Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rabbit Town Bandung, Instalasi Selfie yang Kebablasan
2 April 2018 9:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Rabbit Town kelabakan. Wisata selfie di Ciumbuleuit, Kota Bandung, itu dihujani cercaan di jagat maya. Ia mematikan kolom komentar di akun Instagram-nya, rabbittown.id, dan sempat menolak menjawab pertanyaan wartawan.
ADVERTISEMENT
‘Cacat’ lokasi wisata yang mengusung moto “The Way to More Happiness” itu terkuak. “Rabbit Town terang-terangan mengabaikan hak cipta intelektual seniman. Nama mereka menjadi sangat buruk,” kata Devan Pucci, Juru Bicara Museum of Ice Cream di Los Angeles, Amerika Serikat, Kamis (29/3).
Ya, Rabbit Town tersandung perkara plagiarisme--menjiplak karya dan melanggar hak cipta orang lain. Sejumlah kreasi yang ditampilkan di Museum of Ice Cream termasuk beberapa instalasi yang ia sontek.
Setelah bungkam selama beberapa hari, Kamis (29/3), Rabbit Town buka suara. “Karya yang dituduh plagiat, terinspirasi dari karya orang. Ini memang dapat ide dari karya orang. Tapi bentuk dan jumlah (detail instalasi)nya tidak sama,” kata General Manager Rabbit Town, Ferdi Candra.
Dugaan plagiarisme Rabbit Town terbongkar sekitar dua bulan setelah atraksi wisata selfie itu diresmikan pada 11 Januari 2018. Sejumlah nama seniman yang karyanya ditiru oleh Rabbit Town antara lain seniman kontemporer Jepang Yayoi Kusama, serta seniman Amerika Chris Burden dan Colette Miller.
ADVERTISEMENT
“Setelah kami menghabiskan waktu untuk menciptakan karya unik seperti Museum Es Krim, kami tentu ingin memastikan agar ide-ide dan desain-desain kami tetap berada di tempatnya semula, di Museum Es Krim,” kata Devan Pucci melalui surat elektronik kepada kumparan.
Museum of Ice Cream gusar, dan meminta aksi-aksi plagiarisme terhadap karya seni dihentikan, sebab hal tersebut jelas merugikan sang seniman asli, baik secara ide, moral, dan materi. Alih-alih meniru, ujar Pucci, hal terbaik yang harus dilakukan adalah berkolaborasi dengan seniman terkait.
Indikasi plagiarisme oleh Rabbit Town pertama kali disinggung oleh akun Twitter @sobatindi3. Ia mengunggah beberapa instalasi seni di dalam Rabbit Town, dan menyandingkannya dengan hasil karya seniman luar negeri.
Seni instalasi di Rabbit Town yang diduga plagiat antara lain ‘Patricco Sticker Room’ berupa ruangan berhias stiker polkadot warna-warni yang amat mirip dengan ‘Obliteration Room’ karya Yayoi Kusama, seniman Jepang pemilik galeri Ota Fine Arts di Tokyo dan Singapura.
ADVERTISEMENT
Ada pula ‘Love Light’, deretan tiang lampu yang menjadi kembaran ‘Urban Light’ karya seniman Amerika Chris Burden. Almarhum Burden membuat Urban Light pada 2008. Instalasi seni itu berada di Los Angeles Country Museum of Art (LACMA), California.
Akun Instagram yang menyoroti plagiarisme di dunia seni, diet_prada, pun menyindir Rabbit Town dalam salah satu unggahannya yang memampang foto Urban Light dan Love Light berbarengan, disertai sindiran, “Hey @rabbittown.id… it’s cool you wanna bring some LA flavor to Indonesia, but blocking the people tagging @LACMA in the comments doesn’t really go with chill west coast vibes. Chris Burden’s Urban Light installation is pretty iconic.”
Tak ketinggalan, instalasi ‘Pink Ice Cream’ andalan Rabbit Town yang menyerupai karya seni di Museum of Ice Cream LA sehingga membuat kesal si empunya. Upaya meniru terlihat jelas dari pilihan warna yang dipakai pada booth berisi pisang-pisang dan lampu-lampu berbentuk es krim cone yang bergelantungan.
Belum lagi mural mirip ‘Angel Wings’ milik seniman AS Collete Miller yang juga terdapat di Rabbit Town. Sekilas, wisata selfie itu macam gudang karya seni plagiat.
ADVERTISEMENT
Kecaman berhamburan untuk Rabbit Town, dan semua kekisruhan itu bergaung ke dunia, karena karya seni yang ia tiru pun berlokasi di luar negeri.
“Meniru dan terinspirasi itu dua hal berbeda. Mereka jiplak karya orang lain murni karena estetika tapi menghiraukan value lain yang diproyeksikan dari karya itu sendiri. Not only this is blatant plagiarism, it also reduces the meaning of these arts carry entirely,” kata akun @deepfriedoreo.
Selasa (27/3), Rabbit Town memasang ucapan “Terima Kasih” besar-besar di akun Instagram-nya. “Terima kasih banyak atas semua kritik dan saran yang telah diberikan. Kami akan terus melakukan perbaikan dan pembenahan untuk ke depannya,” demikian keterangan yang menyertai unggahan ‘Terima Kasih’ itu.
Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI, Agus Dermawan, menyesalkan ulah Rabbit Town meniru instalasi seni karya seniman luar negeri. Hal itu, menurutnya, diperparah dengan kesamaan substansi fungsi antara Rabbit Town dengan kreasi yang ia tiru, yaitu sebagai tempat wisata.
ADVERTISEMENT
“Ini menimbulkan image bahwa Indonesia, khususnya Bandung, tidak punya seniman kreatif. Seharusnya Wali Kota Bandung mewaspadai (dugaan plagiat) ini lewat ‘mata-mata’ para seni budayanya,” kata Agus.
Seniman senior yang tinggal di Bandung, Nyoman Nuarta, sependapat. Menurutnya, “Perilaku seni seperti ini (menjiplak) tidak layak disebut seniman. Sebab seniman memerlukan perjuangan untuk membangun identitas, karena keaslian akan muncul apabila karya itu murni berasal dari buah olah batinnya.”
“Walaupun identitas bukanlah tujuan dari berkarya, tetapi misi dari karya tersebut adalah berkomunikasi. Tidak dibenarkan secara moral kalau terbukti menjiplak. Itu pasti order ke seniman yang enggak tahu tata krama,” ujar Nuarta, Rabu (28/3).
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, kreator patung Garuda Wisnu Kencana itu menyatakan, dugaan plagiat oleh Rabbit Town akan mencoreng nama seniman Indonesia, membuat mereka harus siap menjadi bahan olok-olok masyarakat luar negeri.
Agus mengamini. Ia berkata, “Tiga puluh tahun lalu kalau ada barang jelek, gampang rusak, selalu disebut ‘bikinan China’. Sekarang kalau ada seni bagus, jangan-jangan nanti ada yang bilang: sebentar lagi pasti ada di Indonesia.”
Agus menyarankan agar Rabbit Town mengambil langkah cepat guna memperbaiki ‘kerusakan’ dengan memanggil kreator seni ahli untuk memodifikasi instalasi selfie miliknya agar tak menyerupai dengan karya yang semula ditiru di luar negeri.
“Cara menghilangkan rasa ‘malu’ itu adalah dengan memodifikasi karya tiruan dengan sentuhan visual lokal Indonesia. Kita punya banyak seniman kreatif, bukan cuma peniru, yang akan hebat jika diberi kesempatan,” imbuh Agus.
ADVERTISEMENT
‘Inspirasi’ jadi kedok?
Meniru suatu karya bukanlah perkara sulit. Kemajuan teknologi membuat semua hal menjadi mungkin. Informasi mengalir deras dan mudah diakses siapa pun. Di dunia seni tak terkecuali. Teknologi digunakan sebagai referensi dalam membuat karya.
Di sisi lain, dampak negatif tak terelakkan. Seniman yang tak bertanggung jawab dengan gampangnya tinggal menjiplak karya orang lain setelah mengamatinya via internet.
“Itu sulit dihindari karena bisa dapat duit cepat. Jadi para rampok karya dan pelaku seni yang tidak kreatif jiplak sana sini,” kata Nuarta.
Gesyada Siregar, kurator muda dan dosen Institut Kesenian Jakarta, mengatakan dalam dunia seni saat ini sedang tren fenomena mood board, yakni semacam panduan perancangan--kolase gambar, teks, dan contoh objek sebagai kerangka untuk mewujudkan suatu karya seni.
ADVERTISEMENT
“Klien bisa dengan gampang membuat mood board. Mereka bisa ambil dari Google, Instagram, tanpa memasukkan kredit (siapa senimannya), selanjutnya diserahkan ke tim display atau artistik untuk diwujudkan,” kata Gesyada.
Dengan demikian, ujarnya, dalih ‘terinspirasi’ adalah lumrah. “Itulah kenapa hampir semua desain sekarang mirip-mirip dan flat. Karena referensinya sama.”
Rabbit Town kembali mengelak. “Kami enggak (pernah) mengeluarkan statement kalau yang di Rabbit Town itu hasil karya kami. Kalau dikatakan plagiat, itu ada dimensinya seperti apa, volumenya seperti apa, dari hukum legal dan hukum patennya seperti apa,” kata Ricardo, perwakilan manajemen Rabbit Town.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tak menjelaskan secara spesifik batasan suatu karya bisa disebut sebagai tindakan plagiarisme. Dan menurut Gesyada Siregar, dalam seni rupa memang tak ada batasan pasti soal karya plagiat.
ADVERTISEMENT
Bahkan, menurut Gesyada, sah-sah saja karya seni memiliki kemiripan sampai 99 persen antara satu dengan lainnya. Namun, ujarnya, alangkah bijak ketika meniru karya orang lain, sertakan kredit untuk karya tersebut.
Namun, ketimbang meniru, Nuarta mengajak para seniman tanah air untuk menumbuhkan kreativitas dalam diri sehingga menghasilkan orisinalitas karya, yang akhirnya dapat memupuk rasa percaya diri seniman-seniman tersebut.
Kurator seni rupa Artspace Indonesia, Argus FS, tegas menyebut instalasi selfie di Rabbit Town sebagai plagiat. Ia tak sependapat bila kemiripan 99 persen antara satu karya seni dengan yang lainnya dinilai wajar.
ADVERTISEMENT
“Seni rupa kan visual. Kalau secara kasatmata tingkat kemiripannya 50 persen, sudah bisa disebut plagiat. Kalau hanya terinspirasi, tidak akan menimbulkan kesan yang sama.”
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.