Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Philadelphia Eagles: Sebuah Epos tentang Perlawanan
5 Februari 2018 15:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Terakhir kali Philadelphia Eagles merayakan keberhasilan menjadi juara National Football League (NFL) , Amerika Serikat dipimpin oleh seseorang yang lahir pada abad ke-19. Tahunnya adalah 1960 dan presiden yang dimaksud adalah Dwight David 'Ike' Eisenhower.
ADVERTISEMENT
Hampir enam dasawarsa telah berlalu sejak itu. Akan tetapi, situasi di Amerika sana tak ubahnya sejarah yang berulang untuk kesekian kalinya hingga akhirnya menjadi lelucon.
Sama seperti Eisenhower, presiden Amerika Serikat saat ini, Donald Trump , juga merupakan seorang Republikan. Pun begitu dengan situasi sosial yang mewarnai perjalanan sehari-hari Negeri Paman Sam. Entah bagaimana, setelah hampir enam dasawarsa dilewati, perkara rasialisme dan kefanatikan kembali menjadi problem utama.
Satu hal yang berbeda adalah bagaimana NFL, sebagai liga olahraga paling populer di Amerika, kini telah berubah fungsi. Dulu, menyesuaikan dengan kultur masyarakat Amerika yang tak ingin para atletnya terlibat politik, NFL adalah liga olahraga biasa, tempat para pemain football terbaik beradu memperebutkan gelar juara.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, saat ini perannya sudah jauh lebih luas. Kini, NFL adalah sebuah medan perang proksi antara dua ide terbesar di Amerika: konservatisme dan liberalisme.
Sejak Colin Kaepernick mulai belutut dan menolak menyanyikan lagu kebangsaan 'The Star-Spangled Banner' pada 2016 lalu, NFL sudah tak sama lagi. Sejak saat itu, makin tampak siapa ada di kubu mana. Tak seperti NBA yang lebih luwes dalam menghadapi laju peradaban, NFL terjebak dalam konservatisme yang beracun.
Puncaknya terjadi pada awal Oktober 2017 lalu. Dalam lawatannya ke Levi's Stadium, San Francisco, untuk menghadiri laga antara San Francisco 49ers dan Indianapolis Colts, Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence melakukan walk-out ketika para penggawa 49ers melakukan protes.
ADVERTISEMENT
Protes itu senada dengan protes yang diprakarsai oleh Kaepernick. Mereka menutut keadilan sosial, terutama bagi penduduk minoritas seperti orang-orang Afro-Amerika dan para penduduk non-kulit putih lain, pemeluk agama Islam, serta kaum LGBT. Di sinilah perang proksi itu berlangsung dan Pence melancarkan serangan balasan dengan walk-out-nya itu.
Serangan balasan tak berhenti sampai di situ. Presiden Trump pun kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyebut bahwa para pemain yang melakukan protes itu adalah 'haram jadah' dan 'para pemilik tim NFL seharusnya memecat mereka'. Narasi terus digoreng sampai akhirnya, semua itu mengerucut pada pertemuan Philadelphia Eagles dengan New England Patriots pada Super Bowl LII .
Pertemuan antara Eagles dan Patriots itu bukan cuma pertemuan antara dua tim terbaik NFL sepanjang 2017. Lebih dari itu, pertemuan ini adalah perang proksi yang mewujud.
ADVERTISEMENT
Eagles adalah tim underdog yang menghabiskan hampir enam dekade lamanya tenggelam dalam kesedihan dan kekecewaan. Sementara, Patriots adalah bangsawan di NFL. Sejak era Dallas Cowboys habis pada awal 2000-an, posisi sebagai penguasa liga memang jatuh ke tangan Patriots, terbukti dengan lima cincin juara yang melingkar di jemari Tom Brady serta sang pelatih, Bill Belichick.
Dari sisi olahraga, mereka sudah berbeda dan dari sisi sosial, kedua tim pun tak bisa lebih berbeda lagi. Selain 49ers, Eagles adalah tim yang dikenal paling peka terhadap pelbagai ketidakadilan sosial. Sedangkan, Patriots adalah tim kesayangan Presiden Trump. Bahkan, Brady pernah kedapatan menyimpan topi dengan slogan kampanye Trump, 'Make America Great Again', di lokernya.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah kota, Philadelphia memang progresif. Saat ini, ia dipimpin oleh wali kota bernama James Kenney yang tak henti-hentinya mereformasi kebijakan usang. Selain itu, jaksa wilayah Philadelphia, Larry Krasner, juga dikenal sebagai sosok progresif yang pernah menuntut pihak kepolisian sampai 75 kali.
Itu dari segi politik. Dari segi kultural pun begitu. Portland dan Seattle boleh mengklaim sebagai kota hipster di Amerika. Akan tetapi, Philadelphia adalah sarangnya pergerakan musik bawah tanah. Tak cuma dari segi kuantitas, kualitas para musisi independen Philadelphia pun sudah diakui keabsahannya secara nasional.
Kemudian, ada Philadelphia Eagles sendiri.
Di tengah panasnya perang proksi di arena NFL, para pemain Eagles menjelma menjadi kampiun bagi mereka yang terpinggirkan. Pada September 2017 lalu, Malcolm Jenkins, Chris Long, Torrey Smith, dan Rodney McLeod datang dalam sebuah audiensi dengan pemerintah kota. Di situ, mereka menanyakan banyak hal soal ketidakadilan di bidang hukum. Jenkins, Long, Smith, dan McLeod adalah pemain-pemain Eagles.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan keempat orang itu adalah salah satu contoh konkret betapa progresifnya Eagles di tengah konservatifnya NFL. Menurut catatan Les Carpenter di The Guardian , para pemain Eagles yang berjumlah 53 orang itu bisa dengan bebas berbicara soal ketidakadilan sosial di ruang ganti. Itu semua tidak bisa dilepaskan dari perang Doug Pederson, sang pelatih, sebagai pengasuh tim.
Maka dari itu, ketika Eagles bersua Patriots di Super Bowl, mereka tidak hanya bertemu lawan yang punya dua wajah sekaligus: bangsawan NFL sekaligus anak kesayangan kaum konservatif. Inilah rahasia utama di balik keberhasilan Eagles.
Walau begitu, mentalitas perlawanan seperti itu tentunya tidak akan berhasil tanpa eksekusi yang apik di atas lapangan. Faktanya, dua hal tersebut berbanding lurus.
ADVERTISEMENT
Untuk mematikan Patriots, caranya sederhana: matikanlah Tom Brady. Akan tetapi, apa yang sederhana belum tentu mudah dan itulah mengapa, tak banyak tim yang bisa benar-benar mematikan Patriots. Eagles beruntung karena mereka memiliki pemain seperti Lane Johnson. Defensive tackle Eagles itu, sudah sejak awal, memang menarget Brady.
"Aku tahu kami adalah underdog," kata Johnson selepas final National Football Conference (NFC) melawan Minnesota Vikings. "Hey, Tom Brady. Bocah cantik Tom Brady. Dia adalah quarterback terbaik sepanjang masa, jadi, tak ada hal lain yang bakal bikin aku puas selain menggulingkan dia dari takhtanya."
Upaya para pemain Eagles memang tak semuanya berhasil. Kalau ya, maka Rob 'Gronk' Gronkowski tidak akan mencetak dua touchdown hasil umpan Brady. Akan tetapi, setidaknya Brady bisa mereka redam. Salah satunya adalah ketika fumble terjadi pada pengujung kuarter keempat dan di situ, para pemain Eagles bisa mengamankan bola sekaligus mempertahankan keunggulan.
ADVERTISEMENT
Dari aspek defensif, memang cuma itu caranya. Lain halnya dari aspek ofensif. Di sini, Nick Foles memang harus benar-benar diacungi jempol.
Foles bukanlah pilihan utama Pederson. Para pendukung Eagles pun selama ini lebih kerap mencacinya lantaran quarterback satu ini dianggap bukan pengganti sepadan bagi Carson Wentz yang mengalami cedera anterior cruciate ligament (ACL) pada Desember 2017. Namun, pada laga ini Foles-lah yang mencatatkan namanya di buku sejarah. Dengan memimpin kemenangan Eagles, dialah yang kemudian dinobatkan sebagai Most Valuable Player.
Pada laga tersebut, Foles bukannya selalu berhasil juga. Sempat beberapa kali offense yang dipimpinnya menemui jalan buntu sehingga field goal dari Jake Elliott pun dijadikan opsi. Namun, ada lima touchdown yang dibuat Eagles pada laga itu dan mustahil memisahkan sebuah touchdown dari peran quarterback. Foles bahkan menjadi salah satu pencetak touchdown Eagles.
ADVERTISEMENT
Namun, apa yang dicapai Foles ini tentu tak ada artinya tanpa call (pemilihan strategi) dari Pederson. Pelatih satu ini baru dua musim melatih di NFL, tetapi sudah dikenal akan keberaniannya melakukan berbagai call berisiko.
Salah satu contohnya terjadi pada akhir babak pertama. Situasinya saat itu Patriots hanya tertinggal tiga angka dan Eagles punya kans mencatatkan touchdown.
Di sini yang diperintahkan menjadi 'quarterback' adalah Trey Burton, pemain yang direkrut secara cuma-cuma pada awal musim. Sementara, Foles justru diperintahkan masuk ke area touchdown untuk menjadi receiver (penerima bola). Perjudian Pederson ini berhasil dan touchdown ini membuat jarak poin antara kedua tim kembali melebar.
Adapun, keberhasilan Eagles pada Super Bowl kali ini sebenarnya tidak bisa dibilang mengejutkan. Terlepas dari keberhasilan mereka menundukkan Patriots, langkah mereka sepanjang musim memang sudah menunjukkan tanda-tanda juara. Para suporter Eagles yang biasanya mengidap defeatism pun tiba-tiba saja berubah menjadi gerombolan optimis.
ADVERTISEMENT
Sepanjang musim reguler, Eagles hanya kalah tiga kali, yakni kala menghadapi Kansas City Chiefs, Seattle Seahawks, dan Dallas Cowboys. Selanjutnya, dalam final Divisi Timur NFC, mereka menang 15-0 atas Atlanta Falcons, sebelum menundukkan Minnesota Vikings 38-7 pada final NFC.
Di musim reguler, Eagles boleh dominan. Namun, Super Bowl adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dan di situlah baru terlihat betul karakter para pemain Eagles. Mereka menghadapi Patriots yang pada musim lalu berhasil menang setelah tertinggal 25 angka dari Falcons.
Apa yang terjadi pada Falcons itu bisa saja terulang ketika Gronkowski mencatatkan touchdown kedua pada kuarter keempat. Namun, para pemain Eagles memang keras kepala. Mereka tak mau begitu saja tunduk dari priyayi macam Patriots. Mereka sempat menjalani balas-membalas angka dengan Patriots sebelum akhirnya mampu membuat touchdown Gronk tadi jadi raihan poin terakhir tim lawan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Philadelphia berpesta. Para suporter yang baru saja berbuka puasa itu memenuhi jalan-jalan di kota tempat deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat ditandatangani itu. Eagles berhasil menjadi juara Super Bowl untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Akan tetapi, lebih dari itu semua, kemenangan Eagles ini bukan cuma kemenangan milik rakyat Philadelphia saja. Kemenangan ini adalah milik mereka yang terpinggirkan dan mereka yang mau melawan.