Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Batik Keraton si Aristrokat dan Batik Pesisir si Jelata
27 September 2017 10:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB

ADVERTISEMENT
Proses daur hidup manusia dari lahir hingga berpulang ke pelukan Bumi yang dituangkan dalam sehelai kain. Demikianlah makna batik dalam kehidupan masyarakat Jawa.
ADVERTISEMENT
Pun secara umum bagi masyarakat Indonesia, batik tak hanya warisan budaya seperti yang disahkan UNESCO pada Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah tentang Warisan Budaya Tak-Benda di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada 2009.
“Secara umum, batik bisa dibagi menjadi dua --Batik Pesisir dan Batik Keraton. Hanya, sekarang varian batik itu sudah banyak sekali. Jadi ada yang modern, ada yang bekerja sama dengan berbagai pemikiran scientific dan teknologi,” kata Yan Yan Sunarya, Doktor Batik Sunda Pertama di Dunia, saat berbincang dengan wartawan kumparan, Amanaturrosyidah dan Ulfa Rahayu, di ITB, Bandung, Jumat (8/9).
Ia berujar, perbedaan mendasar kedua jenis batik tersebut terletak pada pakem penggunaan motif pada Batik Keraton yang sarat makna spiritual. Sementara Batik Pesisir terkesan lebih bebas karena menerapkan adaptasi estetik, visual, dan teknik yang menyesuaikan dengan keadaan pesisir.

Batik Keraton dibuat sebagai bentuk pengabdian darma (ibadah) terhadap Tuhan melalui dunia tengah --dalam hal ini Raja atau Wali-- dan dilandasi konsep “nunggak semi” atau nutrani, sebuah konsep peniruan sesuai budaya induknya yang menyatakan keindahan merupakan milik Tuhan semata (kaendahan menika kagunganipun Gusti Allah). Tak heran, motif-motif Batik Keraton tak pernah terdeteksi siapa penciptanya.
ADVERTISEMENT
Istilah Batik Keraton sendiri muncul semenjak produk batik rakyat memasuki istana di Pulau Jawa. Saat bersamaan, cap aristrokat --meski tak mengubah corak aslinya-- mulai mewarnai batik klasik Jawa dan memunculkan identifikasi karya sebagai produk keraton yang mencerminkan idealisasi budaya bangsawan.
Sri Soedewi Samsi, penulis buku Batik Yogya & Solo: Techniques, Motifs & Patterns, mengatakan bahwa situasi yang masih erat dengan kehidupan tradisional, dan lingkungan yang masih mempertahankan unsur kebudayaan Hindu-Jawa, memberi kesempatan bagi wanita keraton untuk mendalami dasar batik, mulai dari menyusun motif hingga membatik.
Tentu saja, para putri keraton hanya “ngengreng” (membentuk motif dasar batik), sementara untuk proses “isen” (pewarnaan dan pelorotan) akan diteruskan oleh masyarakat di luar keraton. Kegiatan ini menyebabkan motif batik tersebar dan berkembang sesuai daerah penyebarannya.

Corak Batik Keraton cenderung simbolis statis dan magis, dengan jumlah warna yang terbatas pada cokelat soga dan biru nila, di atas latar putih atau putih gading.
ADVERTISEMENT
Sebagai penentu kasta, pemakaian ragam hias Batik Keraton diatur dalam corak larangan, atau corak yang hanya boleh digunakan untuk raja beserta keluarga dekatnya.
Di Keraton Surakarta, peraturan ini pertama kali diumumkan melalui maklumat Sunan Solo pada tahun 1769, 1784 dan 1790. Pada maklumat itu, beragam corak disebutkan, seperti sawat, parang rusak, cemukiran dan udan liris, meski tanpa petunjuk rinci tentang penggunaannya menurut urutan hierarki keningratan.
Saudaranya, Keraton Yogyakarta, juga merilis peraturan serupa, namun lebih detail mengenai pola pengelompokan corak yang sekaligus menunjukkan tingkat keningratan pemakainya. Namun tak jelas kapan tahun pengumuman ini dikeluarkan.

Lingkup corak yang diatur dalam Keraton Yogyakarta adalah sawat, parang rusak, cemukiran, udan liris, rujak sente, garuda ageng, kawung, dan semen.
ADVERTISEMENT
Pakem-pakem larangan tersebutlah yang menjadi perbedaan mendasar antara Batik Pesisir dengan Batik Keraton. Pada hakikatnya, Batik Pesisir adalah batik yang berasal dari luar benteng keraton.
Ada banyak faktor yang jadi alasan kenapa Batik Pesisir mengalami pertumbuhan berbeda dari Batik Keraton. Salah satunya disebabkan latar belakang pelaku industri batiknya yang rakyat jelata dan tidak berinduk pada feodalisme aristokrasi Jawa--yang tatakramanya menjadi dasar acuan homogenitas penggunaan motif batik di balik dinding-dinding keraton.
“Sifat, iklim, serta kondisi kerja rakyat jelata berbeda dari mitranya di keraton. Sifat pekerjaan membatik pada rakyat jelata adalah sambilan, sedangkan di keraton membatik adalah ibadah, suatu karya estetik tinggi yang patuh pada aturan serta arahan filosofi aristrokasi Jawa,” ujar Yan Yan.
ADVERTISEMENT
Batik “sambilan” ini cenderung lebih kasar karena dibuat tanpa disungging (dilukis berwarna) menggunakan variasi canting, sehingga harganya lebih murah dibanding Batik Keraton.

Sebagai barang dagangan, ragam hias serta warna yang digunakan pada batik pesisir bersandar pada permintaan pembeli. Batik Pesisir menuntut corak yang dinamis, penganekaragaman produk, kecepatan dan efisiensi produksi, serta mutu yang stabil.
“Ragam hias dari Batik Pesisir ini lebih bebas dan mandiri, tidak terikat pada filsafat tertentu. Sifatnya yang lebih beraneka ragam menghasilkan corak-corak yang amat bervariasi. Warna pun tidak terbatas pada cokelat dan biru, melainkan juga merah, hijau, biru, kuning, dan seterusnya,” kata Yan Yan.

Meski menggunakan pakem berbeda, kedua batik ini --Pesisir dan Keraton-- tetap menggunakan teknik yang sama, yaitu membentuk motif dengan merintang warna menggunakan lilin panas.
ADVERTISEMENT
Kini, kedua batik tradisional tersebut terancam dengan datangnya kompetitor batik-batik baru yang menawarkan inovasi modern lewat berbagai teknologi sains yang memungkinkan digitalisasi dalam pembuatan batik (batik print yang sesungguhnya bukan batik).
Jika teknik asli membatik tidak dilanjutkan dan dilestarikan, pengakuan UNESCO terhadap definisi batik hanya menjadi pengukuhan tanpa kejayaan budaya batik itu sendiri.
