Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
“Misalkan aku lagi insta-live gitu mereka bilang ‘turunin dong berat badannya, kasihan suaminya’. Sering kayak gitu kalau sekarang,” cerita Vera Nanda Putri (28) kepada kumparan, Selasa (30/1).
ADVERTISEMENT
Di media sosial, ruang bagi setiap orang bebas--hampir tanpa batas--saling berpendapat, bullying menjadi salah satu aksi yang meluas. Banyak orang kepada setiap orang lainnya, tak peduli kenal atau tidak, bisa mencela bagian tubuh sesamanya.
Salah satunya dialami oleh Vera Nanda Putri yang akrab disapa Nanda. Perempuan berusia 28 tahun ini menghadapi cercaan terlebih setelah pernikahannya dengan pria berkebangsaan Korea Selatan, Park Jun, ramai diberitakan.
“Semenjak aku nikah, viral ya, dari media sosial itu banyak banget yang nge-bully,” papar Nanda. Ia dianggap tak cukup menarik untuk bisa menikahi Park Jun karena bertubuh gemuk dan kulit sawo matang.
Salah satu komentar di Facebook atas artikel Koreaboo berjudul Indonesian Girl Marries Korean Man of Her Dreams After Haters Told Her It Would Never Work bahkan bernada kutukan: She's gona die of obesity/heart disease soon, after that the guy will be going places with her money!
“Mereka bilang gitu ke gue, bakal mati karena serangan jantung. Dan itu saat aku bacanya, (merasa) sakit,” ujar Nanda. Komentar lainnya mengatakan bahwa pria itu menikahi Nanda hanya karena harta kekayaan semata. Seolah menghakimi bahwa perempuan seperti Nanda tak pantas mendapat cinta.
ADVERTISEMENT
Semua cercaan itu coba ia abaikan dan lewati. Beruntung ia memiliki keluarga dan suami, Park Jun, yang selalu membantunya meredakan rasa kesal di hati. Niatan untuk diet hingga liposuction (sedot lemak) pun dibuang jauh-jauh.
“Untungnya orang-orang di sekitar aku--temen-temen, keluarga, dan suami--mereka (bilang) ‘ya udahlah nggak usah dipikirin’. Biar aku bilang seratus kali, mereka bakal bilang seribu kali: ‘udah nggak usah dipikirin, mereka nggak tahu kamu’.”
Apa yang dialami oleh Nanda, ejekan karena bagian tubuhnya yang bernada merendahkan, adalah salah satu bentuk body shaming. Gendut, kerempeng, hitam, jerawatan, payudara kecil, rambut kribo, dan sebagainya kerap menjadi target cercaan orang-orang, terlebih di media sosial.
“Segala komentar berunsur bully-an paling banyak dari media sosial, bila terus terjadi, hal inilah yang akan membuat korban semakin terpuruk dan depresi,” ujar Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi, Psikolog Anak & Remaja, dalam acara kampanye Clean and Clear #ForEveryFace di Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (26/1).
ADVERTISEMENT
Body shaming tak bisa dipandang sepele karena bisa memicu seseorang mengalami depresi, gangguan mental, dan kesehatan. “Apabila terus di-bully, dibilang gendut dan sebagainya, mereka akan menanamkan mindset harus kurus. Kalo usahanya over, bisa memicu penyakit,” papar Vera.
Hal itu seperti dialami oleh Dita Srugova (21) yang diejek gemuk sejak beranjak remaja. Dita, yang memiliki tinggi 150 sentimeter dengan bobot 78 kilogram, bahkan sempat didiagnosa mengalami General Anxiety Disorder dan Bipolar Disorder pada 2015.
“Kalau upload foto pasti banyak dikomen, gendut banget atau kayak subur yaaa, gitu. It gets to my head kalau misalnya lagi sendirian, segendut itukah gue? Atau size berapa sih yang bener-bener gede banget itu, yang diterima di masyarakat tuh seberapa besar sih?” paparnya kepada kumparan, Rabu (31/1).
ADVERTISEMENT
Segala macam usaha untuk menurunkan berat bada ia lakukan. “Saking enggak mau makin gendut, habis makan aku keluarkan lagi, gitu terus,” kisahnya.
Tak hanya pola makannya yang berantakan, beragam pil pun ia coba telan. “Diet (dengan) pil, mulai dari yang ratusan ribu, jutaan, sampai yang Rp 90 ribuan, itu semuanya (dicoba). 2013 aku jatuh sakit.”
Media sosial memperlebar ruang bullying dan body shaming. Berdasarkan tesis yang ditulis Katelyn J. Gafney dari Long Island University , studi terbaru menunjukkan bahwa perempuan-perempuan yang tampil di media sosial kini 10 kali lebih langsing dari rata-rata perempuan di kehidupan nyata.
“Media sosial kemudian menyebabkan perempuan untuk mencoba segala macam cara, termasuk cara-cara yang tak sehat demi penampilan yang bisa mereka tunjukan pada netizen,” tulis Gafney dalam tesisnya. Hal itu dikarenakan terpaan informasi dan citra perempuan yang tampil lebih langsing semakin masif.
ADVERTISEMENT
Selain dengan cara-cara tak sehat seperti diet berlebih dan penggunaan pil, penggunaan filter kamera dan aplikasi edit foto jamak digunakan demi mendapat Likes atau Favorite. Citra standar kecantikan yang ditampilkan media sosial mendorong banyak perempuan merasa lebih mudah marah, tidak percaya diri, bahkan membenci tubuhnya sendiri.
Harus mengikuti standar kecantikan yang dipromosikan oleh iklan-iklan produk kecantikan ditambah potret di media sosial--yang telah menjadi bagian tak terpisahakn dari kehidupan--begitu menghantui. Media sosial, di sisi buruknya, kemudian menambah tekanan dan dampak negatif dari “tubuh ideal menurut masyarakat” yang jauh dari kenyataan. Meski tak saling mengenal, mereka bisa menghujat siapa pun yang dinilai tak sesuai dengan narasi kecantikan yang merajalela: langsing dan putih.
ADVERTISEMENT
Padahal, setiap manusia itu sempurna dan cantik dengan caranya sendiri-sendiri, karena toh kita diciptakan berbeda. Jadi mengapa harus ada standar kecantikan yang sama?
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline !