Hidup dan Mati dalam Buaian Batik

27 September 2017 9:12 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Batik. Apa yang pertama kali terpikirkan saat mendengar kata “batik”? Sebagian dari kita mungkin membayangkan secarik kain bermotif khas yang “disulap” menjadi ragam busana untuk dikenakan sehari-hari--bahkan kini dimanfaatkan menjadi lapis luar benda-benda lain.
ADVERTISEMENT
Secara bahasa, batik memiliki definisi “kain bergambar yang dibuat khusus dengan menuliskan atau menerapkan malam (lilin untuk membatik) pada kain itu, kemudian diolah dengan cara tertentu.”
Bagi sebagian masyarakat Jawa, makna batik bahkan lebih dari itu. Buat mereka, batik tak sekadar kain, tapi punya peran penting dalam kehidupan, sejak masih dalam kandungan, lahir ke dunia, hingga meninggalkannya lagi dan masuk ke liang lahat.
Pendiri Yayasan Titian, Lily Kasoem, menuliskan, “Pergulatan intens masyarakat Jawa dengan batik melahirkan kekayaan corak, motif, gaya, dan teknik pembatikan. Ribuan corak dan motif batik telah hidup dan berkembang di masyarakat, lengkap dengan makna filosofis yang terkandung di dalamnya.”
Selembar kain batik dengan beragam motif yang berkembang berdasarkan daerahnya telah merepresentasikan tuntunan hidup dan kearifan budaya yang diwariskan turun-temurun dan bahkan menjadi identitas daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski tidak ada yang tahu siapa yang awalnya menciptakan motif itu, namun motif dan corak tersebut diturunkan melalui pengajaran lisan dan melalui berbagai macam ritual kebudayaan. Sebab, kain-kain bermotif memang biasanya digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menggelar berbagai ritual.
Tradisi Mitoni (Foto: IG / Ibugembala)
Saat usia kehamilan seorang ibu genap tujuh bulan misalnya, kain batik akan dikenakan dalam upacara mitoni atau nujuh bulanan atau tingkeban. Ini seremoni perlambang doa agar sang bayi lahir lancar, selamat, dan menjadi manusia yang berbudi luhur serta dipandang.
Pada ritual siraman tersebut, calon ibu akan mengganti kainnya sebanyak tujuh kali setelah dimandikan sebanyak tujuh kali oleh tujuh orang wanita yang dituakan.
Motif batik yang digunakan pada ritual tersebut pun tak bisa sembarangan karena tiap helai kain mengandung doa bagi si jabang bayi.
ADVERTISEMENT
Motif sido mukti misalnya digunakan karena memiliki makna hidup bahagia dan tenteram. Sementara sido asih berarti mengasihi sesama manusia. Sido luhur bermakna memiliki kedudukan tinggi. Sido mulya melambangkan harapan agar si jabang bayi kelak hidup dalam kemuliaan. Dan sido dadi ialah permohonan agar segala harapan bisa tercapai.
Ketiga motif tersebut, menurut Sri Soedewi Samsi dalam buku Batik Yogya & Solo: Techniques, Motifs & Patterns, secara geometris dikategorikan dalam kelompok ceplok. Ciri khas kelompok ini adalah selalu memasukkan unsur simetris dari motif yang berbentuk lingkaran, bintang, kotak sama sisi, persegi panjang, jajaran genjang, segitiga, dan bentuk lain yang disusun dari tatanan garis.
Batik Betawi. (Foto: ANTARA/Syailendra Hafiz Wiratama)
Harapan akan datangnya segala kebaikan dari Tuhan juga digambarkan dengan motif wahyu tumurun. Sementara motif nagasari melambangkan kesuburan dan kemakmuran, grompol menggambarkan segala jenis kebaikan dalam diri, dan semen rama bermakna kehidupan yang terus bersemi hingga makmur.
ADVERTISEMENT
Tak hanya sebagai wujud harapan, kasih sayang seorang ibu juga dituangkan dalam motif babon angrem atau babon ngubluk. Motif ini masuk dalam kelompok lung-lungan (tunas) dan semen (semi) yang khas dengan penggambaran aneka bagian tumbuhan baik daun, tangkai, sulur, tunas, bunga, maupun dalam bentuk tumbuhan sempurna seperti pohon maupun tanaman yang merambat di atas tanah.
Atap dari Kain Batik (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
Kain batik kembali digunakan saat bayi lahir ke dunia. Batik digunakan sebagai alas si bayi saat keluar dari rahim ibunya. Kain yang basah kuyup oleh air ketuban --disebut juga kopohan-- dipercaya bisa menjadi obat rewel sang bayi.
Motif yang digunakan untuk kain kopohan sendiri berupa kawung yang melambangkan kesucian dan panjang umur, parang yang melambangkan kegigihan, serta truntum yang melambangkan berseminya kehidupan serta kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Motif kawung terbentuk oleh susunan lingkaran yang bersinggungan sehingga membentuk motif seperti buah aren. Meski sebenarnya bisa dikategorikan kelompok ceplok, namun berdasaran sejarahnya, motif-motif kawung dianggap lahir terlebih dahulu dibanding ceplok.
Pada zaman dahulu, motif kawung hanya diperuntukkan bagi para bangsawan dan keluarga kerajaan.
Berikutnya, “saudara” si bayi--plasenta, usai dipisahkan akan dibungkus dalam kain gendhongan bermotif parang rusak yang biasa digunakan di lingkungan keraton untuk menggambarkan kemampuan mengendalikan hawa nafsu.
Sementara motif kawung, truntum, parang, semen sawat manak, sisik buntal, dan panji pura biasanya dipilih sebagai kain gendongan si bayi.
Selanjutnya saat tiba masa khitan bagi anak lelaki, kain parang pamor atau parang kusuma yang menyimbolkan kesegaran dan harapan agar si anak menjadi orang berbudi luhur serta senantiasa bahagia, akan digunakan.
ADVERTISEMENT
Dan motif parang cantel atau parang kusuma akan digunakan dalam ritual siraman, yakni upacara saat anak perempuan haid pertama kali.
Patung Istana bersampir batik. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Selain itu, masyarakat Jawa biasa melakukan upacara ruwatan jika sang anak dianggap memiliki sifat atau nasib kurang baik. Dalam seremoni yang terdiri dari prosesi memandikan anak, mendoakan, lalu menggelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala itu, digunakanlah kain bermotif poleng, truntum, kawung, cangkring atau parang rusak.
Saat tumbuh dewasa dan siap menikah, variasi motif batik yang digunakan pun akan lebih beragam, mulai dari saat lamaran hingga berlangsungnya pernikahan.
Tak hanya digunakan oleh mempelai, motif-motif seperti semen latar putih, ceplok, satria manah, semen rante, wahyu tumurun, dan lain-lain ini juga wajib digunakan oleh keluarga kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Koleksi batik di Pop Up Store Galeries Lafayette. (Foto: Stephanie Elia/kumparan)
Bahkan di akhir hidup sebagai manusia, batik masih setia menemani hingga jasad berada di liang lahat.
Umumnya, batik digunakan untuk nglurup atau selubung jenazah. Motif yang digunakan biasanya kawung polos yang berarti kembali ke alam asal atau motif slobok yang punya makna pengantar doa agar arwah dimudahkan jalannya.
Slobok --yang bermotif klasik dan didominasi warna cokelat-hitam-- karenanya menjadi lambang kesedihan yang juga kerap digunakan untuk melayat.
Batik, bagi mereka, mengiringi sepanjang hayat.
***
Menjelang Hari Batik yang jatuh pada 2 Oktober, wartawan kumparan, Amanaturrosyidah dan Ulfa Rahayu, akan mengajak anda berkeliling menjumpai ragam industri batik negeri ini, dan aneka kisah yang tersimpan di dalamnya. Hanya di liputan khusus kumparan.