Marjin Kiri dan Geliat Penerbit Indie Indonesia di Dunia

5 Oktober 2017 9:05 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Hari Buku Nasional dan Hari Buku Internasional memang sudah lewat April dan Mei lalu, namun bulan ini perayaan buku digelar di sana sini, dari Frankfurt hingga Yogya. Sepekan lagi, 11-15 Oktober, pesta buku dunia, Frankfurt Book Fair, kembali digelar. Dan mulai hari ini hingga Minggu, 4-8 Oktober, para penerbit indie Indonesia akan berpesta di Kampung Buku Jogja.
ADVERTISEMENT
Semarak, bukan? Tapi jangan salah sangka, bukan perkara mudah punya mimpi menjadi penerbit buku di Indonesia, pun penerbit indie yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Persaingan dengan penerbit besar dan peliknya menentukan harga buku yang “berkeadilan” menjadi persoalan yang acap harus dikecap para penerbit indie.
Namun, pusaran persoalan tak lantas mematikan mereka. Alih-alih tenggelam, penerbit indie tetap menekuni jalannya dan terus melaju hingga kini bisa bersanding dengan deretan penerbit raksasa.
Marjin Kiri, salah satunya. Lebih dari 10 tahun berdiri hingga kini, Marjin Kiri sudah makan asam garam sebagai penerbit indie di Indonesia. Ia, tahun 2014, menjadi satu-satunya penerbit indie dari Indonesia yang diundang melalui invitation program dalam perhelatan bergengsi Frankfurt Book Fair. Marjin Kiri pun akhirnya berangkat bersama 33 penerbit Indonesia lain.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu hingga tahun ini, Marjin Kiri rutin ikut serta dalam Frankfurt Book Fair. Membawa deretan buku andalannya, Margin Kiri pun siap menembus pasar buku internasional pada FBF 2017.
Marjin Kiri terbang ke Frankfut tak sekadar membawa buku, tapi juga harapan agar literatur kritis-alternatif yang yang kontekstual atas wawasan kebangsaan Indoesia dapat makin dikenal dunia.
“Tahun 2014 kami bisa ikut FBF karena program invitation for international publisher. Itu program FBF untuk publisher-publisher kecil di Asia, Amerika Latin, Afrika, dan Eropa Timur atau Tengah,” kata penggagas sekaligus Pemimpin Redaksi Marjin Kiri, Ronny Agustinus, saat berbincang dengan kumparan di Tangerang Selatan, Jumat (29/9).
“Kami dibiayai ke sana, diberi stan standar agar penerbit-penerbit kecil punya kesempatan untuk belajar bagaimana ikut fair yang besar.”
ADVERTISEMENT
Deretan buku Marjin Kiri. (Foto: Instagram: @marjinkiri)
Nama Marjin Kiri sendiri cukup menyedot perhatian. Penerbit ini tak segan mengusung nama “kekirian” demi meraup atensi, baik dari mereka yang cenderung cocok dengan buku kiri, maupun kelompok sebaliknya yang anti ideologi kiri.
Kata “Kiri”--sebutan yang biasa ditujukan untuk kelompok berhaluan sosialisme yang menghendaki perubahan secara radikal--dipilih karena Ronny dan kawan-kawan memang merasa ada sejumlah hal yang perlu diubah.
“Yang jelas, kami di redaksi sepakat untuk tidak menerbitkan buku ecek-ecek. Kami ingin setiap terbitan kami memiliki sumbangsih. Belajar dari negara-negara lain, sistem terlalu kapitalistik pun tak berhasil. Jika orang bilang komunisme gagal di mana-mana, sama juga apa ada kapitalisme yang berhasil? Gak ada,” ujar Ronny.
“Negara kesejahteraan yang banyak diagung-agungkan nyatanya unsur kirinya juga kuat. Misalnya negara-negara Skandinavia dan sekitarnya,” imbuh Ronny.
ADVERTISEMENT
Negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia, Islandia)--yang mengantongi pendapatan per kapita tertinggi di dunia--memang terkenal karena keberhasilan program-program ekonomi dan jaminan sosialnya. Sebut saja pendidikan gratis, dana pensiun besar, dan subsidi bagi pengangguran.
Sementara di Indonesia, kata Ronny, “Banyak hal yang sudah terlalu lama taken for granted (diterima begitu saja) sehingga masyarakat nggak merasa itu layak diperjuangkan agar lebih baik. Misalnya air layak minum yang gratis. Mestinya air digratiskan karena itu hak dasar rakyat. Tapi kita terbiasa membeli tanpa berpikir lagi.”
Buku-buku terbitan Marjin Kiri. (Foto: Instagram: @marjinkiri)
Pengalaman menjadi bagian dari Frankfurt Book Fair kian kencang menyuarakan nama Marjin Kiri. Banyak penerbit internasional tak menyangka ada penerbit “kiri” di Indonesia, sebab pemberangusan terhadap ideologi kekirian di negeri ini sejak tahun 1965 diketahui seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Keterkejutan dunia itu, di sisi lain, membuat jaringan Marjin Kiri semakin luas. Kehadirannya menuai berbagai respons positif. Identitas progresif dan ciri khasnya mengusung wacara alternatif kritis melalui buku-buku terbitannya membuat Marjin Kiri makin populer.
“Orang jadi lebih kenal, kredensial bertambah. Kami dapat jaringan baru penerbit kiri dan penerbit feminis di Frankfurt,” ujar Ronny.
Ronny Agustinus dan buku terbitan Marjin Kiri. (Foto: Dok. Ronny Agustinus)
Lahir dan tumbuh kembang Marjin Kiri memang erat kaitannya dengan sejarah kelam 1965 bangsa ini. Kisruh sosial politik yang terjadi kala itu mendorong Ronny dan kawan-kawan untuk membawa wacana alternatif-kritis guna mendobrak dan mengurai batas pengetahuan yang pernah dibangun kokoh oleh Orde Baru.
Pembredelan dan pelarangan yang marak kala itu berdampak pada pengekangan literasi--kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media--yang masih terasa hingga kini.
ADVERTISEMENT
“Marjin Kiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah sosial politik Indonesia yang lebih luas, yaitu wacana kiri yang diberangus setelah ‘65, dan Reformasi ‘98 ternyata belum membuahkan hasil maksimal yang mungkin sempat kita cita-citakan,” ujar Ronny.
Ia melanjutkan, “Di sana-sini ternyata masih ada pembatasan yang sangat kentara sampai sekarang. Jadi kami dulu mendirikan Marjin Kiri untuk membawa wacana kritis dan alternatif terhadap kehidupan sosial ekonomi politik di Indonesia.”
Ronny berpendapat kondisi sosial politik Indonesia sampai saat ini bahkan masih cukup kuat dipengaruhi propaganda rezim Orde Baru. Namun berbagai pengekangan terhadap ideologi kekirian tak membuatnya gentar untuk membangun penerbitan yang fokus pada jalan itu.
Buku (Foto: Demabuku)
Kata “kiri” yang tersemat pada Marjin Kiri sudah barang tentu kerap menuai tudingan keras.
ADVERTISEMENT
“Kalau flashback lebih dari 10 tahun lalu, waktu itu kami (Marjin Kiri) masih muda dan berapi-api,” kata Ronny.
Tapi 10 tahun lalu itu, Ronny dan Marjin Kiri-nya bukan penerbit indie pertama dan satu-satunya di Indonesia. Ada banyak penerbit indie lain. Bedanya, kala itu penerbit indie lain masih mengembuskan napas provokasi kuat.
Dibanding penerbit-penerbit indie lain saat itu, Marjin Kiri justru memberi warna lebih “lembut” dalam geliat penerbit alternatif Indonesia.
“Dalam pengamatan kami dulu, sebagian dari mereka (penerbit indie yang sudah ada) mungkin terlalu provokatif. Dalam artian, bukunya mungkin agak sulit untuk dipandang serius di dunia akademik (karena provokatif),” ujar Ronny.
Dunia akademik memang jadi target bidikan serius Marjin Kiri. “Yang ingin kami capai, pelan-pelan bisa masuk ke pengajaran. Yang secara ilmiah gak debatable, diakui, otoritatif, tapi kritis.”
Ilustrasi perpustakaan. (Foto: Andrew_18/Pixabay)
Ronny lantas menceritakan betapa penerbit-penerbit indie di luar negeri biasa menjadikan universitas sebagai pangsa pasar serius.
ADVERTISEMENT
“Ada yang semacam Marjin Kiri di Jerman. Buku mereka dibeli sedikit sekali oleh pembaca umum. Tapi mereka bisa memetakan universitas dan perpustakaan umum mana yang akan membeli buku mereka. Jadi buku-buku keluarannya terserap ke perpustakaan dan kampus.”
Deretan buku terbitan Marjin Kiri. (Foto: Instagram: @marjinkiri)
Tak bisa dipungkiri, risiko tinggi dilarang terbit dan cakupan pasar yang sempit menjadi salah satu kondisi yang harus dihadapi Marjin Kiri. Dan kondisi-kondisi itu tentu berdampak pada roda bisnis dan perputaran uang di dalamnya--yang angka keuntungannya diakui Ronny memang tak seberapa.
“Margin keuntungannya sedikit, sangat tipis. Makanya 15 tahun kami begini saja,” kata dia.
Bahkan pegawai Marjin Kiri baru bisa bertambah belakangan. “Selama bertahun-tahun kami jalani hanya dengan dua orang (pegawai). Baru dua tahun ini kami bisa nambah editor dan tenaga penjual.”
ADVERTISEMENT
Namun Ronny tak surut. Ia yakin, Marjin Kiri punya masa depan menjanjikan--mungkin tak seberapa, tapi reputasi sebagai penerbit indie yang progresif adalah hal utama.
“Saya nggak berpikir 10 tahun ke depan margin (keuntungan) akan besar. Mungkin akan segini-segini saja. Tapi reputasinya kokoh, dan semua pegawai yang kerja di situ, meski sedikit, bisa tercukupi,” kata Ronny.
Ia sedikit pun tak meragu dengan jalan yang ditempuh Marjin Kiri.