Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan sebelumnya , sudah dijelaskan bahwa Italia adalah gudangnya libero hebat. Di sana, dengan catenaccio sebagai identitas bersepak bola, libero menjadi primadona. Bahkan, di zaman sekarang pun di negeri semenanjung itu masih banyak faux-libero yang berkeliaran. Di antara mereka, boleh jadi yang paling beken adalah Leonardo Bonucci. Dengan kemampuan olah bola yang di atas rata-rata bek sentral pada umumnya, bek Juventus ini menjadi salah satu pesepak bola terbaik Italia saat ini.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, libero sejati sebenarnya sudah punah belasan tahun silam dan nama sang libero terakhir itu adalah Salvatore Fresi. Namanya memang tidak seharum Gaetano Scirea atau Franco Baresi, akan tetapi Fresi-lah orang terakhir yang dengan bangga mengibarkan panji libero di tengah bahaya kepunahan.
Salvatore Fresi lahir di La Maddalena, sebuah kota kecil di Pulau Sardinia, 16 Januari 1973. Mengenyam pendidikan sepak bola di akademi milik Fiorentina dan Foggia, karier profesional Fresi dimulai di Salernitana. Bersama klub asal kota Salerno itu, Fresi tampil apik dan bertahan selama dua musim sebelum ditarik klub raksasa Italia, Internazionale pada tahun 1995.
Bersama Inter inilah Fresi merasakan puncak kariernya. Meski sempat dipinjamkan sebanyak dua kali (ke Salernitana pada musim 1998/99 dan Napoli pada musim 2000/01), karier Fresi bersama Nerazzurri tidak bisa dibilang buruk. Meski Inter ketika itu seret gelar, ada satu trofi mayor yang berhasil mereka raih saat itu: Piala UEFA 1998.
ADVERTISEMENT
Fresi sendiri bermain pada laga final yang mempertemukan Inter dengan Lazio. Dalam laga itu, Inter asuhan Gigi Simoni berhasil mengalahkan Lazio yang dibesut Sven-Goran Eriksson dengan skor telak 3-0. Ivan Zamorano, Ronaldo, dan Javier Zanetti menjadi pencetak gol pada laga yang digelar di Parc des Princes, Paris, itu.
Menariknya, Salvatore Fresi pada laga itu mencatat sebuah rekor unik. Dengan formasi awal 1-3-3-1-2, Fresi menjadi libero di belakang trio Francesco Colonnese, Taribo West, dan Javier Zanetti. Fresi pun menjadi libero terakhir yang bermain di final Piala UEFA (sekarang disebut Liga Europa).
Sebagai seorang libero, Fresi justru dikenal akan ketangguhannya pada duel-duel udara. Padahal, posturnya tidak terlalu besar untuk ukuran bek sentral Eropa (182 cm). Selain itu, pemain yang mengakhiri karier di klub amatir Battipagliese ini juga memiliki atribut-atribut khas libero pada umumnya. Dribelnya lumayan, kemampuan melepas umpannya pun tak buruk. Tidak sespektakuler Scirea, memang, tetapi jelas di atas rata-rata.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, pada pertandingan tersebut, Simoni tidak memberi Fresi keleluasaan sebagai libero. Dia, ketika itu, "hanya" diplot menjadi sweeper biasa dengan area gerak yang terbatas.
Penggunaan Fresi sendiri kala itu unik karena trio bek yang ada di depannya adalah trio Colonnese - West - Zanetti. Meski begitu, praktiknya agak sedikit rumit. Dalam posisi menyerang, Colonnese bermain agak ke tengah menjadi seorang bek tengah. Sementara itu, Javier Zanetti diperintahkan untuk membantu serangan dari sisi kiri. Adapun, sisi kanan kemudian diisi oleh Aron Winter yang bersalin rupa menjadi wing-back kanan.
Lini tengah kemudian diisi oleh Diego Simeone, Moedin Ze Elias, dan Youri Djorkaeff. Sementara itu, duet Ivan Zamorano dan Ronaldo menjadi juru gedor di lini depan.
ADVERTISEMENT
Pada laga ini, Fresi memainkan peran spare man seperti katakanlah, Leonardo Bonucci, pada zaman sekarang. Dengan cara bermain yang pada akhirnya mendekati 3-5-2, Fresi menjadi spare man di mana Colonnese dan West menjadi stopper.
Dengan dua bek tengah yang boleh dibilang agak kurang bisa diandalkan, Fresi sebagai spare man pun menjadi sangat krusial. Menghadapi kombinasi klasik no. 9 dan no. 10 dalam diri Casiraghi dan Mancini, Colonnese dan West seringkali kewalahan, khususnya dalam duel 1v1. Yang jadi masalah adalah ketika itu Simoni masih menggunakan man-to-man marking. Colonnese dihadapkan dengan Mancini, West ditugasi mengawal Casiraghi. Fresi pun tak jarang harus membereskan "kekacauan" yang ditinggalkan duet bek sentral itu.
Pada akhirnya, Inter mampu menjaga "keperawanan" gawang yang dikawal Gianluca Pagliuca, sementara Luca Marchegiani harus memungut bola tiga kali dari gawangnya. Laga ini sendiri, meski berlangsung dengan tempo tinggi, tetap tidak meninggalkan karakter calcio yang taktikal dan (ketika itu) teknikal. Jamak sekali bisa dilihat aksi-aksi individual nan brilian dari mereka-mereka yang berlaga. Selain itu, pada laga ini banyak sekali ditemukan bola-bola panjang yang hebatnya, punya tingkat akurasi yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Adapun, gelar yang diraih Fresi malam itu bukanlah gelar terakhir yang dia peroleh. Setelah hengkang dari Inter, Fresi sempat berseragam Bologna -- menyusul Pagliuca -- sebelum akhirnya berlabuh ke Juventus.
Di Juventus, meski jarang bermain, Fresi sempat merasakan nikmatnya gelar Serie A pada musim 2002/03 dan Piala Super Italia 2003. Setelah itu karier Fresi pun semakin meredup hingga akhirnya pensiun pada tahun 2006 di usia 33 tahun.
Bersama Tim Nasional Italia, Fresi sebetulnya pernah mendapat panggilan sebanyak enam kali ketika memperkuat Inter. Sayang, melimpahnya stok bek sentral hebat di tim Italia kala itu membuat Fresi harus selalu mangkrak di bangku cadangan tiap kali dipanggil.
Salvatore Fresi memang akhirnya bukan pemain kelas A yang meninggalkan banyak kesan. Untuk mencari informasi tentangnya di internet pun sulitnya setengah mati. Akan tetapi, sebagai libero sejati terakhir di Italia, Fresi seharusnya layak untuk setidaknya punya sepetak kecil tempat di aula kebesaran sepak bola.
ADVERTISEMENT
BONUS: