Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pada 12 Juni lalu, layanan pesan instan Telegram sempat mengalami gangguan. Telegram saat itu mengaku mengalami serangan DDoS yang kuat sehingga koneksi terhadap layanannya terganggu untuk sementara waktu.
ADVERTISEMENT
Serangan DDoS (Distributed Denial of Service Attack) biasanya dilancarkan hacker ke server suatu layanan untuk mengacaukan server tersebut dan membuatnya amat sibuk. Hal inilah yang dialami Telegram ketika itu.
CEO dan pendiri Telegram, Pavel Durov, menuding pemerintah China sebagai dalang dari serangan DDoS itu. Lewat akun Twitter resminya, Durov mengatakan alamat IP serangan itu berasal dari China dan terjadi saat jutaan orang di Hong Kong melakukan protes.
Banyak peserta aksi protes di Hong Kong yang menggunakan Telegram untuk menghindari pelacakan dalam mengkoordinasikan aksinya. Pemerintah China kemudian dianggap ingin mengintervensi layanan Telegram untuk membatasi penggunaannya.
Menurut laporan Bloomberg, aplikasi pesan terenkripsi seperti Telegram dan FireChat sedang trending di Apple App Store Hong Kong.
ADVERTISEMENT
"Alamat IP-nya kebanyakan datang dari China. Ternyata, serangan DDoS yang skalanya dilakukan negara (200-400 Gbps sampah) yang kami alami terjadi ketika ada protes di Hong Kong (yang dikoordinasikan lewat Telegram). Kasus ini bukan pengecualian," kicau Durov.
Serangan DDoS itu membuat Telegram tidak bisa memproses permintaan yang benar dari penggunanya, karena saking banyaknya menerima permintaan sampah dari serangan DDoS. Permintaan sampah itu disebut dilancarkan lewat botnet, jaringan komputer yang terinfeksi malware.
Untungnya, di hari yang sama Telegram berhasil menstabilkan layanannya kembali dari serangan DDoS dan memastikan data penggunanya aman.
Protes besar-besaran yang terjadi di Hong Kong sendiri merupakan tanggapan warga atas pengajuan kebijakan baru yang membuat pemerintah Hong Kong bisa mengekstradisi warganya ke China. Warga Hong Kong pun melancarkan protesnya terkait kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT