Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Johan Firmansyah namanya. Ia mencandu gedung pencakar langit. Remaja 17 tahun itu kerap mengunggah foto-foto dirinya di Instagram dengan latar belakang gedung-gedung tinggi di sekitar Jalan Thamrin dan Sudirman, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Pose Johan beragam, mulai selfie sederhana sampai bergelantungan. Kadang ia berfoto selfie, kadang dipotretkan oleh kawannya. Tapi kenapa harus di ketinggian?
“Refreshing aja,” kata Johan, enteng. Baginya, pergi ke ragam tempat di ketinggian adalah pelarian dari kepenatan.
Johan bahkan rela kucing-kucingan dengan petugas keamanan demi hobinya itu. Soalnya, pergi ke atap-atap gedung kan sebetulnya harus izin dulu karena berbahaya. Kalau mendadak terpeleset jatuh, bagaimana? Kan nyawa taruhannya.
Tapi, namanya juga hobi, ya macam orang jatuh cinta. Segalanya untukmu. Jadi, Johan maju terus ‘mendaki’ gedung-gedung tinggi.
Pemuda itu senang jika fotonya mendapat respons positif di Instagram. Terlebih, di kolom komentar kadang terselip ajakan dari sesama pecinta ketinggian untuk pergi ‘memanjat’ gedung-gedung tinggi lain bersama-sama.
ADVERTISEMENT
“Bangga sih dikomenin,” kata Johan. Ia terlanjur terpikat bahaya, yang kian mengasyikkan kala melihat aliran komentar warganet memenuhi akun media sosialnya.
Johan bukannya tak tahu risiko hobi gawatnya itu. Tapi dasar sudah mencandu, ia malah mencemaskan hal lain. “Saya lebih takut satpam.”
Tak ada yang lebih menjengkelkan baginya ketimbang ketahuan satpam saat menyelinap ke atau gedung untuk berfoto.
Johan tak sendiri. Sebagian orang memang sengaja mengambil spot berbahaya untuk selfie--yang pada beberapa kasus ekstrem bikin nyawa melayang.
Penelitian Priceonomics pada 2014 menunjukkan, selfie alias swafoto menjadi salah satu penyebab utama kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa. Dan jenis kasus tertinggi selfie berujung celaka adalah jatuh dari ketinggian.
Data tersebut juga memperlihatkan, usia dewasa muda (21 tahun) paling banyak menjadi korban jiwa akibat selfie.
Beda Johan, beda Satrio.
ADVERTISEMENT
Pada satu siang, Satrio Wibowo dan kawannya mengantre sudah hampir dua jam. Barisan manusia mengular di depan dan belakang mereka.
Satrio dan temannya itu sedang berada di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN) yang sedang ‘happening’ di Jakarta. Mereka antre menuju ruangan instalasi seni Infinity Mirrored Room - Brilliance of the Souls karya Yayoi Kusama.
“Pengen lihat kayak gimana sih (instalasi) yang bikin orang-orang sampe hype banget,” kata Satrio kepada kumparan, Selasa (26/3).
Yayoi Kusama sendiri ialah nama tersohor di dunia seni kontemporer. Karyanya tersebar di beberapa negara, termasuk The Obliterarion Room yang kemudian disontek Rabbit Town Bandung dengan nama Patricco Sticker Room.
Infinity Mirrored Room kreasi Kusama bukan sekadar ruangan. Ia kamar gelap yang dikelilingi cermin dan dihiasi lampu warna-warni berpendaran. Seperti namanya, infinity, ruangan itu punya kesan tak berbatas bagi mereka yang berdiri di dalamnya. Seakan kita berada di tengah serakan bintang-bintang di langit.
ADVERTISEMENT
Sensasi itu muncul akibat permainan cahaya cantik dari pendar lampu yang seolah tak terhingga jumlahnya, hasil pantulan kaca yang mengelilingi ruangan. Menakjubkan, memang. Sampai-sampai foto-fotonya yang berseliweran di media sosial terus-menerus menarik pengunjung.
Paling penting, Infinity Mirrored Room amat cocok buat penggemar selfie. Museum MACAN lewat akun Instagram-nya, @museummacan, bahkan membagikan panduan singkat bagi pengunjung yang berminat memasuki Infinity Mirrored Room, antara lain: jangan mengambil foto dengan lampu kilat (flash).
Satrio dan kawannya pun, sembari antre, sibuk berpikir tentang pose selfie terbaik untuk berswafoto di dalam ruang cermin tak berbatas itu. Setelan kamera ponsel juga harus disiapkan baik-baik sebelum masuk ruangan.
Semua persiapan itu penting, sebab Museum MACAN membatasi waktu kunjungan masing-masing orang di dalam Infinity Mirrored Room. Ayo tebak, berapa lama?
ADVERTISEMENT
Lima menit? Salah. Tiga menit? Salah. Satu menit? Salah. Yang benar: 45 detik.
Ya, dua jam antre untuk 45 detik di kamar gelap dengan kerlap kerlip bintang buatan. Luar biasa.
Itulah kenapa pose dan setelan kamera harus disiapkan sejak mengantre. Jangan sampai tak sempat selfie selama 45 detik yang singkat di dalam ruangan. Nanti tak ada ‘bukti’ untuk diunggah ke medsos. Rugi, dong. Enggak eksis, enggak kekinian.
Tapi Satrio bukan termasuk golongan orang yang merugi. Soalnya, dia sudah mempersiapkan baik-baik pose selfie dan setelan kamera ponselnya. Alhasil, foto Satrio di Infinity Mirrored Room mengundang 190 likes di Instagram. Buat Satrio, itu lumayan.
“Ini termasuk like yang paling banyaklah dibanding foto saya yang lain,” kata Satrio. Ia puas.
ADVERTISEMENT
Selfie di lokasi-lokasi populer terasa penting. Tanda seseorang eksis dan gaul. Enggak ‘cupu’-lah, kata kids zaman now. Alias culun punya.
Begini, penelitian yang dilakukan terhadap sekelompok remaja berumur 13-18 tahun di Amerika Serikat mengungkapkan, terdapat area di otak mereka--nucleus accumbens--yang bekerja aktif ketika mereka melihat tanda like pada unggahan di media sosialnya.
Itu terjadi karena mereka merasa dihargai oleh likes tersebut. Riset itu telah dipublikasikan di jurnal Psychological Science .
Bukan hanya nyawa dan waktu yang ‘digadaikan’ demi selfie, tapi juga harta, alias biaya. Dwi Maya misalnya rela menguras kantong demi tampil cantik sempurna saat berswafoto.
Hasrat Maya untuk tampil jelita saat selfie kian menjadi karena orang-orang di sekitarnya menyebut dia mirip salah seorang selebgram bernama Sarah Ayu.
ADVERTISEMENT
Perempuan 24 tahun itu pun merawat diri secara rutin ke salon dua kali seminggu. Tiap ke salon, ia menghabiskan dana Rp 200 ribu. Artinya, Rp 400 ribu dalam sepekan, dan Rp 1,6 juta dalam sebulan.
Tapi tunggu dulu, Rp 1,6 juta itu belum semua. Sebab Maya masih harus membeli berbagai alat rias dan kosmetik. Jadi kalau dihitung-hitung, lumayan juga biaya yang ia keluarkan untuk menunjang aksi selfienya.
Untuk melengkapi itu semua, Maya rajin menonton tutorial merias diri. Dan ketika sedang merasa cantik, ia tak membuang waktu untuk ambil ponsel dan langsung selfie.
“Sayang banget kalau lagi cantik enggak foto. Ngelewatin momen,” kata Maya. Dengan prinsip itu, tak heran foto-foto wajah Maya mendominasi akun Instagram miliknya.
Peneliti media sosial di LIPI, Ikbal Maulana, mengatakan gairah kaum muda untuk berswafoto makin terpicu oleh kehadiran media sosial seperti Instagram. Mereka menanti respos warganet di kolom komentar dan menghitung jumlah likes, bak pesohor menunggu pengakuan publik.
ADVERTISEMENT
“Itu bagian dari celebrity culture, ketika mayoritas orang memuja selebriti. Lebih-lebih, sebagian anak muda sangat memimpikan untuk menjadi selebriti,” kata Ikbal, Kamis (29/3).
Semua ingin menjadi selebgram atau influencer. Dan jumlah mereka memang meningkat di jagat maya. Mulai dari artis, makeup artist, sampai individu yang dianggap menarik, menjadi medium untuk mengiklankan ragam produk. Dibayar, tentu saja.
Maka iklan masa kini tak cuma lewat media konvensional macam koran, televisi, radio, tapi juga via selebgram. Majalah GQ British menaksir pengeluaran iklan untuk biaya influencer di Instagram mencapai £ 750 juta atau sekitar Rp 14,5 triliun pada 2017. Angka tersebut diprediksi terus berlipat ganda pada 2019.
Pada titik ini, ujar psikolog Eva Suryani, selfie tak melulu lekat dengan hal negatif. “Dengan swafoto, orang berusaha untuk kreatif, jadi meningkatkan kreativitas.” Dan bagi sebagian orang, kreativitas itu lantas mendatangkan keuntungan dalam bentuk pundi-pundi uang.
ADVERTISEMENT
Intinya, kata Eva, tak masalah selama selfie dilakukan dalam batas wajar.
Semua yang berlebih memang tak baik, bukan?
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.