Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Gegenpressing Klopp dan Counter-pressing Pochettino: Di Mana Bedanya?
10 Februari 2017 11:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT

Arrigo Sacchi, maestro taktik Italia itu, suatu kali pernah berkata bahwa untuk bisa memainkan sepak bola yang benar, fase transisi harus ditiadakan. Apa yang dikatakan Sacchi tersebut memang terdengar tidak masuk akal karena fase transisi sejatinya adalah hal tak terpisahkan dari permainan sepak bola itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Permainan sepak bola secara umum memang dibagi menjadi tiga fase, yakni bertahan, transisi, dan menyerang. Transisi itu sendiri merupakan sebuah fase re-organisasi posisi pemain ketika menguasai atau kehilangan bola.
Bagi Sacchi, dan kemudian digunakan juga oleh Pep Guardiola, dengan meniadakan transisi, permainan akan menjadi lebih efisien. Caranya adalah dengan menerapkan permainan posisi sedemikian rupa agar ketika bola hilang, para pemain bisa langsung merebutnya kembali dan mengulang serangan tanpa harus kalang kabut mencari posisi yang tepat. Tujuannya, agar tim asuhan mereka bisa menyerang secara kontinyu.
Akan tetapi, tidak semua pelatih adalah Sacchi atau Guardiola, dan tidak semua tim bisa diperlakukan demikian. Maka dari itu, di kebanyakan tim fase transisi tetap ada dan tidak diperlakukan layaknya anak haram.
ADVERTISEMENT
Di sini, counter-pressing atau gegenpressing berbicara. Instruksi yang dipopulerkan oleh Juergen Klopp itu digunakan untuk menghancurkan fase transisi lawan sedini mungkin.
Semua pelatih paham bahwa fase transisi merupakan fase paling krusial. Pasalnya, pada fase ini, team shape sebuah tim sedang berada dalam situasi paling tidak terorganisasi.
Counter-pressing digunakan untuk mencegah agar siklus permainan tim lawan mentok di fase transisi tanpa harus sampai ke fase menyerang. Cara sederhana untuk melakukannya adalah ketika sebuah tim kehilangan bola, mereka harus langsung merebutnya kembali.
Dengan melakukan counter-pressing, ada dua tujuan yang ingin dicapai. Pertama, agar transisi menyerang ke bertahan dapat diminimalisasi. Kedua, untuk mencegah lawan melakukan serangan balik cepat. Itulah mengapa counter-pressing ini juga tidak lepas dari strategi utuh yang diterapkan seorang Pep Guardiola.
ADVERTISEMENT
Minggu (12/2/2017) mendatang, Liverpool dan Tottenham Hotspur akan bentrok di Anfield. Kebetulan, kedua tim tersebut dilatih oleh manajer-manajer yang dikenal akan counter-pressing-nya. Liverpool dikomandoi Juergen Klopp, Tottenham dikendalikan Mauricio Pochettino.
Secara kasatmata, perbedaan antara counter-pressing kedua manajer tersebut terlihat dari lokasi di mana instruksi tersebut dijalankan. Jika Klopp memilih untuk melakukan counter-pressing sedini dan setinggi mungkin di area pertahanan lawan, maka Pochettino kini memilih untuk bermain lebih sabar. Dulu, ketika masih menukangi Southampton, Pochettino pun melakukan hal serupa dengan Klopp. Akan tetapi bersama Spurs, Pochettino lebih memilih untuk mengaktifkan pressing ketika tim lawan sudah mencapai middle-third (sepertiga kedua lapangan).
Dua cara ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan counter-pressing a la Klopp, Liverpool berpotensi untuk memenangi bola dengan lebih cepat. Hasilnya, transisi mereka pun menjadi lebih minim. Akan tetapi, cara bermain ini sangat menguras tenaga para pemain. Kendurnya Liverpool pasca-Natal dan kedodorannya Borussia Dortmund di musim terakhir Klopp adalah efek negatif dari cara bermain ini. Selain itu, jika tim lawan mampu lolos dari counter-pressing, Liverpool menjadi semakin rentan dieksploitasi serangan balik.
ADVERTISEMENT
Tottenham, sebaliknya, memang tampak lebih sabar dan terstruktur. Dengan baru mengaktifkan pressing di tengah lapangan, para pemain Tottenham bisa menata dulu posisi mereka dan menghindarkan diri dari serangan balik kilat lawan. Namun dengan menunggu, tim lawan pun jadi memiliki lebih banyak kesempatan untuk menata bangun serangan mereka. Selain itu, secara teknis sulit juga untuk menyebut bahwa Pochettino menerapkan counter-pressing di sini.
Dalam counter-pressing milik Klopp, pemain depan betul-betul merupakan pemain bertahan pertama. Itulah mengapa penyerang tengah utama Liverpool, Roberto Firmino, bisa memiliki rataan 1,7 tekel berhasil per laganya. Bandingkan dengan penyerang tengah utama Spurs, Harry Kane, yang raihannya mentok di angka 0,7. Namun, hal ini dipengaruhi juga oleh karakter dasar kedua pemain. Pasalnya, ketika Klopp memiliki Robert Lewandowski sebagai penyerang tengah, rataan milik Lewy - sapaan akrab Lewandowski -- pun tak pernah mencapai angka 1. Dalam hal ini, Klopp memang diberkahi oleh pemain seperti Firmino yang bisa mewujudkan idenya di lapangan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kedua manajer sama-sama mengutilisasi betul para gelandang serangnya untuk melakukan aktivitas ini. Jika Philippe Coutinho dan Sadio Mane yang dimainkan sebagai penyerang sayap boleh dikategorikan sebagai gelandang serang, mereka berdua memiliki rataan tekel berhasil 1,2 dan 1 di tiap laganya. Di Manchester United, Jose Mourinho menikmati hasil didikan Klopp ini dalam diri Henrikh Mkhitaryan. Gelandang asal Armenia itu hingga kini punya catatan 1,4 tekel per laga.
Sementara itu, di Tottenham kasusnya sedikit berbeda. Dengan memulai pressing di lini tengah, para pemain Tottenham bisa memiliki posisi yang lebih baik dalam melakukan aksi defensif. Hasilnya, para gelandang serang mereka pun punya rataan tekel yang lebih tinggi dibanding gelandang serang milik Liverpool. Erik Lamela menjadi perebut bola terbaik milik Tottenham dengan 1,8 tekel berhasil per laga, disusul Dele Alli (1,4) dan Christian Eriksen (1,2).
ADVERTISEMENT
Meski ada perbedaan cukup mendasar dalam hal penggunaan pemain menyerang dan lokasi penerapan counter-pressing, selebihnya metode yang digunakan Klopp maupun Pochettino boleh dibilang sama. Mungkin yang jadi menarik adalah bagaimana Eric Dier, komandan pressing milik Pochettino, justru memiliki catatan statistik rendah dalam urusan aksi defensif.
Di antara seluruh gelandang tengah inti milik Liverpool dan Tottenham, Dier -- pemain yang notabene paling defensif karena berposisi asli bek tengah -- hanya memiliki rataan 1 tekel berhasil per laga. Hal ini sangat kontras dengan apa yang dimiliki Jordan Henderson di kubu Liverpool. Hendo hingga kini punya rataan 3,7 tekel berhasil di tiap pertandingan.
Perbedaan kontras statistik kedua pemain itu bisa memiliki dua arti berbeda. Pertama, dengan catatan sebesar itu, Hendo bisa saja selalu aktif naik ke atas dan memimpin counter-pressing langsung di garis depan. Kedua, counter-pressing Klopp di Liverpool sebenarnya seringkali bisa dilewati. Itulah mengapa Henderson yang menjaga kedalaman lini tengah harus kerap berjibaku.
ADVERTISEMENT
Bandingkan dengan catatan milik Dier dan para gelandang serang Spurs. Semua gelandang Spurs, khususnya Erik Lamela, memiliki catatan merebut bola lebih baik dibanding Dier. Hal ini bisa diartikan bahwa penempatan posisi pemain-pemain Spurs dalam organisasi pertahanan jauh lebih baik dibanding Liverpool.
Hal ini sangat jelas terlihat dalam jumlah kebobolan yang diderita kedua tim. Spurs hingga kini adalah tim dengan pertahanan terbaik di Premier League. Gawang Hugo Lloris hanya mampu dibobol sebanyak 16 kali. Sementara itu, Liverpool hingga kini sudah kebobolan 30 kali. Hampir dua kali lipat catatan milik Spurs.
Dengan catatan buruknya ini, Klopp harus benar-benar memeras otak untuk menghindarkan diri dari nasib yang dulu menimpa Brendan Rodgers. Sementara itu, Pochettino justru harus sedikit lebih agresif karena Tottenham hingga kini merupakan tim paling tidak produktif di antara tim-tim lima besar dengan catatan 46 gol.
ADVERTISEMENT