Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wawancara Khusus Sigit Budiarto: Konvoi Juara Thomas Cup 98, Disangka Kerusuhan
15 Oktober 2021 10:04 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Segan. Diksi yang tepat untuk menggambarkan suasana hati lawan manakala Sigit Budiarto/Candra Wijaya sudah berdiri di depan net. Musuh mana yang tak gentar?
ADVERTISEMENT
Sigit/Candra menjelma menjadi salah satu ganda putra yang paling ditakuti semasa jayanya. Mereka merebut berbagai gelar bergengsi, mulai dari SEA Games, Kejuaraan Asia, Kejuaraan Dunia, All England hingga Piala Thomas .
Kendati demikian, sepanjang kariernya, Sigit juga tercatat sempat berpasangan dengan pebulu tangkis lainnya selain Candra. Setidaknya, Sigit pernah berduet dengan Tri Kusharyanto, Flandy Limpele, Luluk Hadiyanto, Halim Haryanto, dan Dicky Purwotjugiono.
Di antara sederet gelar yang pernah diraih, ada satu momen yang tak terlupakan bagi Sigit. Bersama Candra, Sigit menjadi bagian dari tim Indonesia yang menjuarai Piala Thomas 1998.
Mengapa momen juara itu begitu melekat?
Pasalnya, tim Indonesia berangkat di tengah huru-hara konflik politik yang terjadi di Tanah Air. Saat pulang, tim Indonesia juga sudah disambut Presiden baru, yakni Habibie. Sebelumya, mereka dilepas Presiden Soeharto saat ingin bertolak di Hong Kong.
Momen perayaan gelar juara Piala Thomas di tahun tersebut juga menyimpan kisah tersendiri bagi Sigit. Kepada kumparan, Sigit bercerita tentang pengalaman yang tak akan dilupakannya ketika menjuarai Piala Thomas 1998.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Sigit juga berkisah seputar perjalanan kariernya semenjak kecil hingga kini menjadi pelatih yang turut mengorbitkan nama-nama tenar, seperti Praveen Jordan dan Kevin Sanjaya Sukamuljo.
Berikut petikan wawancara khusus bersama sang legenda. Silakan disimak.
Bisa diceritakan masa kecil Anda seperti apa dan bagaimana bisa terjun ke dunia bulu tangkis?
Jadi, keluarga saya memang senang bulu tangkis, kemudian kakak-kakak saya juga sudah main badminton. Ya, saya ikutlah, ikut main sama mereka di usia 6 tahun. Ya, habis itu masuk klub kecil di daerah Prambanan, nama klubnya Natura Prambanan. Setelah itu, baru pindah klub setelah beberapa tahun di Jogja, di situ ada PB Setia Kawan dan PB Pancing.
ADVERTISEMENT
Baru kemudian masuk ke PB Djarum. Dari PB Djarum, saya sempat pulang dulu ke Jogja, setelah itu main lagi di Solo. Ada [tim] Alpro namanya. Setelah itu, baru ke PB Djarum yang ganda yang di Jakarta, baru ke pelatnas.
Dalam beberapa kesempatan, Anda sering katakan juara dunia 1997 di Skotlandia adalah momen terbaik, bisa diceritakan perjalanan di turnamen itu?
Ketika tahun 1995, kemudian masuk pelatnas, kemudian tahun 1997 itu ikut kejuaraan dunia pertama kali. Dan, alhamdulillah menjadi juara. Itu satu prestasi yang tidak disangka-sangka juga, karena pertama kali mewakili Indonesia, membawa nama merah putih, mengibarkan merah putih sangatlah luar biasa.
Saya dan Candra memang ada persiapan khusus waktu itu sama senior-senior saya juga. Dan, saya sama Chandra dipasangkan belum terlalu lama waktu itu.
ADVERTISEMENT
(Sigit Budiarto/Candra Wijaya meraih gelar juara di Kejuaraan Dunia 1997 di Skotlandia usai menang atas ganda putra Malaysia Yap Kim Hock/Cheah Soon Kit via 3 gim-RED)
Bagaimana dengan Piala Thomas, adakah momen yang tak terlupakan?
Setiap Thomas Cup sebenarnya ada cerita-ceritanya, tapi tahun 1998 itu sangat menarik. Di mana kami berangkat pamitannya dengan Soeharto, pulangnya sudah ganti presiden.
Karena memang saat itu sedang terjadi kerusuhan di Indonesia. Jadi, memang perjuangan yang cukup berat juga buat tim Indonesia pada saat di sana. Karena dengan kondisi Indonesia yang lagi kerusuhan, kami tim Piala Thomas dan Uber harus bertanding di sana dengan tekanan yang bermacam-macam, bukan hanya dari sisi permainan, tetapi dari sisi psikologisnya juga banyak tekanan.
ADVERTISEMENT
Tahun 98 itu satu sejarah luar biasa buat kita juga 'kan. Pas kami pulang, waktu itu mau diarak ke istana, dengar sirine juga orang-orang pada takut, dikiranya masih ada kerusuhan. Setelah tahu kalau itu tim Thomas yang lewat, mereka cukup senang gitu.
(Tim Indonesia meraih gelar juara Piala Thomas 1998 di Hong Kong usai menang 3-2 atas Malaysia di final pada 24 Mei 1998. Mantan Presiden Soeharto mundur dari kursi jabatannya pada 21 Mei 1998 setelah terjadi kerusuhan dan gejolak politik di Indonesia-RED).
Usai memutuskan pensiun, Anda memilih kembali ke PB Djarum dengan menjadi pelatih, adakah ambisi tersendiri yang diusung?
Ambisi tentunya ada. Ketika sebagai pemain, katakanlah pernah menjadi pemain dunia, tentunya sebagai pelatih berharap bisa menghasilkan pemain-pemain yang berkualitas dunia. Bahkan, kalau bisa prestasinya lebih, harapannya 'kan seperti itu. Ya, saya fokus juga di pembinaan usia muda.
ADVERTISEMENT
Beberapa nama berhasil dibesarkan, seperti Kevin Sanjaya, Melati Daeva Oktavianti dan Praveen Jordan, apakah sudah memprediksi akan jadi pemain sebesar sekarang?
Ya semua butuh proses, bukan hanya karena saya. Maksudnya, kami berkesinambungan, saling bekerja sama dengan teman-teman pelatih yang ada di klub. Memang kami melihatnya mereka ini salah satu pemain yang berpotensi di kemudian hari.
Jadi, kami dari PB Djarum punya pandangan seperti itu, bahwa Praveen dan Kevin salah satu yang nanti bisa menjadi pemain kelas dunia. Ya, alhamdulillah bisa tercapai, pandangan kami melihat seperti itu dan sampai sejauh ini terbuktilah.
Sebetulnya selain mereka ada beberapa nama [yang dahulu sudah terlihat potensinya]. Sempat dulu ada Edi Subaktiar, kemudian ada beberapa yang sekarang masih ada di pelatnas juga banyak, yang memang harapannya menggantikan posisi mereka nantinya.
Bagaimana Anda melihat performa Marcus/Kevin di Piala Sudirman, apakah sepakat bila mereka disebut mulai menurun performanya?
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Yang tahu persis sebenarnya kondisi pelatih yang di sana. Kita ini kan cuma melihat, tak tahu persis terjadinya seperti apa, ya. Maksudnya kronologinya. Situasi yang jelas-jelas tahu sebenarnya pelatih yang ada di sana.
Jadi memang, event beregu ini semuanya bisa terjadi menurut saya. Yang biasanya menang juga bisa kalah, yang biasanya kalah bisa menjadi menang, karena faktornya banyak.
Banyak faktor untuk terjadinya kekalahan atau kemenangan dalam kejuaraan beregu ini. Kadang-kadang yang enggak diunggulkan bisa menjadi menang, yang di atas kertas inferior, malah berbalik di atas lapangan. Itulah uniknya kejuaraan beregu ini, susah diprediksi.
(Di Piala Sudirman 2021 tim Indonesia terhenti di perempat final usai kalah 2-3 dari Malaysia. Marcus Gideon/Kevin Sanjaya kalah dua gim langsung dari Aaron Chia/Soh Wooi Yik).
ADVERTISEMENT
Bagaimana kans Marcus/Kevin di Piala Thomas, apakah sebaiknya memilih Fajar/Rian atau Hendra/Ahsan sebagai ganda pertama?
Bagi saya kesempatan atau kans itu selalu ada. Kembali lagi, yang tadi, yang kalah bisa menjadi menang, kita tidak bisa prediksi. Tetapi, bagaimana kesiapan dari mereka sendiri pada saat di sana.
Buat saya, Indonesia punya kans. Kalau di atas kertas memang secara ranking, terutama gandanya, masih di atas semua. Soal strateginya saya enggak tahu, hanya pelatih dan tim yang bisa mengerti.
Sebagai pelatih, pesan apa yang Anda ingin sampaikan untuk pemain-pemain muda? Terakhir, apa harapan Anda untuk bulu tangkis Indonesia?
Pesan saya, giatlah berlatih. Jangan pernah bosan untuk berlatih. Kesempatan bisa terbuka, mereka harus bekerja keras, karena tidak ada sesuatu yang didapatkan dengan mudah.
ADVERTISEMENT
***
Ikuti survei kumparan Bola & Sport dan menangi e-voucher senilai total Rp 3 juta. Isi surveinya sekarang di kum.pr/surveibolasport .