Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Muda, berprestasi, dan menginspirasi.
Kita selalu haus dan merindukan sosok seperti ini. Ibarat hujan yang turun di tengah kemarau kabar baik. Barangkali untuk menjadi oase di tengah kabar-kabar korupsi, dagelan politik yang ramai lalu-lalang, atau tindak kekerasan yang menguras emosi.
Tak heran jika berita tentang sosok muda nan inspiratif itu ibarat pelita yang menyalakan cahaya harapan.
Lalu muncullah nama Dwi Hartanto.
Kronologi Klaim Dwi Hartanto
Jauh sebelum berita tentangnya besar di tahun akhir 2015-2016, pada 2010 namanya pernah disebut beberapa media. Ia diberitakan meluncurkan satelit di Belanda pada 2010.
Saat itu Dwi memang tengah menyelesaikan studi S2-nya di TU Delft dan ikut serta dalam proyek mahasiswa soal nanosatelit Delfi-C3 .
ADVERTISEMENT
Program Master S2 saya jalani di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics and Computer Science, dengan thesis berjudul “Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-nJXt Satellite Mission” di bawah bimbingan Dr. Ir. Georgi Gaydadjiev, selesai pada Juli 2009. Penelitian master saya ini memang beririsan dengan sistem satelit, tetapi dalam kaitan dengan bagian satelit data telemetri dan ground segment networking platform-nya.
Lima tahun kemudian Dwi menyebar rilis berita prestasi terbarunya terkait keberhasilan dia dalam peluncuran satelit pada beberapa wartawan.
“Setelah berhasil mematangkan platform teknologi dan mengorbitkan active nano-satellite pertama di dunia yang kemudian menjadi barometer dan acuan standar desain teknologi active nano-satellite universitas-universitas dunia serta suksesnya beragam misi-misi saintifik pada peluncuran active nano-satellite Delfi-n3Xt, Delfi-SMART, dan DelFFi-sat,” tulisnya pada bagian pembuka rilis yang ia kirimkan Juni 2015.
ADVERTISEMENT
Bersumber dari rilis tersebut, maka lahirlah berita-berita mengenai dirinya.
Prestasi yang saat itu diklaimnya, dan diberitakan oleh media, tentu sebuah capaian luar biasa. Terlebih teknologi di bidang kedirgantaraan serta teknologi roket dan satelit yang terhitung sepi peminat.
Nama Dwi makin meroket setelah ia mengklaim berhasil meluncurkan Satellite Launch Vehicle (SLV) yang diberi nama sandi The Apogee Ranger V7s (TARAV7s). “Project SLV tersebut sepenuhnya dilakukan di TU Delft dan didukung serta didanai oleh Departement Pertahanan Belanda, Nationaal Lucht-en Ruimtevaartlaboratorium (NLR) –Laboratorium Antariksa Nasional, Airbus Defence, dan Dutch Space (perusahaan terbesar di Belanda yang bergerak dalam bidang aerospace),” papar Dwi dalam tulisannya.
Spesifikasi SLV yang dirancang oleh Dwi dan tim ditulisnya berjudul jenis roket 3 tingkat, dengan sistem aerodinamik yang dikontrol oleh SAS (Stability Augmentation System) dan IMU (Internal Measurement Unit).
ADVERTISEMENT
Dwi menulis, “Semua sistem sensor dan flight modules roket dikendalikan oleh sebuah flight-module utama berbasis octa-core @3Ghz dengan realtime GadoGadoOS 64-bit sebagai otak di belakangnya”.
“Saya pertama kali diajak sama profesor saya untuk involve di beberapa proyek satelit. Mulai saat itu saya kenalan dengan orang-orang Ring 1 ESA (European Space Agency) untuk involve di proyek-proyek yang lebih advance. Dari situ mulai dipercaya sampai diampu jadi technical director. Saya satu-satunya orang non-Eropa yang masuk di Ring 1 teknologi ESA,” paparnya dalam Mata Najwa Goes to Netherland, 14 November 2016.
Selama kurang lebih empat menit, Dwi bercerita sembari membawa serta ‘bukti’ foto-foto roket karyanya.
Sebulan kemudian, 17-24 Desember 2016, Dwi yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa postdoctoral dan asisten profesor bidang Space Technology and Rocket Development ini ikut serta dalam acara Visiting World Class Professor yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
ADVERTISEMENT
“Ada program WCP (World Class Professor), dia (Dwi Hartanto) melamar dan mencantumkan CV-nya, dan kami lihat memang mantap ini CV-nya, sesuai dengan kebutuhan kami. Termasuk spesifikasi keilmuannya tadi yang ahli di dalam pertahanan udara,” cerita Dirjen SDM Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti, pada kumparan (12/10).
Dalam acara itulah ia kemudian bertemu BJ. Habibie. “Si penelepon bilang, Bapak ingin bertemu. Saya sempat bingung, siapa bapak yang dia maksud,’’ cerita Dwi pada media ketika ditemui setelah pembukaan Visiting World Class Professor di Jakarta, 19 Desember 2016.
Bapak yang dimaksud tak lain adalah BJ Habibie. Dwi bercerita, ia diminta melapor jika ditawari pindah kewarganegaraan oleh Belanda. Habibie, katanya, yang akan menghadapi langsung pemerintah Belanda.
ADVERTISEMENT
Sejak itulah Dwi menyandang julukan “The Next Habibie”. Tak ingin namanya pudar, Juni 2017 Dwi mengunggah fotonya yang menang lomba riset teknologi antar-space agency dunia di Jerman dengan hadiah 15 ribu euro.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda pun memberinya penghargaan sebulan kemudian di momen perayaan kemerdekaan Indonesia. Kegemilangan sosoknya dirasa patut dirayakan tentu saja.
Pada bulan itu juga kumparan mulai berkorespondensi via surel dengan Dwi. Pada kami, Dwi mengatakan tengah diminta mengembangkan pesawat tempur generasi keenam dan memiliki paten teknologi Lethal Weapon in the Sky.
Setelah satelit, roket, kemudian pesawat tempur, klaim prestasinya sungguh membuat kami terkagum-kagum.
Ketika Kebohongan Terungkap
Sebulan berkorespondensi, Dwi Hartanto mendadak meminta semua rangkaian tulisan tentangnya dibatalkan. “Berhubung saya lagi mendapatkan musibah dan cobaan, saya minta tolong dengan sangat untuk meng-cancel saja semua artikel-artikelnya ya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas hal ini,” tulisnya via surel pada 3 Oktober 2017.
ADVERTISEMENT
Empat hari kemudian, kita mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Lima lembar surat pengakuan dan klarifikasi dari Dwi Hartanto bertanda tangan di atas materai dirilis.
Semua serentak mengecam tindak pembohongan yang dilakukan Dwi selama hampir dua tahun. Status Facebook Deden Rukmana yang diposting pada 2 Oktober 2017 menjadi salah satu rujukan kronologi investigasi atas Dwi Hartanto.
“Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto,” tulis Profesor Urban Studies dan Planning Program di Savannah State University, Amerika Serikat, itu.
Status tersebut kemudian dikomentari oleh M. Didik R. Wahyudi , mantan dosen Dwi Hartanto ketika di IST APKRIND Yogyakarta. “Namun sayangnya kepercayaan saya tersebut dikhianati, dia mengambil dokumen saya tanpa sepengetahuan saya sekitar tahun 2006 sebelum gempa Jogja. Dokumen saya tersebut dimanipulasi (discan, diedit alias dipalsukan) untuk kepentingan pribadinya,” tulisnya di paragraf pertama.
ADVERTISEMENT
Namun Didik tak menjelaskan lebih lanjut tentang dokumen apa yang ia maksudkan itu. “Masalah dokumen itu sudah saya anggap selesai tahun 2006. Dwi juga sudah menerima punishment,” ujarnya kepada kumparan.
Apapun, semua itu tentu saja mengejutkan banyak pihak. Bagi Deden, kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto merusak nama baik ilmuwan secara umum karena ilmuwan adalah suatu profesi yang memerlukan integritas dan kode etik tinggi.
“Kami itu kan pandangannya positif, karena ilmuwan itu biasanya kan integritas moralnya tinggi, dia biasanya menjaga tidak bohong, apalagi bohong akademik,” ujar Ali Ghufron menanggapi bagaimana Kemenristekdikti juga bisa kecolongan pada WCP 2016.
Menurut Ali Ghufron fenomena Dwi Hartanto, yang mendadak tenar dari klaim-klaim yang tidak benar, barangkali karena adanya keinginan Dwi Hartanto untuk terkenal.
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Thomas Djamaluddin.
“Kalau saya mengikuti dari pengakuan Dwi Hartanto, tampaknya motifnya hanya motif ingin terkenal secara cepat. Dia unggah beberapa klaim yang sebenarnya hanya proyek mahasiswa, itu dianggap sebagai proyek yang wah,” kata Thomas.
Padahal menurut Thomas, peneliti biasanya hidup dalam dunia sunyi. “Bahwa kemudian nanti karyanya memberikan manfaat, itu biarlah komunitas ilmiah yang memberikan apresiasi. Kalau kemudian memberikan manfaat kepada publik, biarlah publik yang nantinya mengapresiasi,” ujarnya.
Belum diketahui motif Dwi yang sebenarnya apa. Dalam lembar pernyataan dan klarifikasinya, Dwi hanya menyatakan khilaf. Kecurigaan lain adalah Dwi mengidap mythomania, kebohongan yang dibuat tanpa ia sadar itu khayalan dalam kepalanya.
Oleh sebab itu penderita mythomania biasanya tidak menyadari tengah berbohong, dan untuk itu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Sementara Aulia Iskandarsyah, psikolog Universitas Padjadjaran, menyatakan, “Kalau menurut saya, bohongnya ini sudah mengarah bohong yang patologis”. Pendapat Aulia tersebut didasarkan atas diksi atau pilihan kata yang digunakan Dwi dalam surat klarifikasi dan permohonan maafnya.
“Tidak (terlihat) ada sense bersalahnya atau malunya,” kata Aulia. “Ketika seseorang sudah berbohong dan tidak tumbuh guilty feeling dan ditujukan untuk memanipulasi orang atau untuk kepentingan dirinya sendiri, maka bisa dibilang bohongnya itu sudah bersifat patologis.”
Thomas pun menanggapi, “Dia bahkan sempat diundang dalam satu acara TV nasional. Dia bukannya menjadi sadar kemungkinan akan terungkap kebohongannya, tapi semakin berulah dengan klaim-klaim berikutnya.”
Kemungkinan tersebut diperkuat dengan pemaparan Deden yang menuliskan, “Mereka (rekan di TU Delft) sudah menemui Dwi Hartanto dan memintanya agar meluruskan segala kebohongannya tetapi tidak ditanggapi dengan serius oleh ybs.”
ADVERTISEMENT
Thomas menyimpulkan, “Jadi ini satu hal yang menurut saya bersumber dari kesalahan dia terlalu ingin cepat terkenal, kemudian ditambah dengan kesalahan media yang mengambil informasi dan klaim-klaim dia dari media sosial tanpa check and recheck.”
Seluruh berita yang memuat tentang Dwi Hartanto sejak periode 2015 itu sebagian besar bersumber dari lisan atau tulisan Dwi. Nyatanya, nama Dwi Hartanto di situs resmi TU Delft tercantum bukan di bidang Space Technology and Rocket Development seperti pengakuannya semula, melainkan di departemen Intelligent System.
Sementara terkait wahana antariksa yang diklaim Dwi berhasil ia luncurkan, saat membuka situs Delft Aerospace Rocket Engineering pun tak ditemukan proyek The Apogee Ranger V7s (TARAV7s) di dalamnya.
Dalam pengakuannya, Dwi akhirnya menyatakan “Namun sebenarnya informasi tersebut memaparkan rangkaian persiapan peluncuran roket DARE Cansat V7s.”
ADVERTISEMENT
“Ketika ada klaim-klaim apakah itu peneliti atau kemudian perekayasa menghasilkan suatu teknologi, ya perlu dikonfirmasi dari kolega terdekat. Kalau itu topiknya terkait klaim-klaim di penerbangan dan antariksa, ya bisa dikonfirmasi ke lembaga terkait, misalkan LAPAN,” kata Thomas.
Tak hanya bagi Dwi Hartanto yang telah meminta maaf dan tengah menjalani sederet sidang, serta bagi media yang mengakui kelalaiannya, fenomena ini menjadi gong untuk kembali membunyikan adagium “ilmuwan boleh salah tapi tidak boleh bohong” di kalangan komunitas ilmiah.
Thomas menyatakan, “Kasus Dwi Hartanto ini merupakan kasus yang bisa tergolong pembohongan publik juga pelanggaran kode etik peneliti, dan itu sangat parah. Kejadian ini juga menjadi pembelajaran bagi komunitas ilmiah bahwa popularitas itu sesungguhnya bukan tujuan bagi seorang ilmuwan.”
Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Berry Juliandi, mengatakan kasus ini menjadi introspeksi bagi kalangan ilmuwan.
ADVERTISEMENT
“Introspeksi bagi kami sendiri untuk lebih aktif dalam menanggapi kasus-kasus ilmiah seperti ini. Bukan hanya tentang DH, tapi hal lain, misalnya penemuan baru atau ada sesuatu di masyarakat,” tutur Berry ketika dijumpai oleh kumparan di kampus IPB Dramaga, Bogor.
Fenomena kebohongan Dwi ini jadi pelajaran berharga bagi banyak pihak agar tak lahir kasus serupa di kemudian hari.