Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Canva, Startup Unicorn dengan Koki Andal di Kantor
9 Desember 2018 20:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Enjoy delicious breakfast and lunch, prepared by Canva’s own in-house chefs.
― Canva
ADVERTISEMENT
Pagi hari di timur Sydney. Gelak tawa dan denting pisau garpu terdengar dari salah satu gedung di Lacey Street, Surry Hills. Di dalam bangunan bernomor dua, orang-orang duduk mengitari meja panjang yang berjajar-jajar. Mereka kebanyakan berkelompok.
Di bagian depan ruangan, tersaji hidangan prasmanan melimpah namun tak terkesan mewah. Orang-orang mencomot makanan sesuka hati. Mau ambil yang mana, atau mau pesan apa, bebas saja. Penganan untuk vegetarian atau omnivor, semua ada. Seperti di hotel-hotel berbintang.
Kalau mau, mereka bahkan bisa memasak mandiri. Tinggal pilih bahan masakan yang diinginkan, lalu ambil peralatan dapur seperti di rumah sendiri, dan mulai memasak. Bila ragu atau agak lupa dengan resepnya, koki siap membantu.
Ruangan di lantai dasar bekas pabrik jahit itu adalah tempat makan bersama, dan orang-orang itu sedang―atau akan―sarapan. Dengungan riuh mereka bercampur dengan hawa santai yang mengambang di udara.
ADVERTISEMENT
Tapi, bangunan itu bukan hotel, kantin, apalagi pujasera. Tak perlu membayar semua makanan di sana. Hidangan itu disediakan gratis oleh Canva, dan orang-orang itu ialah karyawan Canva.
Canva memang istimewa. Bukan hanya karena aplikasi software desain grafis itu telah diunduh oleh 10 juta lebih pengguna, atau karena perusahaan teknologi yang berdiri tahun 2012 itu kini menjelma startup unicorn yang digdaya.
Tapi juga, antara lain, karena ia mendesain kantor bak arena bermain (dengan climbing wall di salah satu sudut, dan bar di ruang rapat), memberangkatkan seluruh pekerjanya ke luar negeri untuk bertamasya secara berkala (yeah, outing), dan―yang paling terkenal―memiliki juru masak profesional di kantor (betul, Anda tak salah baca: koki di kantor).
ADVERTISEMENT
Pendeknya, bagi kaum milenial, terutama para pekerja kreatif yang tak menyukai kekakuan dalam nuansa kerja, Canva terlihat sempurna. Betul-betul tempat kerja idaman pemudi-pemuda.
Canva, tech startup yang bermarkas di Sydney, Australia, ini jadi juara dalam daftar “2018 Best Places to Work in Australia ” untuk kategori perusahaan dengan jumlah pekerja 100-999 orang (Canva saat ini memiliki sekitar 400-an karyawan, dan terus bertambah).
Dalam menyusun daftar “Best Places to Work” tersebut, Great Place to Work―konsultan, lembaga riset, dan pusat pelatihan sumber daya manusia global―menggelar survei yang melibatkan 63.740 pekerja Australia dari 160 perusahaan. Penilaian juga menyertakan parameter khusus seperti indeks kepercayaan pekerja kepada perusahaan, serta audit budaya kerja dan manajemen perusahaan.
Canva juga berada di urutan pertama “2018 Top Australian Startups ” yang dirilis LinkedIn, situs jejaring para pekerja profesional, pertengahan September lalu.
ADVERTISEMENT
LinkedIn mendasarkan penilaiannya pada sejumlah indikator seperti pertumbuhan karyawan, minat pencari kerja, tingkat keterlibatan profesional terhadap perusahaan serta para pekerjanya, dan seberapa baik perusahaan menarik orang-orang berbakat dari daftar perusahaan unggulan LinkedIn.
Tak hanya menyandang label “Best Places to Work in Australia” dan “Top Australian Startup”, Canva telah lebih dulu menyabet predikat “Coolest Company in Australia ”. Label itu disematkan pada Canva oleh Job Advisor―agen perekrutan karyawan berbasis di Perth―selama dua tahun berturut-turut, yakni 2015 dan 2016.
Untuk mengantongi predikat itu, suatu perusahaan harus mendominasi pasar, menyodorkan layanan inovatif kepada khalayak, menawarkan profit signifikan bagi pekerjanya, dan memiliki produk bagus, budaya kerja unik, serta kantor hebat.
ADVERTISEMENT
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 94 persen pekerja Canva merekomendasikan perusahaan mereka sebagai tempat bekerja.
“Budaya kerja yang asyik sangat atraktif bagi pencari kerja. Ini membantu Canva menemukan orang yang tepat―orang yang pasti senang bekerja di sini, dan orang yang berbagi semangat sama dengan kami,” kata Cameron Adams, Co-Founder & Chief Product Officer Canva, saat berbincang dengan sejumlah media Indonesia yang menyambangi kantornya di Sydney bersama Kedutaan Besar Australia, Kamis (29/11).
Perkenalkan, Christopher Low, Executive Chef Canva. Namun, selain Koki Eksekutif, Chris memegang jabatan lain yang terdengar tak biasa: Head of Vibe.
Menurut situs informasi keuangan MarketWatch, Head of Vibe atau Vibe Manager atau Director of Vibe, punya tugas spesifik yang tampak asyik. Misalnya, menggelar selebrasi, menjadwalkan happy hours, memenuhi dapur kantor dengan ragam camilan sehat, dan merancang piknik.
ADVERTISEMENT
Intinya: mengembangkan 1001 cara untuk membuat karyawan berbahagia. Oleh sebab itu seorang Vibe Manager digambarkan sebagai seseorang yang berpikir outside the box, punya lingkup pergaulan luas, dan paham gaya hidup kekinian.
“Vibe team bertanggung jawab memastikan segala sesuatu di kantor berjalan lancar, mulai soal makan siang sampai peralatan kantor,” ujar Chris dalam situs Canva .
Pokoknya, bagi Canva, Chris adalah “koki, manajer fasilitas, sekaligus visioner perusahaan”.
Dulu, Chris full-time chef. Selama 16 tahun, ia memang koki betulan. Ia punya restoran dekat kantor Canva. Restoran itu sering didatangi pendiri Canva, Melanie Perkins dan Cliff Obrecht, untuk makan siang.
Namun, Chris kemudian memutuskan menjual restoran itu, dan setelahnya Mel dan Cliff malah menawari dia untuk bergabung dengan Canva sebagai in-house chef alias koki kantor yang bertugas menyajikan makanan untuk seluruh pekerja Canva.
ADVERTISEMENT
Semula, Chris ragu menerima tawaran Mel dan Cliff. Apalagi, ia cukup terkenal di Sydney. Kalau dia buka restoran baru, misal, koran-koran pasti langsung memberitakan.
Tapi, Chris ingin mencoba hal lain, dan ia melihat tren baru pada perusahaan-perusahaan modern di kota-kota maju yang menginvestasikan uang mereka untuk makanan berstandar tinggi bagi para pegawainya.
Gagasan itu menarik bagi Chris. Ia ingin mencoba mewujudkan itu, sekaligus menjadi yang nomor satu di Australia dalam urusan menyajikan menu bermutu bagi para pekerja.
Kini, Chris tak memasak sesering dulu (tenang, Canva tak cuma punya satu koki). Sebagai Head of Vibe, ia menangani dan mengoordinasikan lebih banyak urusan―yang ternyata terasa menyenangkan baginya.
ADVERTISEMENT
Chris kerap menantang diri untuk mencetuskan gagasan baru, misalnya membuka pertanian Canva―yang kemudian sukses dan hasil panennya digunakan sebagai bahan-bahan makanan untuk dimasak buat para pekerja Canva.
Segala soal makanan memang menjadi perhatian Canva. Tak hanya mutu makanan yang disajikan, tapi juga waktu makan yang menjadi momen bersama seisi kantor.
Makan siang menjadi simbol kebersamaan pekerja Canva sebagai keluarga besar.
“Dengan duduk bersama mengelilingi meja panjang di ruang makan, akan selalu ada orang di samping kami, dan itu memberi kesempatan pada tiap orang di kantor untuk tahu tentang apa yang terjadi di keseluruhan perusahaan,” ujar Chris.
Canva juga memiliki coach untuk mendampingi pekerjanya secara perorangan maupun kelompok. Coach ini akan membantu mereka mengembangkan karier, menentukan tujuan profesional, sekaligus menumbuhkan karakter percaya diri pada tim dan individu.
ADVERTISEMENT
Tersedia pula sesi konseling pribadi dengan psikolog untuk menangani persoalan apa pun yang dapat berdampak buruk terhadap kinerja dan kebahagiaan pekerja.
ADVERTISEMENT
Iklim kerja nyaman menjadi daya dorong Canva untuk go international. Saat ini pasar besar Canva di luar Australia ialah Indonesia dan India di Asia, serta Brasil di Amerika Selatan.
“Kami bekerja keras untuk menciptakan konten lokal untuk pasar-pasar utama kami. Kami mencermati apa yang terjadi di Indonesia, Brasil, dan India. Kami mencoba memahami apa yang diinginkan masyarakat di sana,” kata Xingyi Ho, Head of International Growth Canva.
Pengguna Canva di Indonesia meningkat tajam sejak Canva merilis aplikasi versi Android pada November 2017. Itu sebabnya ia gencar merancang konten lokal Indonesia mulai enam bulan lalu, dan akan menambah investasi untuk terus memperbanyak konten desain grafis berbahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Canva pun berencana merambah pasar yang lebih luas dengan mengembangkan produk yang memungkinkan penggunanya membuat desain dalam Bahasa Arab.
“Kami memulai Canva dengan desain tiga bahasa―Inggris, Prancis, Spanyol. Dan menarget hingga 100 bahasa,” ujar Xingyi Ho.
Ambisi go international Canva juga diwujudkan dengan rekrutmen lintas negara. Pekerja Canva berasal dari berbagai negara, dan mereka membaurkan ragam budaya asal dalam kultur baru di tempat kerja.
Canva menjelma unicorn setelah pada Januari 2018 menerima pendanaan $ 40 juta dari Sequoia Capital China, Felicis Ventures yang berbasis di Silicon Valley, dan Blackbird Ventures di Sydney. Unicorn ialah titel yang dilekatkan pada startup yang memiliki valuasi atau nilai sebesar US$ 1 miliar lebih (melampaui Rp 14 triliun).
ADVERTISEMENT
Injeksi itu kemudian digunakan Canva untuk menggandakan jumlah pekerjanya, dan mengembangkan sayap pada skala global.