Furbizia: Mencari Jalan Keluar ala Italia

14 Juni 2017 15:55 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pinokio si Tukang Bohong (Ilustrasi). (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pinokio si Tukang Bohong (Ilustrasi). (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada sebuah anekdot. Bunyinya: Jika seseorang menjalankan bisnis dengan pelayanan yang baik di Italia, maka bisnis tersebut akan bangkrut dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Hal itu memang bertentangan dengan segala konsep berbisnis yang ada di dunia ini. Akan tetapi, Italia tampaknya memang bukan bagian dari dunia ini.
Pasalnya begini. Di Italia, furbizia jadi setelan awal orang-orangnya.
Furbizia sendiri berarti seni untuk berbuat culas. Bukan hanya "berbuat culas", tetapi seni untuk berbuat culas. Itu yang perlu dicamkan, karena di Italia, melakukan perbuatan culas adalah cara untuk bertahan hidup dan kalau bisa mengeruk keuntungan.
Maka dari itu, orang-orang yang berbisnis di Italia selalu punya mekanisme pertahanan diri yang sudah jadi setelan awal pula. Intinya, mereka tidak akan menanggapi seandainya ada komplain karena mereka beranggapan bahwa komplain tersebut hampir bisa dipastikan merupakan akal-akalan belaka.
---
Fabio Grosso, dari semua pesepak bola yang terlibat di Piala Dunia 2006, adalah salah satu sosok paling diingat. Dia adalah protagonis turnamen tersebut, meski kariernya kemudian merosot setelahnya.
ADVERTISEMENT
Di sini, kita tidak berbicara tentang bagaimana dia mencetak gol pertama ke gawang Jerman pada semifinal turnamen tersebut untuk kemudian berlari-lari kesetanan macam Marco Tardelli 24 tahun sebelumnya. Kita tidak pula membicarakan soal bagaimana pria yang kala itu sedang berseragam Palermo menjadi eksekutor terakhir Gli Azzurri pada babak tos-tosan di partai puncak melawan Prancis.
Kali ini, kita bicara soal bagaimana Grosso berperan dalam kelolosan Italia ke perempat final. Kali ini, yang kita bicarakan adalah pertandingan melawan Australia asuhan Guus Hiddink itu.
Siang itu, matahari cukup menyengat di Stuttgart. Baik Italia maupun Australia sama-sama frustrasi karena selama 90 menit lebih mereka gagal membobol gawang lawannya masing-masing. Tekanan lebih hebat ketika itu ada di kubu Australia mengingat sang lawan hanya bermain dengan sepuluh orang usai Marco Materazzi dikartu merah wasit Luis Medina Cantalejo.
ADVERTISEMENT
Ofisial keempat sudah mengangkat papan tanda diberikannya waktu tambahan. Australia saat itu sedang mendominasi penguasaan bola sebelum akhirnya Italia mencuri kesempatan untuk melancarkan serangan. Francesco Totti sudah masuk ke lapangan untuk menggantikan Alex Del Piero sekitar 15 menit sebelumnya.
Fabio Grosso merangsek dari sisi kanan pertahanan Australia. Scott Chipperfield berhasil dilewati dengan mudah. Grosso pun kini ada di kotak penalti. Akan tetapi, pemain bintang Australia, Lucas Neill, sudah menunggu di sana.
Aksi diving Fabio Grosso. (Foto: YouTube/pannychanman)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi diving Fabio Grosso. (Foto: YouTube/pannychanman)
Neill sendiri kebingungan. Grosso sedang ganas-ganasnya di turnamen itu. Daripada kecolongan, bek yang kala itu memperkuat Blackburn Rovers tersebut pun menjatuhkan diri. Perhitungannya sudah jelas. Bola seharusnya sudah pasti kena.
Akan tetapi, Grosso lebih cerdik. Neill dia gocek dengan mudah. Bola berhasil diarahkan sang bek kiri menjauh dari tubuh lawannya itu. Namun, Grosso tak berhenti di situ. Setelah bola menjauh, kaki kirinya dia sangkutkan ke paha bagian bawah Neill dan terjatuhlah dia.
ADVERTISEMENT
Penalti.
Francesco Totti yang ditunjuk menjadi eksekutor tanpa kesulitan menaklukkan kiper Mark Schwarzer. Italia pun melenggang hingga akhirnya keluar sebagai juara dunia untuk keempat kalinya.
Dalam memori sepak bola modern, apa yang dilakukan Grosso itu merupakan contoh terbaik furbizia. Sebabnya, ia begitu krusial dan keuntungan yang didapat usai aksi tersebut dilakukan benar-benar besar. Bagaimana tidak? Kalau Grosso tidak melakukan itu, belum tentu Italia kemudian menjadi juara.
---
Sulit memang melacak asal muasal furbizia. Namun, furbizia sebagai sebuah konsep sudah dikenal setidaknya sejak abad ke-16. Hanya saja, ia tidak berasal dari Italia, melainkan Spanyol.
Pada masa itu, ada sebuah genre literasi populer yang diberi nama Picaresca. Istilah itu sendiri berasal dari kata "picaro" yang berarti "bajingan". Dalam novel-novel Picaresca itu, sang protagonis selalu dikisahkan sebagai sosok anti-hero dari kelas pekerja yang hanya memiliki satu modal untuk mencapai tujuan: kecerdikan.
ADVERTISEMENT
Dalam genre literasi tersebut, aksi mengandalkan kecerdikan alias menghalalkan segala cara itu diberi nama viveza criolla. Itulah mengapa, meski tidak menjadi sebuah "merek dagang" tersendiri seperti di Italia, hal-hal ini juga umum dijumpai para pesepak bola dengan kultur Latin lainnya.
Sergio Ramos (kanan), punya bakat furbizia. (Foto: Denis Doyle/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Sergio Ramos (kanan), punya bakat furbizia. (Foto: Denis Doyle/Getty Images)
Sepak bola sendiri selalu dipandang sebagai refleksi dari kehidupan. Bertentangan dengan orang-orang Inggris yang selalu naif dalam memandang hidup, di mana keberanian adalah segalanya, orang-orang Latin -- dari wilayah Latium atau Lazio di sekitaran Roma -- ini punya cara tersendiri untuk merengkuh hasil semaksimal mungkin.
Furbizia, khususnya dalam sepak bola, selalu dipandang sebagai sebuah perbuatan tercela, khususnya apabila kita menikmati sepak bola dengan perspektif Britania. Akan tetapi, hal ini menjadi "tercela" semata-mata karena orang-orang Britania tidak terbiasa dengan hal ini.
ADVERTISEMENT
Kita lihat bagaimana Rio Ferdinand bereaksi setelah Sergio Ramos dengan aksi tipu-tipunya membuat Juan Cuadrado diusir wasit pada final Liga Champions 2017 lalu. Mantan bek Leeds United itu menyebut bahwa kalau dia melakukan apa yang dilakukan Ramos, dia akan merasa malu pada putranya. Padahal, apa yang dilakukan Ramos itu sama sekali tidak ilegal. Cuadrado memang membuat kontak dan Ramos mengeksploitasi kontak itu dengan membuat sang pemain sayap diusir. Sesederhana itu.
Apa yang dilakukan Ramos itu juga merupakan bentuk dari furbizia atau viveza criolla. Tidak ilegal. Hanya saja, tidak pula tepat secara moral. Ia berada di zona abu-abu; tepat di garis batas antara benar dan salah. Itulah mengapa, jika sukses dilakukan, perbuatan itu akan menjadi sebuah seni. Namun jika gagal, si pelaku pasti akan terlihat bodoh.
ADVERTISEMENT
Di Italia sendiri, mengakali orang dan aturan seperti ini merupakan bentuk dari aksi unjuk kekuatan. Jika di Amerika Serikat orang-orang mengacungkan pistol ke mana-mana, untuk dibilang jagoan, orang-orang Italia cukup menjadi furbo (dalam bentuk jamak menjadi furbi).
Selain aksi Grosso dan Ramos, tactical fouls (pelanggaran taktikal) dan aksi memprovokasi lawan juga masuk ke dalam furbizia di dalam sepak bola. Pada Euro 2016 lalu, misalnya, Eder Citadin Martins yang notabene seorang penyerang melanggar Dries Mertens yang akan melakukan serangan balik. Sebelumnya, Antonio Candreva membuat kesalahan dengan menyodorkan bola kepada Mertens.
Melihat Mertens berada dalam posisi menguntungkan, tanpa pikir panjang Eder langsung menggamit leher Mertens dan menjatuhkannya ke tanah. Kartu kuning untuk Eder, tetapi pertahanan Italia selamat. Apa yang dilakukan Eder tersebut merupakan contoh dari tactical fouls, yakni pelanggaran yang memang sengaja dilakukan untuk menghancurkan ritme permainan lawan saat itu.
ADVERTISEMENT
Eder, salah satu pelaku tactical foul termasyhur. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
zoom-in-whitePerbesar
Eder, salah satu pelaku tactical foul termasyhur. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
Kemudian, soal provokasi itu, tentu tak ada yang bisa lupa bagaimana Marco Materazzi membuat Zinedine Zidane diusir wasit pada final Piala Dunia 2006. Cukup dengan mengata-ngatai keluarga Zidane, Materazzi dan Italia pun mendapat keuntungan dengan diusirnya pemain terbaik Prancis tersebut. Italia akhirnya memenangi pertandingan itu pasca-adu penalti.
---
Inferioritas pada akhirnya memang menjadi sumber utama dari kemunculan furbizia serta obsesi orang-orang Italia pada taktik. Ketidakmampuan mereka untuk memenangi duel secara terbuka akhirnya mereka akali dengan keculasan dan kecerdikan.
Ada yang menyebut bahwa inferioritas ini muncul karena secara genetis fisik orang-orang Italia (serta orang-orang Latin lainnya) lebih lemah dibanding seteru-seteru mereka dari Utara. Akan tetapi, khusus Italia, kekalahan di Perang Dunia II menjadi penjelasan yang lebih bisa diterima.
ADVERTISEMENT
Dari sana, mereka menjadi lebih cerdik dalam menyikapi situasi dan tidak lagi terbuai oleh omong kosong tentang keperkasaan seperti yang dikatakan Benito Mussolini. Karena itulah, (sepak bola) Italia menjadi seperti sekarang ini, penuh dengan trik serta intrik.
Menyebalkan? Mungkin saja. Akan tetapi, tanpa segala tipu daya yang dilakukan orang-orang Italia, sepak bola pasti akan begitu membosankan.