Pep Guardiola dan 'Juego de Posicion' (Bukan 'Tiki-Taka')

17 Januari 2017 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pep Guardiola (Foto: Chris Brunskill/Stringer)
"I loathe all that passing for the sake of it, all that tiki-taka. It's so much rubbish and has no purpose. You have to pass the ball with a clear intention, with the aim of making it into the opposition's goal. It's not about passing for the sake of it."
ADVERTISEMENT
Kata-kata pedas itu bisa Anda temukan dalam buku Pep Confidential karya Marti Perarnau, seorang jurnalis asal Spanyol. Ya, Anda tidak salah baca. Kata-kata itu adalah milik Pep Guardiola, seorang pelatih yang identik dengan "tiki-taka" itu sendiri.
Sekilas, kata-kata tersebut terdengar seperti hal yang bisa dengan mudah terlontar dari seorang Sam Allardyce atau Tony Pulis, dua pentolan Kick and Rush yang masih bertahan di sepak bola level top. Namun, jika kata-kata itu terlontar dari mulut Guardiola, tentu ada yang salah dari pemahaman orang terhadap tiki-taka selama ini.
Menilik definisi tiki-taka yang diucapkan Pep, contoh yang paling mudah ditemukan adalah gaya bermain Manchester United di bawah Louis van Gaal. Ketika itu, "Setan Merah" memang mengandalkan penguasaan bola untuk mencapai tujuan akhir -- gol. Akan tetapi, seperti yang dibilang Pep, tidak ada tujuan jelas dari umpan-umpan pemain United kala itu. Mengumpan hanya demi mengumpan, bukan untuk menciptakan progresi serangan yang jelas, apalagi mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Tentu cara bermain tim asuhan Pep Guardiola -- Barcelona dan Bayern Muenchen -- tidak seperti itu. Di setiap aksi, entah itu umpan, sentuhan, gerakan tanpa bola, atau apa pun, ada tujuan yang jelas di baliknya. Cara bermain itulah yang disebut juego de posicion -- atau permainan posisional. Sementara, tiki-taka atau tiqui-taca dalam bahasa aslinya, adalah penyederhanaan yang (akhirnya) menyesatkan.
Juego de posicion ini sendiri sebetulnya bukan barang baru di sepak bola. Malah, sejak pertama kali sepak bola itu ada, cara bermain yang benar, ya, seharusnya seperti ini. Intinya adalah bagaimana membuat bermain sepak bola itu sendiri menjadi tidak mubazir.
Johan Cruyff dulu pernah berujar bahwa sepak bola adalah permainan yang sederhana, tetapi memainkan sepak bola yang sederhana adalah pekerjaan tersulit. Cruyff, tentu saja, benar. Mengumpan dan terus bergerak untuk akhirnya bisa mencetak gol adalah cara bermain sepak bola yang sebetulnya amat sangat sederhana. Akan tetapi, melakukan hal tersebut dengan benar adalah perkara lain. Ada banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan untuk bisa melakukan hal ini dengan benar, mulai dari posisi badan saat menerima umpan (180o tidak membelakangi maupun menghadap gawang lawan) sampai ke mana harus bergerak; ruang kosong mana yang harus diisi.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah ada juego de posicion. Untuk mengonsep dengan jelas bagaimana memainkan "sepak bola sederhana" ini.
Bicara soal juego de posicion berarti bicara soal Johan Cruyff. Dari otak si jenius inilah Barcelona kemudian mengenal cara bermain mereka sekarang ini. Konsep ini sendiri tak bisa dilepaskan dari totaal voetbal yang dulu diterimanya dari Rinus Michels.
Bagi Cruyff, juego de posicion adalah cara bermain sepak bola paling efektif dan mematikan. Dengan menggunakan konsep ini, sebuah tim diharapkan akan mampu menguasai bola sebanyak-banyaknya, menciptakan superioritas, mempermainkan (untuk kemudian menghancurkan) shape serta pressing lawan, dan mengisi area-area kosong untuk dieksploitasi. Dengan menggunakan konsep ini, sebuah tim diharapkan untuk memanfaatkan bola sebaik-baiknya, karena kata Cruyff, tanpa bola sebuah tim takkan bisa menang dan ketika menguasai bola, tim tersebut tidak perlu "bertahan". Mengapa tidak perlu "bertahan"? Karena ketika sedang menguasai bola itulah sebuah tim sedang memainkan sepak bola secara utuh. Di saat yang bersamaan, mereka menyerang sekaligus bertahan. Sangat kental totaal voetbal-nya, bukan?
ADVERTISEMENT
Untuk itulah maka penciptaan superioritas ini kemudian jadi alat utama karena tanpanya, penguasaan bola, perusakan terhadap pemainan lawan, dan eksploitasi atas ruang kosong, takkan tercipta. Dalam hal ini, ada tiga jenis superioritas yang ingin dicapai, yakni superioritas numerikal/jumlah, kualitatif, dan posisional.
Superioritas numerikal dapat dijelaskan sebagai sebuah situasi di mana sebuah tim memiliki jumlah pemain yang lebih banyak dibanding tim lawan dalam area permainan tertentu. Juanma Lillo, salah satu mentor Guardiola, pernah menjelaskan secara sederhana konsep ini. Kata Lillo, cara termudah untuk melihat seperti apa superioritas numerikal itu adalah dengan melihat konsep third-man run. Untuk lebih jelasnya simak video di bawah ini. Di situ akan terlihat bagaimana untuk setiap serangan, selalu ada satu pemain bebas yang mengisi ruang untuk melanjutkan progresi serangan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain dari upaya untuk menemukan superioritas jumlah adalah Salida LaVolpiana atau "Jalan La Volpe", merujuk pada nama Ricardo La Volpe, mantan pelatih Tim Nasional Meksiko. Aplikasi Salida LaVolpiana ini sering terlihat pada cara bermain Barcelona dan Bayern Muenchen era Pep. Caranya sederhana. Ketika bola sedang dikuasai kiper (biasanya dalam situasi tendangan gawang), dua bek sentral akan melebar, satu gelandang bertahan akan turun ke bawah untuk mengisi ruang di antara dua bek sentral tersebut, dan dua full-back akan naik ke atas. Asumsi dari jalan ini adalah untuk membuka opsi aliran bola seandainya tim lawan memerintahkan dua pemain depan untuk melakukan pressing.
Coba simak bagaimana Rafael Marquez mempraktikkan Salida Lavolpiana bersama Timnas Meksiko di bawah ini. Perlu dicatat bahwa di tim nasional, Marquez bermain sebagai gelandang bertahan, bukan bek sentral. Apa yang dilakukan Marquez ini dulu juga kerap digunakan Guardiola saat dia bermain di Liga Meksiko bersama Dorados Sinaloa.
ADVERTISEMENT
Superioritas selanjutnya adalah superioritas kualitatif. Francisco "Paco" Seirul-Lo, pelatih fisik Barcelona, pernah berujar bahwa angka semata tak menjamin superioritas. Seperti ditulis Adin Osmanbasic di Spielverlagerung, Seirul-Lo menyebut, "Tidak semua situasi 1v1 menunjukkan sebuah situasi yang seimbang."
Di sini, superioritas tercapai apabila pemain-pemain terbaik lawan sudah berhasil "disingkirkan" dari permainan dan yang tersisa hanyalah pemain terburuk. Superioritas kualitiatif juga bisa dicapai dengan memanfaatkan kelemahan lawan dengan menggunakan pemain yang tepat. Misal, menghadapi tim dengan garis pertahanan tinggi, alangkah baiknya jika tim lawan tersebut diserang balik dengan pemain-pemain berkecepatan tinggi macam Riyad Mahrez atau Jamie Vardy.
Terakhir, ada superioritas posisional. Arrigo Sacchi pernah mengatakan bahwa ketika bermain, pemain-pemainnya punya empat hal yang harus diperhatikan: bola, ruang, lawan, dan rekan. Setiap pergerakan yang dilakukan harus disesuaikan dengan situasi yang sedang terjadi pada empat reference points tersebut. Nah, cara paling sering digunakan untuk mencapai superioritas posisional adalah dengan melakukan overload terhadap area tertentu.
ADVERTISEMENT
Dengan melakukan overload yang tepat, sebuah tim akan mampu melakukan eksploitasi maupun mencegah serangan lawan dengan mudah. Counter-pressing atau gegenpressing Juergen Klopp, misalnya, tak bisa dilepaskan dari overload. Pep Guardiola pun melakukan hal serupa. Tujuannya adalah agar secepat mungkin menguasai bola kembali agar kendali permainan tak lama-lama jadi milik lawan. Untuk melihat bagaimana overload dan counter-pressing bekerja, simak video di bawah ini.
Dari tiga superioritas itu tadilah tim-tim asuhan Pep Guardiola (sebelum Manchester City) bisa tampak begitu dominan. Dan perlu diingat, bahwa apa yang dulu dilakukan Guardiola di Barcelona dan Bayern Muenchen bukanlah tiki-taka, karena tiki-taka itu sendiri hanya sedikit dari sekian banyak ilmu terapan yang digunakan di dalam konsep besar ini. Ilmu terapan yang lain contohnya adalah third-man run, Salida LaVolpiana, serta overload itu tadi.
ADVERTISEMENT
Di Manchester City, Pep Guardiola tampak kesulitan untuk menerapkan juego de posicion secara menyeluruh. Ada banyak alasan yang membuat Pep kesulitan, mulai dari pemain-pemain yang tidak cocok untuk memainkan konsep ini, sampai dengan lawan yang jauh lebih tidak bisa diduga. Itulah mengapa, bersama Manchester City, Guardiola lebih menekanan akan pentingnya second ball kepada para pemainnya. Pasalnya, lewat second ball inilah progresi serangan kerap terjadi di sepak bola Inggris.
Di tengah rimba baru yang kejam itu, sudah sewajarnya Guardiola berpusing-pusing mencari jalan tengah antara filosofinya dan gaya bermain (di) Inggris itu sendiri.