Jejak Samar Libero dalam Diri David Luiz

8 Februari 2017 17:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
David Luiz sang libero hibrida. (Foto: Clive Mason/Getty Images)
Perubahan tren menyerang tim-tim sepak bola pada awal 2000-an akhirnya membawa kematian bagi posisi/peran libero. Sejak itu, hingga saat ini, tim-tim sepak bola lebih doyan memainkan satu penyerang tengah. Formasi yang kemudian menjadi jamak digunakan pun 4-2-3-1, sebuah formasi yang (seharusnya) menawarkan stabilitas dan soliditas khususnya dalam hal bertahan.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang membuat hal ini terjadi, tetapi kata kuncinya tetap satu: pragmatisme. Di sini, pragmatisme bukanlah kata kotor seperti yang kaprah dibilang orang. Pragmatisme adalah soal bertahan hidup. Soal bagaimana mencapai tujuan dengan sumberdaya yang (biasanya) tidak begitu memadai. Soal bagaimana para pelatih sepak bola mengakali nasib.
Memasang satu striker adalah perkara menghindarkan diri dari eksploitasi lawan. Ia adalah tentang bagaimana seorang pelatih berusaha menghabisi progresi serangan lawan sejauh mungkin dari gawang sendiri. Kalah kelas itu biasa, yang penting jangan kalah di papan skor.
Penggunaan satu striker ini kemudian membuat keberadaan seorang libero/sweeper menjadi mubazir. Awalnya, peran/posisi ini digunakan untuk menjaga agar apabila dua stopper yang menghadapi dua penyerang tengah sudah kecolongan, maka hanya bola saja atau lawan saja yang tembus. Libero adalah silinder kosong di revolver dalam Rolet Rusia yang dimainkan seorang penjaga gawang.
ADVERTISEMENT
Ketika akhirnya sebuah tim hanya menghadapi satu penyerang tengah di tiap laga, tiga bek sentral pun menjadi sebuah kesia-siaan. Daripada menumpuk tidak jelas di belakang, lebih baik hilangkan satu dan menambah satu orang di area lain, bukan?
Itulah mengapa sekarang ini, peran libero digantikan oleh ball-playing defender. Dalam formasi empat bek, dua bek tengah biasanya memiliki dua fungsi berbeda. Satu bermain sebagai stopper, satu bermain sebagai ball-playing defender, alias bek yang punya wewenang lebih untuk menginisasi build-up serangan.
Hal macam ini sangat jamak ditemui dalam sepak bola modern. Malah, pembedaan peran semacam ini sudah menjadi setelan default tim-tim sepak bola zaman sekarang. Pasangan-pasangan seperti Carles Puyol & Gerard Pique, Nemanja Vidic & Rio Ferdinand, Pepe & Sergio Ramos, Giorgio Chiellini & Leonardo Bonucci, serta Shkodran Mustafi & Laurent Koscielny adalah contoh betapa lazimnya pakem macam ini ditemui.
ADVERTISEMENT
Logikanya sebetulnya sama. Satu bek sentral ditugasi mengawal dan menghentikan pergerakan penyerang tengah lawan, sementara satu bek sentral lain diserahi tugas mengawali build-up. Terserah apakah bola di kakinya mau dibawa sampai ke depan, dioper ke rekan terdekat, atau disepak jauh ke depan langsung ke pemain depan.
Leonardo Bonucci, barangkali merupakan bek tengah terbaik dalam urusan ini. Entah dimainkan dalam formasi tiga atau empat bek, tugas Bonucci selalu sama. Selain, tentunya, menjadi layaknya seorang bek, suami Martina Zoev ini juga mampu menjalankan peran sebagai deep-lying playmaker yang baik. Kebetulan, dia diberkahi kemampuan olah bola, ketenangan, visi, dan akurasi umpan panjang yang baik. Di Juventus, ketiadaan Andrea Pirlo yang dulu menjadi quarterback, kini tidak terlalu terasa karena Bonucci punya kemampuan melepas umpan hampir sama baiknya dengan Sang Maestro.
ADVERTISEMENT
Lain Bonucci, lain pula David Luiz. Didatangkan kembali oleh Chelsea pada awal musim 2016/17, David Luiz kini sudah berbeda. Jika dulu dia disebut oleh Gary Neville sebagai pemain yang "dikendalikan oleh bocah kecil di PlayStation", kini David Luiz adalah salah satu alasan mengapa Chelsea-nya Antonio Conte menjadi tim yang solid dalam bertahan.
David Luiz, kata para pengamat adalah seorang playground player. Sebagai pemain sepak bola, jangan tanya kualitas dirinya. Olah bolanya bagus, fisiknya kuat, dan sebagai bonus, dia juga punya kemampuan mengeksekusi bola-bola mati dengan apik. Akan tetapi, sebagai pemain bertahan, khususnya bek tengah, dia sulit sekali untuk diandalkan. Pasalnya, pemain satu ini hobi sekali bergentayangan di area yang seharusnya tidak dia tempati. Hal ini kerap membuat pertahanan tim yang dibelanya menjadi rapuh.
ADVERTISEMENT
Ketika Jose Mourinho kembali ke Chelsea pada 2013, dia menyiasati kelebihan dan kekurangan David Luiz dengan memainkannya sebagai seorang gelandang bertahan. Ketika itu, Chelsea finis di peringkat ketiga, dan pada musim berikutnya, Mourinho melego pemain asal Brasil itu ke Paris Saint-Germain.
Hanya bertahan dua tahun, David Luiz akhirnya kembali ke Chelsea. Dia didatangkan manajemen Chelsea sebagai alternatif pertama setelah mereka gagal memboyong Bonucci ke London.
Seiring dengan sulitnya masa-masa awal Conte di Cobham, performa David Luiz pun turut jauh dari kata mengesankan. Akan tetapi, semua itu berubah seiring dengan mulainya Conte menggunakan formasi 3-4-3.
Dalam formasi itu, David Luiz ditempatkan sebagai bek sentral yang berada di antara dua bek sentral lain, Gary Cahill (bek sentral kiri) dan Cesar Azpilicueta (bek sentral kanan). Uniknya, dalam tiga bek tersebut, Conte memiliki tiga jenis bek tengah sekaligus. Gary Cahill, meski di Bolton dan ketika bertandem bersama John Terry merupakan ball-playing defender, kini ditugasi menjadi stopper sekaligus komandan lini belakang. Cesar Azpilicueta yang aslinya merupakan seorang full-back, didapuk menjadi ball-playing defender dengan kemampuan passingnya yang apik. David Luiz, sementara itu, diberi peran yang sedikit aneh.
ADVERTISEMENT
Baiklah, "aneh" sebetulnya bukan kata yang tepat karena tidak ada yang aneh dari seorang David Luiz mendapat free-role di lini belakang. Akan tetapi, jika pada umumnya bek yang mendapat free-role adalah si ball-playing defender itu sendiri, tidak demikian dengan David Luiz. Conte meminta David Luiz untuk menjadi sweeper-nya. Akan tetapi, dia tidak ditaruh di belakang Cahill dan Azpilicueta melainkan di depannya. Peran ini agak-agak mirip dengan peran half-back alias poros halang yang sebenarnya sudah punah puluhan tahun lalu.
Di antara duet Cahill-Azpilicueta dan Nemanja Matic-N'Golo Kante, David Luiz berada. Conte tahu bahwa Luiz adalah pemain sepak bola yang bagus dan dia ingin pemain satu itu ada di timnya. Akan tetapi, dia tidak begitu memercayai Luiz dalam urusan defensif seperti halnya dia mengandalkan Bonucci. Untuk itulah, Luiz seperti dilindungi dalam sebuah persegi imajiner yang juga berfungsi untuk mematikan serangan lawan di sepertiga area permainan mereka. Luiz di situ boleh bergerak ke tengah untuk menyokong Matic-Kante tanpa harus terlalu khawatir meninggalkan ruang kosong karena di belakang masih ada Cahill-Azpilicueta.
ADVERTISEMENT
Jika kita menilik apa yang dilakukan Sergio Busquets atau Xabi Alonso kala Pep Guardiola mengaktifkan Salida LaVolpiana di Barcelona dan Bayern Muenchen, hal seperti itu juga tampak sedikit-sedikit. Busquets dan Alonso akan turun ke bawah untuk menjadi bek tengah ekstra untuk sekadar mengisi celah yang ditinggalkan duo bek sentral ke arah samping. Bedanya adalah, Busi dan Alonso hanya sesekali saja memainkan peran ini, sementara David Luiz melakukannya di sepanjang laga.
Dalam diri David Luiz, meski tidak sama dengan zaman dahulu, tersimpan sedikit memori soal libero/sweeper. Dia memang tidak seelegan Gaetano Scirea, setenang Franco Baresi, atau semegah Franz Beckenbauer. Akan tetapi, ada satu hal dalam diri David Luiz yang tidak dimiliki tiga legenda besar itu. David Luiz, lewat segala polah kocaknya, sering mengajari kita bahwa pada akhirnya, sepak bola itu cuma permainan dan -- tanpa mengurangi rasa hormat pada Andres Escobar -- hidup mati tidak melulu ditentukan di sini.
ADVERTISEMENT