Bersiasat dengan Duit Sebelum Menikah

22 Februari 2019 11:58 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perencanaan finansial perlu dibahas oleh pasangan yang hendak menikah. Foto: Nugroho Sejati dan Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Perencanaan finansial perlu dibahas oleh pasangan yang hendak menikah. Foto: Nugroho Sejati dan Basith Subastian/kumparan

Duit kerap jadi perkara, termasuk bagi sejoli yang hendak berucap ijab kabul. Mau nikah kok repot.

Ekky Putri pusing bukan kepalang. Raut gelisah terpancar dari wajah perempuan 26 tahun itu ketika mengingat hari pernikahan dengan sang kekasih yang seusia dengannya, Adi, tak kurang dari empat bulan lagi.
Masalahnya, pernikahan yang ia impikan itu masih menyisakan perkara pelik: duit.
Pengelolaan keuangan keluarga perlu dicermati pasangan muda. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sembilan tahun menjalin kisah asmara bukan waktu yang singkat. Sudah cukup alasan bagi Ekky dan Adi untuk memutuskan membawa hubungan mereka ke ikatan perkawinan. Apalagi keduanya memiliki penghasilan tetap sebagai guru di sekolah swasta di Jakarta dan Cikarang.
Meski begitu, empat bulan menuju ijab kabul, persoalan finansial masih membelit dua sejoli itu. Upaya mereka sepanjang dua tahun untuk menyisihkan penghasilan guna biaya menikah selalu kandas entah ke mana. Rencana memiliki tabungan bersama pun tak terealisasi.
“Kan ini tinggal beberapa bulan lagi, duitnya ya belum kekumpul juga. Tapi kami main nekat deh,” kata Ekky memulai ceritanya kepada kumparan di KopiBar, Pejaten, Jakarta Selatan, Selasa (19/2).
Jika harus menunggu uang tabungan terkumpul penuh—yang bisa jadi bakal makan waktu selamanya, Ekky dan Adi bisa-bisa tak menikah juga sampai 10 tahun ke depan.
Padahal, sejak bertunangan pada Desember 2018, Ekky dan Adi membuat skema manajemen keuangan pranikah. Mereka juga mencari beberapa referensi biaya untuk melangsungkan pesta pernikahan.
Pasangan yang saling terbuka mengenai penghasilan satu sama lain itu realistis. Mereka berniat menggelar pesta pernikahan sederhana, dengan biaya tak lebih dari Rp 100 juta. Agar berat sama dipikul ringan sama dijinjing, mereka hendak membagi dua beban tersebut.
Tapi apa boleh buat, rencana pesta sederhana itu sirna setelah keluarga Ekky ingin resepsi lebih meriah. Keluarga Ekky ingin menambah jumlah tamu undangan. Artinya, pengeluaran terang membengkak. Biaya pernikahan itu langsung melonjak di atas Rp 100 juta.
Intervensi keluarga macam ini memang kerap jadi hambatan bagi calon mempelai.
“Kalau mau tutup mata, tutup kuping, kan (nikah) ke KUA udah kelar. Cuma sekarang, gue berada di lingkungan yang enggak bisa kayak gitu. Otomatis harus ada perayaan dan itu akan benar-benar butuh dana enggak sedikit,” kata Ekky.
Namun, Ekky tak mau tunduk pada masalah finansial itu. Ia dan Adi terus berdiskusi mencari jalan terbaik. Misalnya, tidak memakai jasa wedding organizer supaya lebih hemat. Urusan pernak-pernik pernikahan diserahkan Adi kepada Ekky dan keluarga sang kekasih.
Perencanaan finansial sebelum menikah tak bisa disepelekan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sibuk mengatasi persoalan keuangan pranikah membuat Ekky dan Adi tak banyak membicarakan rencana finansial pascanikah. Kehidupan setelah pernikahan seolah belum jadi prioritas di antara tumpukan beban lain yang harus lebih dulu ditangani.
“Karena buat persiapan hari H aja belum kebayang. Bayangannya itu belum utuh. Selama ini difokusin pembiayaan manajemen keuangan untuk nikah Juni itu,” kata Ekky.
Kondisi tersebut, menurut perencana keuangan Mike Rini Sutikno, jamak terjadi. Keterbatasan pengetahuan dari pasangan yang hendak menikah jadi sebab.
“Saya lihat, orang mau menikah juga enggak selalu otomatis ngomongin masalah bagaimana nanti (setelah menikah). Paling umumnya ya (bahas) siapa yang bayar pesta pernikahan,” kata Mike Rini kepada kumparan di Gambir, Jakarta Pusat.
Padahal, menurut Mike, pasangan tidak bisa hanya fokus pada resepsi pernikahan. Sebab, kehidupan setelah menikah justru jauh lebih penting karena hal itu merupakan tujuan dari suatu pernikahan.
“Bagaimana (menjalankan) keluarga ke depan itu menjadi isu sebelum pesta pernikahan. Kan itu harus dibahas sebelum membayar biaya pesta pernikahan,” ujar Mike.
Pernikahan Agri dan Anit. Foto: Dok. Pribadi
Berbeda dengan Ekky dan Adi, Anit (24) dan Agri (25) memiliki perencanaan pernikahan yang lebih matang. Walau demikian, rencana pernikahan Anit dan Agri juga sama terjalnya.
Tak banyak kata yang terlontar dari Agri kala kekasihnya, Anit, mengajak untuk menikah pada 2015. Anit punya alasan sendiri kenapa ingin cepat menikah. Ia memberanikan diri terus terang kepada Agri lantaran kesehatan ayahnya terus menurun.
Tak ada jawaban pasti yang diberikan Agri saat itu. Anit tahu betul, pria yang telah ia pacari sejak SMA itu dilanda bimbang luar biasa. Baik Anit maupun Agri kala itu masih harus merampungkan kuliah mereka.
Keinginan untuk menikah di hadapan sang ayah terus membuat asa Anit terus terpupuk. Namun takdir berkata lain. Sang ayah meninggal sebelum ia berucap akad nikah. Tapi Anit tak surut. Tepat setelah Agri menyelesaikan kuliah pada 2016, Anit kembali mengajak pria pilihannya itu untuk segera meresmikan hubungan ke jenjang pernikahan.
“Nikah aja dulu, terus nanti cari kerja bisa bareng karena kita sudah sering bersama. Sudah sangat dekatlah dengan keluarga masing-masing,” cerita Anit kepada kumparan, Rabu (20/2).
Agri tak mudah diyakinkan. Ia tak langsung mengiyakan. Menurutnya, urusan menikah tak sesederhana melakukan ijab kabul di depan penghulu dan dua saksi.
“Aku mikirnya enggak semudah itu. Secara mental belum siap, soalnya kan harus cari kerja dulu,” kata Agri.
Soal mental baru satu perkara. Sebetulnya, ada banyak soal yang membuat Agri enggan buru-buru menikah. Paling penting: ia belum menggenggam pekerjaan yang dapat menyokong urusan finansial rumah tangganya.
Belum lagi kultur patriarki yang selama ini tertanam dalam benak Agri, semakin membuatnya terbenam dalam persoalan finansial.
“Karena aku masih mikir kalau nikah itu, aku sebagai pria harus bisa menafkahi istri secara finansial. Jadi aku harus bertanggung jawab kepada istri,” kata Agri. Pandangan itu juga dianut oleh keluarganya.
Ilustrasi buku nikah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Akhir 2017, Agri akhirnya memutuskan untuk melamar Anit. Ia telah bekerja sebagai wartawan di media online, dan merasa sudah cukup siap mempersunting kekasih-11-tahunnya itu.
“Aku sudah kerja dan lumayan settle-lah. Aku pikir, kami berdua sudah kerja nih, dan secara keuangan sudah settle. Kan dari dulu memang hambatannya ekonomi. Nah, ini sudah berhasil diatasi, ya udah apalagi?” kata Agri.
Tentu tak semudah itu. Sejak bertunangan pada Februari 2018, Anit dan Agri mulai dihadapkan pada berbagai persoalan seputar resepsi pernikahan. Mereka harus bekerja keras mewujudkan pernikahan idaman dalam waktu kurang dari delapan bulan.
Syukurnya, jauh sebelum memutuskan untuk menikah, Anit dan Agri sudah saling terbuka soal penghasilan. Maka, keterbukaan dan komunikasi yang lancar jadi kunci keberhasilan mereka menapak jenjang pernikahan.
Anit dan Agri sudah bisa memprediksi berapa dana yang masuk dan keluar untuk menikah. Untuk memudahkan perhitungan, Anit juga menyiapkan rencana keuangan serapi mungkin.
“Aku ngelis, misal, (biaya) untuk dekorasi berapa, katering sekian, baju sekian. Sedetail itu. Tau pembayaran kapan, jumlahnya berapa, dan kekurangan berapa,” jelas Anit.
Agri dan Anit sepakat menyerahkan pengelolaan keuangan pranikah kepada Anit. Segala pemasukan dari tabungan dan pengeluaran untuk down payment gedung resepsi serta katering, diurus oleh Anit.
“Kita juga buat skema setiap bulan akan nabung berapa, dan kita sudah tau nih sampai bulan Februari 2019 itu kita dari tabungan akan dapat berapa. Kekurangannya juga sudah tahu akan dapat dari mana,” lanjut Anit.
Menyusun sendiri anggaran pernikahan secara terstruktur membuat Anit mudah mengontrol pengeluaran. Ini penting buatnya, supaya anggaran resepsi pernikahan tidak melebihi biaya yang sudah disiapkan.
Anit dan Agri, pasangan muda. Foto: Tio Ridwan/kumparan
Agri dan Anit bahkan sudah menyiapkan manajemen keuangan setelah menikah. Berdasarkan kesepakatan bersama, Agri akan memberikan seluruh penghasilannya kepada Anit untuk dikelola.
Penghasilan Agri yang datang di akhir bulan akan dialokasikan untuk membayar kontrakan dan biaya hidup Agri, sedangkan penghasilan Anit yang datang di awal bulan akan dipakai untuk biaya hidup Anit sendiri. Sementara penghasilan Anit di pertengahan bulan akan ditabung.
“Dari dulu, uang yang handle aku semua. Sebenarnya kami tuh punya daftar skema bulanan,” ujar Anit.
Ia dan Agri pun sudah memiliki rencana prioritas untuk satu tahun ke depan. Mereka, misalnya, akan memprioritaskan menabung lebih giat agar bisa membeli rumah idaman pada pertengahan 2020.
Cerai Gara-gara Duit. Infografik: Basith Subastian/kumparan
Komunikasi sehat, tegas Mike Rini, mutlak dibutuhkan bagi pasangan yang hendak menikah. Komunikasi soal kemampuan finansial, pemahaman berumah tangga, dan kesepakatan tentag keterbukaan pendapatan, harus dilakukan sebelum menikah.
“Sejak pacaran mulai memikirkan (keuangan) itu saya kira sebuah pemahaman yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Empati itu bisa dibangun dari komunikasi itu tadi,” ujar Mike.
Dalam membahas rencana pernikahan, lanjut Mike, bukan uang semata yang perlu dibahas, melainkan kesamaan visi dalam memandang kehidupan. Tak perlu muluk-muluk soal pola pikir perencanaan pernikahan.
“Bicara di awal itu tidak selalu soal gaji besar berlimpah. Kalau hanya fokus bahwa uang itu untuk pemenuhan kebutuhan, pemenuhan kebutuhan bisa jadi agak bias dengan keinginan. Kalau kita mengacu pada uangnya, enggak pernah cukup,” imbuhnya.
Selain soal finansial, kesiapan mental dan psikologis pasangan jangan pula jadi nomor dua. Psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani mengatakan, kerap menemukan pasangan yang siap finansial, tapi belum siap mental.
“Jangan cuma mikir pestanya doang, tapi pikirkan juga persiapan mentalnya. Sudah siapkah kamu untuk menikah,” kata dia.
Terakhir tapi tak kalah penting: pernikahan bukan kompetisi.
Menikah atau tidak, itu pilihan. Bila punya rencana menikah, maka mari mempersiapkan dengan matang, bukan membandingkan-bandingkan tanpa ujung.