Hubungan Aplikasi Kuis Facebook, Cambridge Analytica, dan Donald Trump

23 Maret 2018 18:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Facebook di Amerika Serikat. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Facebook di Amerika Serikat. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)
ADVERTISEMENT
Kamu mungkin sering melihat posting-an teman di Facebook yang mengikuti kuis-kuis seperti menyamakan wajahnya dengan artis atau ramalan-ramalan semacam bakal menikah dengan siapa di masa depan. Fenomena kuis Facebook memang cukup digemari di platform jejaring sosial tersebut, tetapi sungguh, ini berbahaya dan sebaiknya kamu menghindari hal itu.
ADVERTISEMENT
Kami pernah membahas apa saja dampak buruk dari kuis sok lucu-lucuan tak berfaedah itu, termasuk bagaimana si pengembang situs atau aplikasi kuis dapat mengakses data si pengguna. Kini, bukti dari dampak buruk itu terlihat jelas setelah terbongkarnya skandal Cambridge Analytica dan kaitannya dengan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres di Amerika Serikat tahun 2016.
Cambridge Analytica, sebuah perusahaan analisis data Inggris yang merupakan konsultan pemasaran politik, berhasil mengumpulkan sekitar 50 juta data pengguna Facebook melalui aplikasi kuis yang pada akhirnya meminta izin akses ke data pribadi pengguna. Tanpa sadar, pengguna memberikan begitu saja data tersebut.
Celakanya, data-data itu diperjual-belikan. Lebih celaka lagi, data itu dimanfaatkan dan diolah untuk mengetahui psikologis pengguna dalam kampanye pemenangan Trump.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa sebuah aplikasi kuis mencuri data dengan jumlah sebanyak itu dan dipakai untuk kampanye? Okay, mari kita bahas ini bareng-bareng.
Aplikasi Kuis "thisismydigitallife"
Aplikasi kuis itu diketahui bernama "thisismydigitallife", yang merupakan sebuah kuis tes kepribadian. Ia dibuat oleh seorang akademisi dari Cambridge University, Aleksandr Kogan, yang juga memiliki sebuah lembaga riset bernama Global Science Research.
Aplikasi ini dikemas dengan kesan ilmiah, akademis, tetapi pada ujungnya, ia meminta akses data pribadi pengguna. Mirip-mirip seperti aplikasi kuis lain macam 'What Type of Girlfriend are You?' atau 'Which Pokemon Are You?' yang mungkin tujuan utamanya adalah hanya ingin mengumpulkan data pengguna.
Kuis "thisismydigitallife" buatan Kogan mengajukan pertanyaan seperti bagaimana sifat dari seseorang, apa yang bisa membuatnya marah, apakah kamu menyukai seni, dan sejenisnya. Lewat tes kepribadian ini, setiap orang yang melakukan tes, tanpa mereka sadari setuju untuk memberi akses kepada Kogan untuk mengakses profil Facebook mereka.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan AFP, ada 320 ribu orang yang mengikuti kuis thisismydigitallife. Bukan cuma itu, 320 ribu pengguna ini tanpa sadar juga memberikan akses ke setidaknya 160 profil orang lain. Ini terjadi di tahun 2015. Tidak ada yang mencurigainya.
Aleksandr Kogan (Foto: Youtube/hkukeoffice)
zoom-in-whitePerbesar
Aleksandr Kogan (Foto: Youtube/hkukeoffice)
Kogan memang memiliki izin untuk menarik data Facebook, tetapi hanya untuk keperluan akademis. Tetapi untuk memberikan atau memperjual-belikan data itu kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pengguna, tindakan ini ilegal di bawah undang-undang perlindungan data Inggris.
Puncaknya, ada sekitar 50 juta data pengguna Facebook yang dikumpulkan lewat aplikasi kuis tersebut, termasuk informasi pribadi, seperti apa konten yang disukainya, jumlah like, lokasinya, fotonya, dan jaringannya.
Kogan sendiri membuat kuis tersebut karena mendapat kontrak dari Cambridge Analytica, yang didirikan oleh pendukung Partai Republik AS, Steve Bannon. Ya, Bannon sendiri sempat menjadi salah satu orang kepercayaan Trump sebelum mengundurkan diri pada tahun 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Setelah mendapatkan data-data ini, Kogan memberikan data tersebut kepada Cambridge Analytica. Anak perusahaan SCL Group ini mempercayakan seorang pemuda ahli data, bernama Christopher Wylie, untuk mengolah data-data yang ujungnya berusaha membuat pengguna Facebook di Amerika Serikat agar memutuskan pilihan politiknya pada Donald Trump.
Christopher Wylie. (Foto: Reuters/Henry Nicholls)
zoom-in-whitePerbesar
Christopher Wylie. (Foto: Reuters/Henry Nicholls)
Wylie menggunakan informasi pribadi pengguna Facebook untuk menciptakan profil psikologis dan politik yang canggih. Dengan keahlian analisis data, Wylie dan tim Cambridge Analytica menargetkan iklan serta konten politik yang dirancang khusus bekerja pada susunan psikologis yang telah dirancang.
"Kami 'merusak' Facebook," kata Wylie.
Wylie datang ke Cambridge Analytica dengan membawa ide bahwa data pribadi dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi psikologis seseorang, dan untuk menjalankan aksinya, platform Facebook sangat mungkin dipakai. Para petinggi Cambridge Analytica senang dengan ide Wylie yang mempercayakannya menjabat sebagai direktur riset.
ADVERTISEMENT
Tapi kini, pria berusia 28 tahun itu mengaku menyesal telah membantu orang seperti Trump berkuasa di negeri adikuasa. Ia kemudian membocorkan segala informasi tentang Cambridge Analytica, Kogan, dan apa yang ia kerjakan untuk pemenangan Trump kepada The Guardian. Orang-orang di Cambridge Analytican dan sekitarnya, mungkin akan menganggapnya sebagai 'pengkhianat.'
Data, Data, Data...
Cambridge Analytica sangat menyadari informasi personal seperti ras, gender, orientasi seksual, kecerdasan, sampai trauma masa kecil, bisa diketahui dengan melacak jejak maya berupa "like" yang diklik seseorang di laman Facebook mereka. Hanya dengan selusin like, Cambridge Analytica bisa memprediksi partai politik mana yang bakal dipilih seseorang.
Cambridge Analytica. (Foto: Twitter @CamAnalytica)
zoom-in-whitePerbesar
Cambridge Analytica. (Foto: Twitter @CamAnalytica)
Para ahli pemasaran menggunakan informasi seperti ini biasanya untuk menawarkan mobil, pakaian, atau paket liburan lewat iklan yang terfokus pada target. Dan sejatinya, data pribadi pengguna Facebook itu bisa diambil dari mana saja, dari aplikasi pihak ketiga mana saja yang memanfaatkan data Facebook. Facebook memang punya kebijakan untuk membagikan data pribadi pengguna jika memang pengguna itu memberikan akses kepada aplikasi pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
Tapi, Kogan dan Cambridge Analytica menggunakannya untuk sesuatu yang lebih gila dan, cenderung merugikan. Mereka menggunakannya untuk membuat profil psikologis dari para pemilih di AS, yang kemudian menghasilkan database yang kuat untuk membantu Trump memenangkan Pilpres AS 2016.
Data-data itu digunakan dalam kampanye Trump bukan hanya untuk membuat promosi yang dibaca oleh pengguna Facebook, tapi juga menyampaikan pesan yang dapat memainkan perasaan para pengguna, seperti ketakutan dan rasa cinta. Hal ini secara efektif dapat membangun hubungan antara kandidat dan para pengguna.
Pembuatan Profil Pemilih lewat Psikologi
Proyek ini dikerjakan berdasarkan rancangan dari mantan ilmuwan Cambridge Analytica, yaitu Michal Kosinski, yang mempelajari orang-orang lewat informasi yang diunggah secara online.
Kosinski beserta rekan penelitinya David Stillwell telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membuat profil psikologi orang-orang melalui Facebook dengan aplikasinya sendiri bernama "myPersonality".
ADVERTISEMENT
Hasil dari kuis dalam aplikasi itu terakumulasi hingga 6 juta data, termasuk profil para pengguna Facebook dan temannya, yang digunakan dalam database riset.
Pada tahun 2015, mereka mempublikasikan sebuah studi berjudul "Pengambilan keputusan berbasis komputer lebih akurat dari yang dibuat manusia."
Studi itu menunjukkan bagaimana profil psikologi orang-orang ternyata lebih akurat saat diteliti meski hanya berdasarkan perilaku 'Likes' mereka di Facebook.
Facebook dan Instagram. (Foto: REUTERS/Yves Herman)
zoom-in-whitePerbesar
Facebook dan Instagram. (Foto: REUTERS/Yves Herman)
Kosinski sendiri memutuskan untuk tidak membagikan database miliknya kepada Kogan dan Cambridge Analytica, karena kabarnya ia telah mengetahui data itu akan digunakan untuk tujuan politik.
Tapi, Kogan kemudian menciptakan aplikasi kuisnya sendiri yang mampu menjaring jumlah data yang lebih banyak lagi, mencapai 50 juta dan menjadi kekuatan dari kampanye pemenangan Trump di media sosial.
ADVERTISEMENT
Facebook mengungkapkan apa yang dilakukan Kogan adalah ilegal dan melarang aplikasi semacam itu untuk mengumpulkan lebih banyak data dalam platform-nya. CEO dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, telah mengungkapkan permintaan maafnya terhadap kelengahan ini dan mengatakan apa yang dilakukan Cambridge Analytica itu sebagai pelanggan kepercayaan yang telah diberikan Facebook.
Metode yang Efektif dan Berhasil
Dari kasus ini, kita bisa melihat kuatnya metode yang dilakukan Cambridge Analytica ini. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuis itu memang sederhana seputar kepribadian seseorang.
Misalnya dimulai dengan mengukur lima krpribadian besar, mulai dari keterbukaan, kehati-hatian, kenyamanan saat berinteraksi, mudah akur atau sepakat, serta bagaimana mengatasi stres.
Soal-soal dalam kuis dibuat dalam bentuk pernyataan seperti "Saya orang yang terorganisir" atau "saya jarang merasa senang", menggunakan pengukuran jawaban dari "sangat setuju" hingga "sangat tidak setuju".
ADVERTISEMENT
Hasil dasar kuis itu kemudian dikombinasikan dengan data yang dikumpulkan dari profil Facebook si pengikut kuis dan juga teman-temannya.
Untuk mengkategorisasi pemilih untuk Pilpres 2016, dibuat sebuah algoritma yang dapat menemukan hubungan antara kepribadian "mudah sepakat" atau "bagaimana mengatasi stres" dengan gender, usia, agama, hobi, perjalanan, sudut pandang politik spesifik, hingga variabel lain.
Alexander Nix. (Foto: Reuters/Pedro Nunes)
zoom-in-whitePerbesar
Alexander Nix. (Foto: Reuters/Pedro Nunes)
Luar biasanya, dari setiap pemilih di AS dapat dikumpulkan data lebih dari 4.000, seperti diungkapkan Alexander Nix, CEO Cambridge Analytica, sebelum posisinya ditangguhkan pada Selasa (13/3).
Kekuatan dari data psikologi grafik ini menurut para ahli tidak bisa dikeluarkan begitu saja, karena untuk membuat korelasi signifikan saat mengkombinasikannya dibutuhkan algoritma komputer yang kuat.
Akhirnya, database itu dapat digunakan dalam kampanye untuk mengetahui lebih jauh perilaku para pemilih dari siapapun sebelumnya. Hasilnya disebut oleh Nix sebagai sesuatu yang disebut pentargetan secara spesifik berdasarkan perilakunya dan psikologinya.
ADVERTISEMENT
Untuk sederhananya, tim kampanye dapat menyampaikan pesan, berita, dan foto lewat Facebook dan media sosial yang ditujukan kepada orang yang tepat untuk mendorong mereka memilih Trump saat Pilpres AS 2016.
Dan itu terbukti berhasil.
Indonesia sendiri saat ini sedang memasuki tahun politik, dengan Pilkada pada tahun 2018 ini dan Pilpres pada 2019. Tentunya ketakutan tentang terjadinya kasus serupa pun mengemuka.
Namun, Facebook sudah melancarkan sejumlah langkah yang akan mencegah terjadinya kejadian serupa. Mark Zuckerberg telah mengungkapkan jika Facebook akan memperbaiki sistemnya tentang bagaimana mereka memberikan keleluasaan bagi para pengembang aplikasi pihak ketiga dalam mengakses data pribadi pengguna Facebook.
Ke depannya, Facebook menjamin ada aturan yang lebih ketat dan tak ada lagi penyalahgunaan data yang dieksploitasi lewat aplikasi pihak ketiga seperti kasus Cambridge Analytica.
ADVERTISEMENT