Kutang dan Tubuh Wanita

21 Desember 2018 10:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan Bali tahun 1901. (Foto: Dok. Perpusnas)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Bali tahun 1901. (Foto: Dok. Perpusnas)
ADVERTISEMENT
Payudara budak perempuan di proyek Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan pada awal abad 19 membuat mata Don Lopez risi. Para budak itu hanya mengenakan kain yang terlilit sebatas pinggang. Mereka membiarkan buah dadanya terbuka, seperti laiknya pakaian keseharian pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Lopez tak biasa melihat pemandangan seperti itu di negerinya sendiri, Prancis. Maka Lopez menyodorkan selembar kain kepada salah satu perempuan itu, dan memerintahkan dia untuk menutup “barang berharga” yang menggantung di dadanya.
“Couvrir le coûtant,” ucap Don Lopez. Artinya, “Tutuplah bagian berharga itu,” yakni payudara si perempuan.
Adegan itu ditulis Remy Silado dalam penggalan kisahnya di novel Pangeran Diponegoro dan Perempuan Bernama Arjuna 5: Minasanologi dalam Fiksi.
Kata “coûtant” yang susah dikecap budak-budak itu lantas berubah menjadi kutang. Perintah Lopez kala itu diyakini Remy menjadi cikal bakal kutang di nusantara.
Meski masih mesti diteliti kebenarannya, cerita tersebut banyak dipercaya sebagai awal lahirnya kata “kutang” sebagai penutup dada di Indonesia.
Nusantara Sebelum Kancut dan Kutang (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nusantara Sebelum Kancut dan Kutang (Foto: kumparan)
Kutang dan berbagai jenis pakaian dalam lain menjadi konsep baru yang dikenal penduduk nusantara setelah berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Sebelumnya, laki-laki atau perempuan bisa sama-sama bertelanjang dada.
ADVERTISEMENT
Pakaian perempuan dulu lazim hanya berupa selembar kain yang dililit di dada atau pinggang. Ada baju kurung, baju bodo, atau jenis rompi dari rotan, kulit hewan, kulit pohon, atau rumbai dedaunan kering.
Semua itu memiliki fungsi sama: menutupi bagian tubuh tertentu sekaligus menghangatkan badan di udara tropis, tak peduli mereka gemuk atau kurus, dengan payudara besar atau kecil.
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Foto: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Foto: Herun Ricky/kumparan)
Di belahan bumi lain dengan hawa dingin seperti negara asal Lopez, perempuan menggunakan berlapis-lapis pakaian untuk menutup tubuh bagian atas. Mereka memakai korset sebagai pakaian dalam untuk menahan udara dingin sekaligus membentuk tubuh ideal yang menggairahkan pria.
Pakaian dalam wanita yang dibuat pada tahun 1905 di Arts Decoratifs Museum di Paris. (Foto: AFP/FRANCOIS GUILLOT)
zoom-in-whitePerbesar
Pakaian dalam wanita yang dibuat pada tahun 1905 di Arts Decoratifs Museum di Paris. (Foto: AFP/FRANCOIS GUILLOT)
Korset bisa terbuat dari logam, kayu, atau gading, lalu dilapisi kain dengan detail renda atau tanpa tali bahu. Ia dipasang untuk menghasilkan siluet bentuk dada hingga pinggang wanita yang berlekuk.
ADVERTISEMENT
Merril D. Smith dalam Cultural Encyclopedia of the Breast menuliskan, pinggang yang ramping dengan pinggul besar dan ukuran dada kecil adalah bentuk tubuh ideal di masa renaisans. Di sinilah korset berperan penting untuk menekan dada perempuan, mengetatkan bagian pinggang agar tampak kecil, serta menahan perut.
“Buah dada yang besar dianggap buruk rupa karena diasosiasikan dengan usia tua dan kemiskinan. Payudara yang besar dianggap lebih cepat turun karena umur atau banyaknya anak yang harus disusui. Itu dianggap tak menarik bagi laki-laki,” tulis Merril.
Pakaian dalam wanita yang di pamerkan di Arts Decoratifs Museum di Paris. (Foto: AFP/FRANCOIS GUILLOT)
zoom-in-whitePerbesar
Pakaian dalam wanita yang di pamerkan di Arts Decoratifs Museum di Paris. (Foto: AFP/FRANCOIS GUILLOT)
Model pakaian wanita pada masa itu biasanya berpotongan rendah pada bagian dada, agar bisa memperlihatkan sensualitas payudara. Bagian perut hingga pinggang dirancang pas di badan, sementara bagian pinggul dibuat lebih mengembang untuk menghasilkan siluet lekuk tubuh perempuan yang ideal pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Ketika pecah perang dunia, pembuatan korset tak lagi menggunakan logam. Alasan utamanya, logam diperlukan untuk keperluan perang. Sementara alasan kedua yang sebenarnya telah lebih dulu diupayakan adalah: persoalan kesehatan.
Penggunaan korset bisa membuat perempuan mengalami sesak napas hingga dislokasi organ. Akhirnya pada 1917, Bernard Baruch, Ketua Dewan Perang Amerika, secara khusus meminta perempuan berhenti menggunakan korset dari logam.
Pasca-perang dunia, standar bentuk tubuh ideal perempuan berubah. Alih-alih payudara kecil dengan badan kurus dianggap menarik, pada masa ini tubuh perempuan berisi dianggap lebih menggairahkan. Sebab mereka yang kurus dan pucat dianggap wanita kelas bawah yang miskin dan kelaparan akibat perang.
Pakaian dalam perempuan Eropa tahun 1900-an. (Foto: Dok. Buku "What Clothes Reveal")
zoom-in-whitePerbesar
Pakaian dalam perempuan Eropa tahun 1900-an. (Foto: Dok. Buku "What Clothes Reveal")
Menurut Merril, perubahan bentuk tubuh ideal itu juga dipengaruhi oleh sebuah gambar representasi kecantikan perempuan yang diciptakan Charles Dana Gibson, seniman grafis Amerika. Lukisan perempuan yang kemudian dikenal dengan sebutan “Gadis Gibson” itu menggambarkan perempuan Eropa-Amerika yang anggun nan elegan.
ADVERTISEMENT
Gadis itu memiliki bentuk tubuh montok ala jam pasir, dengan payudara besar. Sementara pinggangnya yang kecil, kontras dengan pinggulnya yang besar. Hal itu dimungkinkan dengan bantuan korset untuk menahan perut dan membentuk lekuk pinggang.
Sementara pada bagian dada, pada masa itu mulai dikenal bustehouder alias BH (dibaca: beha, penopang dada) dengan bantalan untuk menampilkan kesan dada lebih besar.
Pada 1920-an, gambaran gadis montok ala Gibson sempat mendapat perlawanan. Karakter kartun pekerja perempuan ciptaan Nell Brinkley yang mencita-citakan hak suara bagi perempuan, menjadi idola baru. Gadis Brinkley memiliki tampilan yang kontras dengan sensualitas karakter Gadis Gibson.
Ia memiliki tampilan lebih boyish dan riang, dengan rambut pendek model bob. Ia mengenakan korset untuk menampilkan bentuk tubuh ramping, dipadu rok lurus ketat. Mereka yang mengikuti tren ini sebagai bentuk pemberontakan kemudian disebut flapper.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, gambaran ideal bentuk tubuh jam pasir perempuan tak pernah benar-benar lenyap. Bentuk itu kembali populer bersama dengan lahirnya ikon film seperti Marilyn Monroe dan Jayne Mansfield.
Victoria's Secret Fantasy Bra  (Foto: Dok. vsfstb, vsmodelslife, Elsa Hosk)
zoom-in-whitePerbesar
Victoria's Secret Fantasy Bra (Foto: Dok. vsfstb, vsmodelslife, Elsa Hosk)
Pada periode 1900-an itu, model push-up bra mulai populer demi menampilkan payudara yang penuh terangkat, dan menampakkan belahan dada. Tampilan itu populer karena dianggap indah di mata pria.
Menurut pengamat gaya hidup, Sonny Muchlison, “Pakaian dalam dibuat memang untuk menyokong keseksian penampilan perempuan.” Sejak awal diciptakan, ia ditujukan untuk mencetak bentuk tubuh tertentu yang dianggap ideal sesuai masanya.
Pada akhirnya, bra atau kutang tak hanya menutup dada―barang berharga milik perempuan. Ia juga menawarkan hal lain: menonjolkan sensualitas tubuh perempuan tanpa membuatnya tampak cabul.
ADVERTISEMENT
Mereka yang memiliki payudara kecil, dapat menggunakan push-up bra dengan bantalan busa sehingga payudaranya bisa tampak lebih besar. Sementara jika khawatir payudara akan turun, ada bra berkawat yang siap menjaga penampakan aduhai si buah dada.
“Jadi fungsinya lebih ke estetis,” ujar Sonny.
------------------------
Simak lebih dalam serba-serbi pakaian dalam di Liputan Khusus kumparan: Dari Mana Datang Kutang