Menjelang Kepunahan Batik Gedog Tuban

2 Oktober 2017 9:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Fashion Show Batik (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fashion Show Batik (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Belakangan kepopuleran batik terus meningkat, baik di kalangan dewasa atau pemudi-pemuda, dari dalam negeri hingga mancanegara.
ADVERTISEMENT
Batik perlahan mampu menggenggam martabatnya tinggi-tinggi.
Sayangnya, roda nasib berputar ke arah berbeda bagi Batik Gedog Tuban. Berkebalikan 180 derajat dengan jenis-jenis batik lain di Indonesia, eksistensi Gedog Tuban justru terancam dimakan zaman.
Padahal Batik Gedog adalah salah satu produk tradisi yang jadi bukti kekayaan budaya Tuban --salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak di pantai utara Jawa.
Ancaman kepunahan Batik Gedog membuat Fajar Ciptiandi, seorang peneliti batik yang sedang menempuh pendidikan doktoral di ITB, tergerak untuk meneliti jenis batik tersebut.
Dalam penelitiannya itu, Fajar menemukan alasan kenapa Batik Gedog Tuban ditinggalkan para perajinnya.
Batik Tenun GedogTuban. (Foto: Dok. Fajar Ciptandi)
zoom-in-whitePerbesar
Batik Tenun GedogTuban. (Foto: Dok. Fajar Ciptandi)
Gedog adalah batik khas Tuban. Motifnya bisa berupa segala sesuatu yang biasa kita temui di alam, juga motif-motif gabungan yang merepresentasikan campuran berbagai budaya para pedagang internasional.
ADVERTISEMENT
Contohnya motif Lok Can yang dipengaruhi oleh para pedagang Tiongkok. Dalam Bahasa China, Lok berarti “biru” --warna yang biasa mendominasi jenis batik tersebut; dan Can berarti “sutera”.
Pada Batik Gadog, pewarna yang digunakan adalah pewarna ramah lingkungan yang hampir seluruhnya berasal dari alam, seperti dari pohon nila, indigo, atau akar mengkudu.
Nila, tumbuhan perdu setinggi 1-2 meter berdaun majemuk, menghasilkan zat warna biru alami. Indigo, tanaman tropis yang secara literal berarti “ungu lembayung”, menghasilkan zat celup biru. Sementara mengkudu yang memiliki buah agak masam dan punya banyak manfaat kesehatan, mengandung zat warna merah.
Pewarna alami Indigo, Bixa, dan kain batik gedog (Foto: Fajar Ciptandi/fxhere)
zoom-in-whitePerbesar
Pewarna alami Indigo, Bixa, dan kain batik gedog (Foto: Fajar Ciptandi/fxhere)
Satu hal penting yang menjadi kekhasan utama Batik Gedog Tuban adalah jenis kain yang digunakan. Batik Gedog “diukir” di atas kain tenun yang berasal dari hasil alam Tuban sendiri.
ADVERTISEMENT
Proses pembuatan juga dilakukan sendiri, mulai dari memintal kapas, menenun, hingga membatik.
Setelah kapas menjadi benang, perajin mulai menenunnya dengan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Setiap kali benang disilangkan, dua kayu tenun akan bertabrakan dan menghasilkan bunyi “dog-dog”. Inilah yang menjadi awal penamaan kain tenun Gedog.
Proses menenun kain membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang tinggi, dengan waktu cukup panjang --dari menguatkan benang dengan bubur kanji hingga menyusun setiap helai benang ke dalam rongga-rongga hingga membentuk anyaman.
Yang jelas, menenun memang memakan waktu relatif lama. Untuk menghasilkan selembar kain tenun berukuran 3 meter saja, perajin membutuhkan waktu lebih dari sebulan.
Proses panjang menenun inilah yang menurut Fajar tidak bisa dilakukan oleh orang muda --yang cenderung tak sabar.
ADVERTISEMENT
“Mereka merasa seperti dipasung,” kata Fajar saat berbincang dengan kami, Ulfa Rahayu dan Amanaturrosyidah dari kumparan, di Fakultas Seni Rupa dan Desain Program Doktoral Ilmu Tekstil Institut Teknologi Bandung, Selasa (12/9).
Perajin batik di Kerek, Tuban. (Foto: Fajar Ciptandi)
zoom-in-whitePerbesar
Perajin batik di Kerek, Tuban. (Foto: Fajar Ciptandi)
Saat mengunjungi sentra batik Tuban di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Fajar melakukan percobaan. Ia memberikan tantangan kepada beberapa orang muda dan orang tua di sana untuk membatik dan menenun secara tradisional.
“Hasilnya, hanya orang tua yang bisa mengerjakan,” tutur Fajar.
Pada dasarnya, orang muda berusia 20-30 tahun di Tuban bukan tidak mampu menenun, tetapi tidak berminat.
“Karena pekerjaan menenun dianggap pekerjaan orang-orang tua,” kata Fajar.
Seiring perkembangan pasar batik, sebenarnya permintaan akan kain batik di Tuban juga ikut meningkat. Namun, kecepatan produksi menjadi hal yang sangat berpengaruh terhadap persaingan harga pasar.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, daripada harus berlama-lama menenun, para pebatik lebih memilih membeli kain katun dari Pekalongan atau Cirebon, lalu dibatik dengan motif khas Tuban.
Dengan begitu, kain tenun Gedog perlahan ditinggalkan.
Cepat atau lambat, tangan-tangan terampil para penenun yang makin menua tak mampu lagi menyilangkan benang-benang, dan suara “dog-dog” dari alat tenun ikut beristirahat --bisa jadi untuk selamanya.
Ilustrasi menenun. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menenun. (Foto: Thinkstock)
Sebenarnya, dalam hal membatik, orang muda masih menaruh banyak minat. Namun tidak demikian dengan menenun. Dan masalahnya, ciri penting Batik Gedog Tuban terdapat pada perpaduan antara kain tenun dan batik motif khas Tuban.
Di dalam peleburan tenun dan batik itu, tergurat sejarah panjang percampuran kebudayaan antara pedagang internasional dan pribumi yang tak bisa dipisahkan.
ADVERTISEMENT
“Jadi jika hanya batik, maka akan hilang karakter Tuban-nya,” kata Fajar.
Menjaga orisinalitas bukan berarti bersikap tak terbuka terhadap teknologi, tapi tentang bagaimana agar nilai-nilai yang menjadi identitas dan karakter tidak hilang.
Dan kemauan untuk menjaga nilai-nilai itulah yang akan menjawab sejauh mana Batik Gedog Tuban mampu bertahan.
Infografis Alat-alat Batik (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Alat-alat Batik (Foto: Bagus Permadi/kumparan)