Kebebalan Drew Brees Adalah Bukti Sulitnya Memahami Rasialisme

4 Juni 2020 13:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Drew Brees mengantarkan New Orleans Saints juara Super Bowl 2010. Foto: AFP/Timothy A. Clary
zoom-in-whitePerbesar
Drew Brees mengantarkan New Orleans Saints juara Super Bowl 2010. Foto: AFP/Timothy A. Clary
Amerika membara. Terbunuhnya George Floyd—seorang Afro-Amerika asal Minneapolis—di tangan polisi kulit putih memicu protes berskala nasional yang menuntut agar orang-orang kulit hitam diperlakukan selayaknya manusia lainnya.
Protes itu punya satu pesan: Black Lives Matter. Bermula di Minneapolis, protes menyebar ke seluruh penjuru negeri. Belakangan, protes juga sampai ke Inggris, Prancis, dan Belanda. Semua menuntut keadilan sosial bagi orang-orang berkulit hitam.
Situasi ini menggiring ingatan orang-orang kepada aksi berlutut Colin Kaepernick yang dimulai pada 2017. Kaepernick, yang ketika itu bermain untuk San Francisco 49ers, memilih berlutut ketika lagu kebangsaan Amerika dikumandangkan.
Pesan Kaepernick itu senada dengan protes yang sekarang sedang berlangsung. Dengan berlutut, Kaepernick berupaya menyadarkan orang-orang bahwa Amerika yang ada sekarang bukanlah Amerika yang adil, terutama kepada orang-orang kulit hitam dan minoritas lain.
Karena aksinya, Kaepernick kemudian dipecat dari 49ers. Secara teknis, Kaepernick memang tidak berniat melanjutkan kontraknya bersama 49ers --dan memilih jadi free agent. Namun, andai tidak begitu pun, 49ers tetap akan melepasnya begitu musim selesai.
Bahkan, sampai sekarang dia belum lagi bisa berlaga di National Football League (NFL) meskipun beberapa waktu silam sempat mengikuti trial.
Kaepernick memang sudah cukup lama absen dari lapangan NFL, tetapi apa yang dilakukannya tidak serta merta dilupakan. Kematian tragis Floyd membuat aksi berlutut Kaepernick jadi semakin relevan saja.
Dari situ, wacana untuk melakukan aksi berlutut ketika NFL 2020 dimulai pada Agustus pun mengemuka. Terlebih, tim-tim NFL sendiri sudah mengeluarkan sikap yang intinya mengecam tindak kekerasan terhadap orang kulit hitam.
Akan tetapi, quarterback New Orleans Saints, Drew Brees, kemudian muncul dengan kebebalannya. Dalam wawancara dengan Yahoo! Finance, Brees menegaskan bahwa dia tidak akan ikut melecehkan bendera Amerika dengan berlutut.
"Aku tidak akan pernah setuju dengan siapa pun yang melecehkan bendera Amerika Serikat. Ketika mendengar lagu kebangsaan dikumandangkan, aku melihat dua kakekku berjuang di Perang Dunia II. Satu di Angkatan Darat, satu di Korps Marinir," ujar Brees.
"Mereka berdua mempertaruhkan nyawa untuk negara kita dan aku ingin kita semua hidup dalam damai. Setiap kali lagu kebangsaan dikumandangkan, itulah yang aku pikirkan. Aku menangis mengenang pengorbanan mereka."
Quarterback New Orleans Saints, Drew Brees. Foto: Getty Images/AFP/Mark Brown
"Di sini aku tidak cuma bicara soal para serdadu, tetapi juga soal mereka yang berjuang di gerakan hak sipil pada dekade 60-an. Apakah sekarang negeri ini baik-baik saja? Tentu tidak. Jalan kita masih panjang."
"Akan tetapi, dengan berdiri dan menghormati bendera negara dengan tangan yang diletakkan di dada, itu menunjukkan persatuan. Itu menunjukkan bahwa kita berjuang bersama, kita bisa berbuat lebih baik, dan kita semua adalah bagian dari solusi."
Pernyataan Brees itu pun mengundang kecaman dari banyak sekali atlet, mulai dari Richard Sherman, Stephen Jackson, Aaron Rodgers, sampai LeBron James. Bahkan, legenda Saints, Ed Reed, turut angkat bicara.
Mereka semua menunjukkan kekecewaan dan kemarahan karena Brees telah gagal menangkap maksud dari aksi berlutut tadi.
"Ini bukan soal lagu kebangsaan atau bendera. Sama sekali bukan. Dengarkan dengan hati yang terbuka, mari belajar bersama, lalu ubah kata-kata itu menjadi aksi," tulis Rodgers, quarterback Green Bay Packers, lewat Instagram.
"Aku berani menjamin bahwa ada orang kulit hitam yang bertempur bersama kakekmu tetapi rasanya ini bukan soal perang itu," tulis Sherman, cornerback 49ers.
"Perbincangan tak mengenakkan yang berusaha kau hindari dengan menginjeksi militer ke dalam perbincangan soal kebrutalan dan kesetaraan adalah bagian dari masalah," tambah eks pemain Seattle Seahawks itu.
Jackson, eks pemain NBA yang berkawan dekat dengan Floyd, turut bersuara lewat video yang diunggah di Instagram.
"Waktunya sangat tidak tepat, Brees. Kau bermain untuk New Orleans, kau tinggal di New Orleans. Orang-orang kulit hitam di sana mendukungmu. Drew Brees, kau seharusnya lebih sensitif dalam melihat situasi," ujar Jackson.
Kemudian, ada James, yang menulis seperti ini di Twitter: "WOW MAN!! 🤦🏾‍♂️ Masa kau tidak mengerti juga? Kau masih belum paham kenapa Kap berlutut? Itu tidak ada hubungannya dengan pelecehan terhadap tentara yang menjaga tanah air kita. Ayah mertuaku adalah salah satu dari mereka."
"Oke, langsung saja. Kulihat Drew Brees sedang berusaha menjatuhkan orang kulit hitam. Kau ini tolol, Drew Brees. Drew Brees, kau benar-benar tolol. Tolol," umpat Reed dalam video yang tersebar luas di Twitter.
Apa yang dilakukan Brees itu memang menggelikan. Pasalnya, sebelum diwawancarai oleh Yahoo, pria 41 tahun itu sempat terlibat dalam aksi #BlackoutTuesday yang marak di Instagram.
#BlackoutTuesday sendiri merupakan kampanye dunia maya untuk menyatakan dukungan terhadap gerakan Black Lives Matter. Lewat gerakan itu, pengguna Instagram diminta berhenti mempromosikan diri dan mengunggah gambar kotak berwarna hitam sebagai wujud solidaritas.
Brees ikut mengunggah kotak hitam itu. Setelahnya, dia pun mengunggah gambar bertuliskan kata-kata anti-rasialisme. Akan tetapi, pemilik satu cincin juara Super Bowl itu tetap tidak bisa memahami makna dari aksi berlutut Kaepernick.
Ini menunjukkan bahwa memahami rasialisme adalah perkara luar biasa sulit bagi mereka yang tidak menjadi korbannya secara langsung. Kepada The Nation, pelatih San Antonio Spurs, Gregg Popovich, bicara soal privilese ini.
"Satu hal yang membuatku geram adalah kita semua sudah melihat kekerasan polisi dan rasialisme sebelumnya tetapi tidak ada yang berubah. Inilah mengapa protes kali ini begitu eksplosif," tutur Popovich.
"Namun, tanpa kepemimpinan dan pemahaman terhadap masalah sesungguhnya, perubahan takkan pernah ada. Orang kulit putih Amerika selama ini selalu menghindar karena kami punya privilese untuk tidak membicarakannya. Itu juga harus berubah," tambahnya.
Brees, dengan privilesenya sebagai pria kulit putih, memilih untuk tidak membicarakan isu rasialisme meskipun dia sebenarnya menyadari bahwa masalah itu ada. Alih-alih bicara soal rasialisme, Brees justru membawa-bawa jargon nasionalisme picisan.
Kekerasan terhadap orang kulit hitam dan minoritas di Amerika Serikat (serta di negara-negara lain termasuk Indonesia) adalah wujud kekerasan kultural dan struktural. Perubahan yang dilakukan, oleh karenanya, harus benar-benar radikal.
Mengubah pola pikir adalah pekerjaan rumah terberat yang harus diselesaikan. Sebab, dari sinilah lahir kebijakan-kebijakan yang justru menjadi alat penindasan. Brees gagal memahami itu dan sudah sewajarnya dia diserang beramai-ramai.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.