Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Maaf, Giovinco, tetapi Memang Tidak Ada Tempat Untukmu
8 November 2017 14:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi dengan Sebastian Giovinco. Seharusnya, jika semua berjalan sesuai rencana, bukan Paulo Dybala yang menyandang kostum keramat itu, tetapi dirinya. Sayangnya, angan itu telah lepas, hilang entah ke mana.
ADVERTISEMENT
Guratan nasib Giovinco memang mengenaskan. Dalam artian, apa yang dia capai seharusnya jauh lebih baik daripada apa yang dimilikinya saat ini.
Awalnya, dia disebut sebagai pewaris takhta Alessandro Del Piero di Juventus. Itu semua mulai tampak ketika dia dipromosikan ke tim senior pada 2006 saat "Si Nyonya Tua" sedang dalam pengasingan di Serie B. Sembilan tahun kemudian, atau tiga tahun setelah Del Piero pergi, prediksi itu tidak kunjung menjadi kenyataan.
Apa yang terjadi dengan Giovinco itu memang sulit dicari penyebabnya. Secara teknis, dia sebetulnya mampu. Kemudian, dia pun bukan sosok yang neko-neko seperti, katakanlah, Antonio Cassano atau Mario Balotelli. Satu-satunya penjelasan yang cukup bisa diterima adalah bahwa pemain asli Turin ini tidak sanggup memanggul tekanan dari publik yang menganggap Alex Del Piero sebagai titisan dewa.
ADVERTISEMENT
Pada 2015 lalu, Giovinco menyerah. Usianya ketika itu baru 28 tahun. Kalau dia mau, mungkin saja dia bisa membangun ulang kariernya di klub Eropa yang lain. Toh, ketika disekolahkan ke Parma (2010 s/d 2012) dia sudah pernah membuktikan bahwa sebetulnya dia mampu berbuat banyak. Jikalau Juventus terlampau sulit dipuaskan, masih banyak tim-tim lain yang membutuhkan pemain sekaliber dirinya.
Tetapi, tidak. Di titik itu, Giovinco memilih untuk terbang ke Kanada untuk memperkuat Toronto FC. Di sana, Giovinco akhirnya menjadi raja di sebuah kerajaan kecil di mana dari 95 pertandingan yang telah dia jalani, 60 gol dan 35 assist sudah dia sumbangkan. Walaupun dia "hanya" berlaga di Major League Soccer, statistik demikian tentunya sudah cukup untuk membuat siapa pun tercengang.
ADVERTISEMENT
Tak cuma statistik, sebenarnya. Setiap kali ada cuplikan pertandingan MLS yang melibatkan nama Giovinco, mendadak kita semua seperti diingatkan bahwa dalam dirinya, pernah ada sosok yang digadang-gadang bakal bisa sejajar dengan nama-nama macam Del Piero, Michel Platini, serta Giampiero Boniperti. Sosok itu sebenarnya tidak pernah hilang dan catatan menawan di MLS itu bukti nyatanya.
Namun, bagi Gian Piero Ventura itu semua ternyata belum cukup. Meski posisi Italia kini tengah terjepit dalam upaya mencapai putaran final Piala Dunia, nama Giovinco yang tak pernah berhenti menebar sensasi di Dunia Baru itu tetap tidak tercantum. Setelah akhirnya sudi memanggil Jorginho dan Simone Zaza, Ventura tetap bersikeras untuk tidak mengikutsertakan Giovinco dalam rombongannya.
Giovinco pun bingung bukan kepalang. Masalahnya, bukti apa lagi yang sebenarnya dibutuhkan Ventura? Apakah dengan 60 gol dan 35 assist-nya itu The Atomic Ant tetap tidak cukup bagus untuk Gli Azzurri?
ADVERTISEMENT
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Giovinco, jawabannya adalah "ya". Catatan seperti itu, apabila dibuat di Major League Soccer, tidak akan ada artinya karena di situ, pemain-pemain yang dihadapi pria 30 tahun itu tak lebih hebat dari mereka yang berlaga di kompetisi divisi dua liga-liga top Eropa.
Ini bukan cuma asumsi. Masalahnya, kualitas MLS--terlepas dari popularitasnya yang terus menanjak--memang masih ada di bawah. Ini terlihat betul dari bagaimana kiprah tim-tim MLS di kompetisi antarklub CONCACAF yang hampir tidak pernah menang menghadapi tim-tim dari Liga MX. Dalam 48 pertemuan, tim-tim MLS hanya mampu menang dua kali.
Orang-orang Amerika pun bukannya tidak tahu hal ini karena saat ini, Liga MX menjadi kompetisi sepak bola terpopuler di sana. Bahkan Premier League sekalipun tidak bisa menggoyahkan dominasi kompetisi asal Meksiko tersebut di "Negeri Paman Sam". Hal itu memang tak bisa dilepaskan dari banyaknya orang-orang keturunan Meksiko yang di Amerika. Namun, selain karena itu, apiknya kualitas Liga MX juga punya pengaruh besar.
ADVERTISEMENT
Rendahnya kualitas MLS itu tentu menjadi pertimbangan bagi Ventura. Masalahnya, ini adalah partai hidup-mati. Nama Jorginho dan Zaza pun (akhirnya) dipanggil karena mereka sudah terbukti mampu tampil cemerlang di Serie A dan La Liga. Jorginho adalah otak permainan Napoli, sedangkan Zaza di La Liga hanya kalah tajam dari Lionel Messi.
Selain mereka, Giovinco pun rasanya tidak lebih baik dibandingkan dengan nama-nama pemain sejenis yang sudah dipanggil oleh Ventura. Di skuatnya saat ini, mantan pelatih Torino itu sudah memiliki Federico Bernardeschi, Stephan El Shaarawy, dan Lorenzo Insigne sebagai seconda punta.
Ketiga pemain itu pun sampai saat ini sudah tertempa dengan kompetisi level tertinggi. El Shaarawy dan Insigne adalah andalan di Roma dan Napoli. Tak cuma di Serie A, kedua pemain itu pun mampu berbicara banyak di Liga Champions. Sementara itu, Bernardeschi memang belum banyak bermain, tetapi itu disebabkan karena saat ini, tim yang dia perkuat adalah Juventus, bukan lagi Fiorentina.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana dengan Eder Citadin Martins? Mengapa pemain seperti itu masih juga bisa masuk ke tim nasional?
Well, Eder memang bukan pemain dengan kualitas teknik terbaik. Akan tetapi, pemain satu ini adalah sosok pekerja keras yang tak cuma mampu menyerang, tetapi juga mampu bertahan. Dia pernah membuktikan itu lewat sebuah tactical foul yang cerdas pada pertandingan Piala Eropa 2016 menghadapi Belgia. Di skuat Azzurri, Eder adalah satu-satunya defensive forward yang ada.
Pendek kata, memang tidak ada lagi tempat bagi Giovinco, terutama dalam partai hidup-mati seperti sekarang ini. Apabila laga yang dilakoni Italia kini adalah laga uji tanding, mungkin saja Ventura bakal memberi kesempatan.
Giovinco sendiri terakhir kali dipanggil Timnas Italia pada 2015 lalu. Setelah dia pindah ke MLS, pemanggilan itu pun berhenti. Dari sini, seharusnya Giovinco tidak perlu bingung karena kegagalannya menembus skuat Lo Nazionale bukanlah salah siapa-siapa, kecuali dirinya sendiri yang memilih untuk melakukan bunuh diri karier pada usia muda.
ADVERTISEMENT