Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1

ADVERTISEMENT
Niki Lauda dan James Hunt menghidupi persahabatan yang ganjil. Mereka menipiskan jarak antara rivalitas dan pertemanan sampai setipis batas antara kematian dan kehidupan saat keduanya berpacu di atas lintasan balap.
ADVERTISEMENT
Menulis persahabatan Hunt dan Lauda itu menyebalkan karena seperti memaksamu untuk bercerita tentang kawan paling memuakkan. Tadinya kau pikir kalian begitu berbeda. Tapi, belakangan kau tersadar bahwa ia tak ubahnya cermin yang memantulkan dirimu sebenarnya.
Di hadapannya kau seperti telanjang, tak ada yang tersembunyi dan terselubung. Jika awalnya kau menganggap kalian adalah dua makhluk paling berbeda, itu hanya karena kau berusaha menyangkal diri sendiri.
Hunt dan Lauda adalah dua kawan yang demikian. Sepintas mereka ibarat yin dan yang, dua kutub yang berlawanan. Hunt seorang flamboyan, penakluk wanita, riang, peduli setan dengan orang lain, dan meledak-ledak. Lauda adalah kebalikannya: Kaku, pendiam, penyendiri, serius, dan nyaris tanpa emosi.
Ternyata mereka serupa. Sama-sama menjadi anak paling degil bagi orang tua masing-masing. Ayah Hunt adalah seorang pialang saham, bapak Lauda adalah seorang pengusaha ternama. Mereka kaya raya, berlimpah kehormatan dan nama besar.
ADVERTISEMENT
Tapi, Hunt dan Lauda memilih jalannya sendiri menjadi pebalap. Itu berarti, tak ada bantuan keluarga dan dukungan finansial, semuanya mesti diusahakan sendiri. Keduanya bertemu di Formula Three, tanpa nama besar, bersiap bersaing untuk menjadi yang tercepat.
Berkat kedegilan masing-masing, Hunt dan Lauda sampai ke kasta tertinggi jagat balap mobil. Lauda menggunakan kegeniusannya di British Racing Motors (BRM) untuk mendapat tempat di Ferrari. Ia memang pebalap, tapi memiliki perhitungan yang presisi soal mesin mobil.
Kekerasan hati memberikan Lauda kekuatan untuk memaksa siapa saja mengikuti perhitungannya, termasuk para teknisi BRM. Mobilnya menjadi lebih cepat. Ferrari pun tak bisa berpangku tangan. Mereka mulai melirik, lantas merekrut Lauda dan rekannya, Clay Regazzoni, ke dalam tim.
ADVERTISEMENT
Hunt menggunakan caranya sendiri. Tim pertamanya di Formula 1, Hesketh Racing, bangkrut. Mereka kehabisan dana karena tak ada sponsor yang mau ambil bagian.
Namun, Hunt yakin bahwa orang degil selalu mempunyai tempat di segala ranah, termasuk balap mobil. Tanpa babibu, ia mendatangi para petinggi McLaren yang ditinggal pebalap mereka, Emerson Fittipaldi.
Untuk menjadi juara terkadang kau harus menjadi urakan. Itu pulalah yang belakangan diyakini McLaren. Akhirnya, Hunt berpacu bersama McLaren, Lauda beradu kencang bersama Ferrari.
Setiap pebalap memiliki caranya sendiri untuk memenangi podium puncak dan mahkota juara dunia. Begitu pula dengan Lauda. Gelar juara F1 1975 yang diraihnya adalah hasil kawin silang antara kecepatan dan kewaspadaan, keberanian dan kewarasan. Cara membalap yang seperti itu pula yang memberikan peluang besar bagi Lauda untuk menutup balapan 1976 sebagai juara dunia.
ADVERTISEMENT
Satu pengalaman yang kelak mengubah prediksi itu adalah kecelakaan hebat di GP Jerman 1976. Berhitung satu hingga dua jam sebelum kecelakaan itu terjadi, Lauda mengumpulkan para pebalap untuk memboikot balapan. Cuaca buruk membuat kondisi sirkuit tambah mengerikan. Itu ditambah dengan argumen bahwa Sirkuit Nuerburgring memang acap memakan korban.
Keinginan untuk memboikot balapan di tengah musim menunjukkan hal lain: Lauda adalah pebalap yang menghidupi dua kutub berlawanan satu sama lain. Paradoks mungkin menjadi istilah yang tepat.
Di satu sisi, ia begitu sulit dikalahkan di lintasan balap, di sisi lain begitu hati-hati dan penuh perhitungan. Paradoks itu pada akhirnya melahirkan satu kesimpulan bahwa podium dan gelar juara memang penting bagi Lauda, tapi tak lebih penting ketimbang hidup itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Usulan Lauda menuai pro dan kontra. Sayangnya, kontranya jauh lebih banyak ketimbang pro. Apa boleh buat, balapan di tengah cuaca buruk tetap berlangsung. Bertaruh nyawa di Sirkuit Nuerburgring menjadi keputusan paling tak logis yang pernah diambil Lauda sepanjang hayat.
Perhitungan Lauda tak meleset. Kecelakaan hebat benar-benar terjadi. Sialnya, Lauda menjadi korban. Ia bahkan terjebak selama sekitar satu menit dalam mobil yang terbakar hebat.
Luka bakar yang dialaminya memang mengerikan, tapi bukan itu yang membuat Lauda berhadap-hadapan dengan maut. Patah tulang parah dan paru-paru yang hangus akibat terlampau banyak menghirup asap mendekatkannya dengan kematian.
Pebalap mana pun yang menjadi saksi protes dan kecelakaan Lauda seharusnya sadar bahwa penggawa Ferrari ini bukan orang pengecut. Lauda adalah pebalap waras yang tak cuma membalap dengan kecepatan penuh, tapi juga dengan kecerdasan tinggi.
ADVERTISEMENT
Sepintas, Hunt terlihat berbeda dibandingkan dengan Lauda. Ia lebih suka mengambil risiko, serta melakukan manuver yang membahayakan lawan dan diri sendiri. Malah, Hunt merupakan satu dari sekian banyak pebalap yang menolak usul Lauda untuk menghentikan balapan.
Ketika Lauda mesti absen lantaran dalam masa pemulihan, Hunt memenangi satu podium puncak, tepatnya di GP Belanda. Satu podium puncak itu begitu krusial bagi Hunt karena GP Austria yang digelar setelah GP Jerman tak sanggup ditutupnya sebagai pemenang.
Tapi, barangkali tak ada orang lain yang lebih memahami Hunt ketimbang Lauda. Dalam wawancaranya bersama Independent, Lauda menegaskan bahwa Hunt bukan pebalap nekat dan bodoh. Di atas sirkuit, ia bukan manusia licik yang merusak elegansi persaingan ala pebalap.
ADVERTISEMENT
“Untuk bisa menjadi pebalap yang sangat presisi, kau bisa bergantung pada Hunt,” seperti itu petikan wawancara Lauda soal gaya membalap Hunt.
Lauda tak melayangkan tuntutan apa pun kepada Ferrari atau promotor Formula 1 terkait kecelakaan itu. Dua puluh delapan hari setelahnya, ia malah turun lintasan, berpacu bersama para pebalap merebut podium puncak GP Italia dan menyelesaikannya di urutan keempat.
Dalam wawancara bersama The Guardian, Lauda menjelaskan bahwa yang ia perlukan adalah tim yang dapat dipercaya. Profesi sebagai pebalap berulang kali mendekatkannya pada maut. Yang ia harapkan terjadi saat itu adalah timnya mampu menolongnya melepaskan diri dari kokpit sesegera mungkin.
“Apa yang benar-benar saya butuhkan dari tim adalah ketenangan, kontinuitas, dan kepercayaan.”
ADVERTISEMENT
Tapi, ketiganya tak ia dapatkan dari Ferrari. Lauda bertahan, ia bahkan menandatangani kontrak untuk melakoni musim 1977. Lauda memiliki siasat lain. Ia berlagak sedang didekati oleh McLaren dengan harapan, timnya itu mau memberikan apa yang ia butuhkan sebagai pebalap.
Hanya, hasilnya nihil. Beberapa bulan setelah menyegel gelar juara dunia keduanya pada 1977, Lauda benar-benar angkat kaki dari Ferrari. Ia pindah kemudi ke Brabham-Alfa Romeo dan membalap selama dua musim, pada 1978 dan 1979. Berbeda dengan Lauda, Hunt memutuskan untuk pensiun pada 1979 dan mulai menekuni karier di dunia hiburan.
Pada titik ini, ingatan Lauda mungkin kembali ke atas lintasan saat ia bersaing cepat dengan Hunt. Ia, bisa jadi, mengingat se-nyeleneh apa komentar-komentar yang acap dilontarkan Hunt sepanjang konferensi pers. Sekelebat bayangan Hunt yang melambaikan tangan padanya barangkali muncul beberapa menit sebelum balapan dimulai.
ADVERTISEMENT
Sesekali, ia bakal tersenyum geli saat mengingat logo bertuliskan Sex: Breakfast of Champions yang tersemat di jersi balap kawan sekaligus rivalnya itu. Saat ia ditahbiskan sebagai juara dunia untuk kali kedua atau ketiga, mungkin tawa riang Hunt di pengujung GP Jepang 1976 itu datang lagi dalam kepalanya.
Hunt mungkin disebut-sebut sebagai rival bebuyutan Lauda. Tapi, sesengit apa pun persaingan mereka, Lauda tetap menaruh hormat kepada Hunt. Saat kepercayaan Lauda kepada Ferrari hilang, kepercayaannya kepada Hunt tinggal tetap.
“Kami memiliki hubungan yang menyenangkan dan saling menghormati. Hubungan kami di Formula One sama baiknya dengan di Formula Three. Kami saling mempercayai. Hunt bukan pebalap yang akan mendorongmu ke luar lintasan, yang mana merupakan sikap yang begitu penting saat kau membalap di era itu.”
ADVERTISEMENT
***
Hollywood mengangkat kisah ini pada 2013 lewat film berjudul 'Rush' karya sutradara Ron Howards. Jika ada satu hal yang begitu mengobrak-abrik emosi Lauda, itu adalah saat ia menyadari Hunt sudah lama meninggal sebelum film itu dirilis. Hunt meninggal pada 15 Juni 1993 dalam usia 45 tahun.
"Empat tahun sebelum meninggal, Hunt sudah menjalani gaya hidup sehat. Tapi, tetap saja ia mengalami serangan jantung. Ia meninggal terlalu cepat, terlalu muda. Saya berharap ia dapat menyaksikan film ini. Itu akan menjadi momen terbaik dalam hidup saya," ucap Lauda.
Tentu saja sentuhan drama ada dalam film garapan Howards itu. Menurutnya, 80% kisah dalam film itu sesuai dengan apa yang terjadi.
Sementara sisanya, ya, drama rekaan ala Hollywood. Termasuk cincin kawin yang digunakan Daniel Bruehl saat memerankan Lauda yang sudah menikah. Tapi, serupa persentase risiko yang ditolerir Lauda saat membalap, kadar drama yang cuma 20% itu pun bisa diterimanya.
ADVERTISEMENT
Mungkin, segala hal yang ada di film itu mengingatkan Lauda bahwa kawan terbaik adalah orang yang memanggilnya bajingan dan orang yang ia panggil sebagai bajingan. Bukan karena saling membenci, tapi karena sadar bahwa mereka adalah dua bajingan paling beruntung di dunia.
Kawan seperti inilah yang bakal kau tangisi sejadi-jadinya saat ia mati. Dan sebaliknya, kawan seperti inilah yang kau harap akan menangisimu sehebat-hebatnya saat kau mati.
Sendirian, tanpa tepukan pundak dari orang-orang yang datang silih berganti dalam hidup. Persis seperti apa yang Lauda lakukan.