yang mencapai puncak pada tahun 2000 tersebut.
Di dua musim perdananya, Cragnotti masih memberi kesempatan kepada Dino Zoff untuk menjadi allenatore. Zoff sendiri sudah melatih Lazio sejak 1990 dan meski tidak mampu mempersembahkan satu pun gelar, kiper legendaris Juventus itu adalah sosok yang mempersembahkan kemenangan pertama pada Derby della Capitale sejak 1980. Kemenangan itu sendiri terjadi pada musim 1993/94 lewat gol tunggal Giuseppe Signori.
Namun, selepas itu, Zoff dipersilakan untuk pergi. Tempatnya kemudian digantikan oleh sosok fenomenal yang kebetulan bertanggung jawab atas mencuatnya nama Signori di jagat calcio. Sosok yang dimaksud adalah Zdenek Zeman.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1989, Zeman mengejutkan sepak bola Italia dengan sepak bola ultraofensifnya. Bermodalkan pemain-pemain muda macam Signori, Francesco Baiano, Dan Petrescu, dan Igor Kolyvanov, Foggia berhasil dibawa promosi ke Serie A pada musim 1991/92. Setelah itu, sampai dengan tahun 1994 ketika Zeman akhirnya hijrah, Foggia pun menjelma menjadi sebuah fenomena. Saking fenomenalnya, era kepelatihan Zeman di Foggia itu kemudian dikenal sebagai Zemanlandia.
Ambisi Cragnotti dan agresi Zeman ini kemudian berpadu. Namun, meski mampu menampilkan permainan menyerang nan atraktif, pelatih asal Republik Ceko ini gagal mempersembahkan apa yang dimaui Cragnotti: trofi. Prestasi terbaik pria yang kemudian dipercaya menjadi pelatih Roma ini adalah runner-up Serie A pada musim debutnya.
Tidak sampai tiga musim Zeman bertahan dan seiring menurunnya performa Lazio, Zeman pun dipecat. Pada pengujung musim 1996/97, posisinya sebagai pelatih Lazio sempat diisi untuk sementara oleh Zoff, sebelum pada awal musim 1997/98, Sven-Goeran Eriksson ditunjuk untuk menjadi pelatih tetap.
ADVERTISEMENT
Sven-Goeran Eriksson dan Roberto Mancini. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
zoom-in-whitePerbesar
Sven-Goeran Eriksson dan Roberto Mancini. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
Tak seperti Zeman yang reputasinya mentok sebagai filsuf sepak bola ultraofensif, Eriksson datang sebagai pelatih yang mampu memberi jaminan trofi. Itu semua sudah dibuktikan baik itu kala melatih Goeteborg, Benfica, Roma, maupun Sampdoria. Malah, Eriksson ketika itu sudah punya satu trofi level Eropa di CV-nya, yakni ketika sukses membawa Goeteborg menghancurkan Hamburger SV pada final Piala UEFA 1982.
Di tangan Eriksson, ada hawa yang berbeda. Itulah mengapa, ketika pria Swedia ini datang, Cragnotti baru benar-benar berani jor-joran. Di musim 1997/98 itu, mereka mendatangkan Matias Jesus Almeyda, Roberto Mancini, Alen Boksic, dan Vladimir Jugovic.
Hasilnya pun instan. Para pemain baru itu, berpadu dengan nama-nama yang sebelumnya sudah ada seperti Luca Marchegiani, Alessandro Nesta, Diego Fuser, Giuseppe Pancaro, Roberto Rambaudi, dan Pavel Nedved, berhasil mempersembahkan trofi perdana bagi Biancocelesti sejak 1974. Trofi yang dimaksud adalah trofi Coppa Italia di mana pada laga final, Milan berhasil mereka kalahkan 3-1.
ADVERTISEMENT
Selain trofi Coppa Italia itu, Lazio juga berhasil mencapai final Piala UEFA. Namun, pada pertandingan yang disebut-sebut sebagai salah satu final terbaik sepanjang masa tersebut, Lazio takluk dari Internazionale.
Bagi Eriksson, itu adalah awal yang bagus dan pada musim 1998/99, Cragnotti semakin edan saja. Bursa transfer praktis jadi milik mereka dengan keberhasilan mendatangkan Christian Vieri, Jose Marcelo Salas, Sinisa Mihajlovic, Dejan Stankovic, Sergio Conceicao, Igor Protti, Fernando Couto, dan Ivan de la Pena. Uang lebih dari 100 juta euro mereka keluarkan dan mau tak mau, optimisme pun makin membuncah di kurva utara Olimpico.
Jika saja Andres Guglielminpietro dan Oliver Bierhoff tidak membobol gawang Perugia atau jika saja Hidetoshi Nakata mampu mencetak lebih dari satu gol ke gawang Sebastiano Rossi pada giornata pemungkas musim 1998/99, Lazio bakal keluar sebagai pemilik trigelar. Sebelum itu, mereka sudah mampu mengamankan gelar Supercoppa Italiana dengan mengalahkan Juventus. Lalu, mereka pun sukses menjadi kampiun terakhir Piala Winners usai menundukkan Real Mallorca di partai puncak.
ADVERTISEMENT
Lazio juara Piala Winners 1999. (Foto: AFP/Rui Viera)
zoom-in-whitePerbesar
Lazio juara Piala Winners 1999. (Foto: AFP/Rui Viera)
Meski berhasil mengamankan dua gelar, justru kegagalan meraih Scudetto itulah yang paling membekas di kubu Lazio. Masalahnya, ketika itu Serie A masih merupakan kompetisi terbaik dunia dan menjadi juara di kompetisi tersebut adalah sebuah kebanggaan yang tak bisa digantikan bahkan dengan gelar Piala Winners sekalipun.
Cragnotti pun beraksi dengan menjual Christian Vieri pada musim panas 1999. Internazionale yang juga sedang berusaha memburu Scudetto pun menyambut baik kemunculan nama Vieri di daftar jual. Duit senilai 30 juta poundsterling plus Diego Pablo Simeone diserahkan Massimo Moratti sebagai mahar untuk menebus Vieri.
Oleh Cragnotti, uang hasil penjualan Vieri itu kemudian digunakan untuk mengangkut Juan Sebastian Veron dan Roberto Nestor Sensini dari Parma. Kebetulan, dua pemain itu baru saja membawa Gialloblu menjadi juara Piala UEFA dengan mengalahkan Olympique Marseille. Bersama mereka, turut serta pula Fabrizio Ravanelli dan Simone Inzaghi.
ADVERTISEMENT
Dengan Vieri menjadi satu-satunya pemain besar yang pergi, Lazio pun semakin kuat saja. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, Juventus pun pulih dari musim terburuk mereka di dekade 1990-an. Sembuhnya Alessandro Del Piero dari cedera lutut membuat La Vecchia Signora muncul menjadi kandidat kuat peraih Scudetto.
Lazio sendiri sebenarnya sempat tercecer dari persaingan sampai ketika kompetisi menyisakan delapan giornata. Pada pekan ke-27, Lazio harus menjalani laga derby melawan Roma, sementara Juventus melawat ke San Siro untuk meladeni Milan. Juventus kalah pada laga itu, sementara Lazio sukses membungkam Roma di mana Veron mencetak gol kemenangan. Perbedaan poin pun berhasil dipangkas menjadi enam.
Pada giornata berikut, giliran Lazio dan Juventus yang bertemu. Tak disangka tak dinyana, Simeone yang biasanya lebih dikenal dengan tekelnya itu justru muncul menjadi pahlawan kemenangan Lazio dengan gol tunggalnya di babak kedua. Keunggulan Juventus pun kembali berhasil dipangkas menjadi tiga poin usai pertandingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada pekan ke-30, Lazio sempat tersandung tatkala ditahan imbang Fiorentina. Gol Gabriel Omar Batistuta pada injury time babak kedua memaksa kedua tim bermain imbang dengan skor 3-3. Sampai titik itu, Lazio pun mulai kembali pasrah karena di saat bersamaan, Juventus justru sukses menumbangkan Inter.
Veron (kanan) dan Didier Deschamps. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
zoom-in-whitePerbesar
Veron (kanan) dan Didier Deschamps. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
Akan tetapi, Juventus kemudian tersandung kala bertandang ke Marc'Antonio Bentegodi. Fabrizio Cammarata mencetak dua gol untuk Hellas Verona dan Juventus pun bak kehilangan akal untuk merespons. Lazio pun mulai kembali berharap.
Semua itu akhirnya mencapai titik kulminasi pada pekan terakhir di mana Tuhan menghukum Juventus dan akhirnya memberi Lazio gelar juara Serie A musim 1999/00. Gelar Scudetto itu melengkapi trofi Piala Super Eropa yang diraih Lazio pada awal musim dengan mengalahkan Manchester United.
ADVERTISEMENT
***
Masa-masa indah itu tidak berlangsung lama bagi Lazio. Pasalnya, hanya setahun setelah Scudetto itu diamankan, Cirio yang menjadi sumber dana utama Lazio mengalami problem finansial sampai akhirnya mengalami gagal bayar.
Bencana itu, bagi Lazio, tak ubahnya taburan garam di atas luka karena pada musim 2000/01, rival sekota mereka, Roma, berhasil mencuri trofi Scudetto. Padahal, di awal musim mereka mendatangkan Hernan Crespo, Claudio Lopez, Angelo Peruzzi, Dino Baggio, Karel Poborsky, Francesco Colonnese, serta Lucas Castroman.
Liarnya aktivitas Lazio di bursa transfer itulah yang akhirnya membawa Cirio pada problem finansial tersebut. Pasalnya, untuk mengompensasi kedatangan pemain-pemain tadi, Lazio hanya melego Sergio Conceicao.
Baru pada musim berikutnya Lazio benar-benar bisa beroperasi dengan baik dan benar di bursa transfer. Mereka memang mendatangkan Gaizka Mendieta, Jaap Stam, Stefano Fiore, dan Darko Kovacevic dengan harga mahal. Namun, itu mereka lakukan setelah Juan Veron, Pavel Nedved, dan Marcelo Salas dijual dengan harga mahal pula.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kebijakan itu tetap tidak mampu menyelamatkan Lazio dan Cirio. Pada 2003, Cirio mengajukan kebangkrutan dan semusim berikutnya, Cragnotti pun jadi buruan jaksa atas kasus penggelapan uang. Rezim Sang Presiden pun praktis berakhir dan kepergian pemain-pemain bintang pun akhirnya tak terhindarkan. Dengan demikian, era keemasan yang singkat tetapi penuh cerita itu pun resmi berakhir.